*****
Saat Sampai di Jakarta, dari bandara kami langsung ke rumah sakit tempat Mama dirawat. Bang Roel terlihat begitu panik mengkhawatirkan Mamanya. Saat tiba di rumah sakit, kami langsung menuju ruangan tempat Mama dirawat. Tidak perlu bertanya pada resepsionis atau pun suster jaga karena Yudha sudah mengirim nama ruangannya dan letak lantainya.
“Ini ruangannya,” ucap Bang Roel.
“Iya, ayo masuk,” ujarku.
“Assalamualaikum,” ucap kami serempak.
Ada Mama dan Papa ternyata disana. Aku sedikit lega. Syukur, tanpa disuruh, Mama dan Papa sudah menemani mertuaku.
“Waalaikumsalam,” jawab mereka serempak. Aku dan Bang Roel segera menyalami mereka.
“Mama dan Papa kok ada disini?” tanyaku.
“Tadi dapat kabar dari Si Mbak di rumah kamu,” ujarnya. Syukurlah.
“Mama gimana keadaan sekarang? Sudah mendingan?” tanyaku sambil mencium pipi mertuaku.
“Alhamdulillah, tadi Mama pusing. Sepertinya darah tinggi Mama naik. Mama makan daging kambing. Penasaran ada tukang sate lewat. Mama beli deh sate kambing,” akunya.
“Ya Allah, Mama. Jangan diulangi lagi,” desisku.
“Maaf. Maaf juga Mama jadi ganggu bulan madu kalian,” ujarnya nampak bersalah.
“Tidak apa-apa, Ma. Sama sekali tidak mengganggu,” ucapku.
“Padahal kalian tidak perlu kembali ke Jakarta dulu. Nikmati saja liburannya.”
“Mama adalah segalanya untuk kami.”
*****
Seminggu berlalu, Mama juga sudah kembali sehat dan dapat beraktivitas seperti semula. Hanya saja, aku dan Bang Roel menahannya agar tidak dulu pulang ke Padang. Aku masih inginkan suasana rumah yang rame seperti ini. Ditambah Mama dan Papa juga menginap. Rumah jadi lebih terasa hangat.
“Ran, Kakakmu sebentar lagi sampai,” ujar Mama.
“Maksudnya, Ma?” tanyaku.
“Winda kasih kejutan buat kita. Dia sudah sampai di rumah Mama, sebentar lagi datang kesini. Dia nggak ngabarin kalau mau ke Jakarta,” ujar Mama.
“Kasihan ya, Ma. Pasti di rumah cuma ada Bibik,” jawabku. Mama terkekeh.
“Besan, Winda sudah punya anak?” tanya mertuaku.
“Sudah, San. Sudah dua. Sama suami pertama satu, sama suami yang sekarang dapat satu,” jawab Mama.
“Alhamdulillah,” ucap Mertuaku itu penuh senyum. Sementara kami para wanita berada di ruang keluarga, para pria tengah bersantai di teras rumah. Mungkin menyaksikan anak konveksi yang tengah bekerja.
“Ran, kamu sudah coba program bayi tabung?” tanya Mama. Aku menggeleng.
“Cobalah, Ran. Siapa tahu berhasil. Namanya juga usaha,” ujar Mama.
“Iya, Ma. Rencananya ia. Bang Roel sudah hubungi dokter kandungan spesialis kesuburan. Sudah buat janji juga dan rencana besok kami konsultasi.” Entah kenapa aku merasa sangat sensitif sekali jika membicarakan soal kehamilan. Sekalipun Mamaku sendiri yang mengucapkannya. Sudah banyak program kehamilan yang aku lakukan tidak ada yang berhasil. Dari yang murah hingga mahal berbagai obat kesuburan, sudah kutelan sampai bosan, tapi belum juga membuahkan hasil. Mungkin program bayi tabung ini yang menjadi pilihan terakhir. Sedikit takut karena ada saja resiko yang ditimbulkan. Tapi tetap optimis dan yakin dengan ikhtiar ini.
“Assalamualaikum,” ucap suara yang sudah kukenal.
“Waalaikumsalam,” jawab kami serempak. Aku segera menghampiri Kakakku yang sedang menggendong Calista, baby Mbak Winda yang berumur 2 tahun. Tak lama kemudian, hadir Ayu bersama Bang Fahri.
“Ayu makin cantik aja,” pujiku. Gadis kecil berusia 13 tahun itu langsung memelukku.
“Terimakasih, Tante,” ujarnya. “Neng, boleh saya gendong?” tanya Mama mertuaku pada Mbak Winda.
“Boleh, Bu,” ucap Mbak Winda penuh senyum. Kenapa hatiku merasa tersayat-sayat seperti ini. Ya Tuhan, aku malu dengan mertua, ipar, serta suamiku. Terlihat sekali Mama sudah sangat menginginkan seorang cucu. Nanti kalau programku tidak berhasil juga bagaimana? Pernah konsultasi sebelumnya, kalau program bayi tabung, selain ada efek sampingnya juga tidak selalu 100 persen berhasil alias bisa saja gagal. Pasalnya, hal ini tergantung dengan kondisi masing-masing pasangan. Kenapa aku jadi pesimis begini? Yakin Rani … yakin.
“Calista, Sayang?!” sorak Bang Roel membuatku tersentak dari lamunan. Segera suamiku itu mengambil alih Calista dari tangan Mamanya.
“Roel udah kepingin punya anak tuh!” lirih Mbak Winda saat aku sudah menghenyak duduk di sampingnya.
“Gimana lagi, Mbak? Usaha udah! Tapi memang belum dikasih? Aku sampai bosan lho, pada nanya kapan hamil. Stres aku sampai kebawa mimpi. Lagian kalau sudah dapat, tidak usah ditanya juga aku umumkan kok. Sumpah kupingku jengah dengan pertanyaan kapan hamil!” ucapku ketus. Membuat semua orang yang ada di ruangan menatap ke arahku. Wajah Mbak Winda sedikit berubah. Mungkin dia tersinggung dengan ucapanku.
“Sudahlah, aku masuk dulu!” ketusku sambil melangkah ke kamar. Ingin rasanya aku mengunci pintu dan menangis sejadinya disana.
®®®®®
POV WINDA
Duh, aku malah jadi merasa tidak enak dengan semua orang. Terutama dengan Rani. Aneh memang, kenapa dia jadi sensitif seperti itu? Padahal aku juga tidak ada maksud lain berkata seperti itu.
“Semuanya, aku minta maaf, mungkin ucapanku menyinggung. Roel, maafin, Mbak ya?” lirihku pada Iparku yang masih menggendong Calista.
“Nggak apa-apa, Mbak. Memang dia itu lagi sensitif akhir-akhir ini. Aku pun susah payah mengembalikan semangatnya. Dua hari yang lalu, dia juga dihina habis-habisan saat datang ke toko. Banyak cibiran nggak ngenakin. Jadi wajar dia agak sensi kalau bahas soal anak,” ucap Roel berusaha tabah. Meskipun matanya terlihat berkaca-kaca.
“Ya, Wind. Jangan kamu ambil hati sikap adikmu itu ”
“Ya, Ma. Aku malah nyesel ngomong begitu tadi,” lirihku.
“Sudah tidak apa-apa. Sekarang kamu bawa anak-anak istirahat sana di kamar Mama.”
“Masih ada kamar tamu yang kosong kok, Ma. Yang di dekat kamar Mama, itu pake saja kamar itu, Mbak,” ujar Roel.
“Ya Roel, makasih ya? Kamu sekarang susul Rani, temani dia. Kalau Mbak akan minta maaf besok. Kalau sekarang percuma. Dia masih kesal nggak bakal ditanggapi.”
“Makasih sekali lagi Mbak Winda sudah mau memahami Rani,” ujar Roel. Beruntung Rani memiliki suami seperti dia. Sangat sayang dan perhatian.
“Rani ‘kan adik, Mbak Roel.”
“Ya udah, Mbak. Aku ke kamar dulu susul Rani,” ujarnya berlalu.
Seperginya Roel ke kamar, aku masih belum beranjak dari sofa. Masih ingin ngobrol-ngobrol. Mas Fahri bergabung dengan Papa dan Ayah mertua Rani serta adik iparnya.
“San,” panggil Mama pada besannya.
“Iya, San?” Mereka memang unik memiliki panggilan tersendiri. ‘Besan’
“Terimakasih sudah menerima anakku sebagai menantu dengan baik meskipun banyak kekurangan. Maaf, anakku belum mampu memberimu seorang cucu,” ucap Mama. Tiba-tiba saja seperti ada sesuatu yang mampu membuat mataku berkaca-kaca. Bagaimana tidak? Mama ngomongnya sambil nangis.
“Sama-sama, Besan impian. Rani itu perempuan yang baik dan penuh didik kasih. Mau menghargai dan menyayangi mertua serta kedua adik iparnya. Susah mencari menantu yang seperti Rani. Dia bukan perempuan yang mau menguasai suaminya agar hilang bakti pada orangtuanya. Kamu berhasil mendidik anakmu, San. Aku yakin, sebentar lagi, menantuku itu akan segera mendapatkan apa yang diinginkan,” ucap Mama Roel.
“Amin,” ucap kami serempak.
“Mama, Tante, Winda pamit ke kamar dulu. Nanti kalau Mas Fahri nyariin aku tolong kasih tahu aku di kamar ya, Ma?”
“Iya. Istirahatlah,” ujar Mama. Aku pun berlalu ke kamar menggendong Calista. Sedangkan Ayu mengikuti dari belakang. Dia sudah besar jadi aku tidak pernah lagi menggendongnya.
®®®®®
POV RANI
“Sudahlah, Ran. Jangan berkelakuan seperti anak kecil!” ucap Bang Roel.
“Aku jengah, Bang!” balasku tak kalah ketus.
“Iya, tapi kamu bisa bersikap legowo. Jangan sensitif begini,” ujarnya.
“Aku sudah cukup sabar dan mungkin terlalu sabar? Aku juga manusia biasa yang punya perasaan dan bisa tersinggung dengan ucapan orang lain. Jangan lupa itu Bang!” Kuhela nafas berkali-kali untuk melegakan dada.
“Iya, begitu. Tarik nafas biar tenang,” ujarnya. Aku mendelik kesal ke arahnya. Aku sedang kesal dia justru menggodaku?
“Awww!” pekiknya saat aku mencubit pinggangnya sangat kencang. Entah kenapa aku sedang tidak ingin bercanda dan merasa sangat kesal penuh amarah. Cubitanku kali ini aku yakin meninggalkan bekas. Sebab, aku melakukannya memang untuk pelampiasan kekesalan.
“Sayang, sakit banget,” desisnya. Bang Roel membuka kaosnya lalu melihat ke pinggangnya. Aku berusaha untuk tidak melihat dan tetap coba acuh. Laki-laki itu pun beranjak dari tempat tidur. Tak lama, ia mengambil minyak kayu putih lalu mengoleskannya pada bekas cubitanku itu. Diam-diam aku melirik. Setelah selesai dengan oles mengoles, dia kembali lagi naik ke atas tempat tidur. Bang Roel tidur mengambil posisi tengkurap dengan kepala yang membelakangiku. Kulirik saja luka bekas cubitanku. Ternyata terlihat biru memar. Pasti sakit banget rasanya. Pantas saja dia sampai mengeluh dan bilang sakit.
Perih juga melihatnya seperti itu. Kenapa aku tega melakukannya? “Maafkan aku, Mas? Aku hanya merasa sangat kesal,” ucapku membatin. Bang Roel terdiam. Mungkin dia telah tidur? Aku ingin meminta maaf padanya. Tapi aku merasa berat untuk berucap.
*****
Malam berkunjung, setelah makan malam, aku langsung memilih beranjak ke kamar dan kembali berbaring di tempat tidur. Sementara orang-orang masih berkumpul di ruang keluarga. Jenuh saat melihat Bang Roel tadi masih diam saja. Biasanya dia mau menyapaku.
Krekt!
Pintu terbuka. Baru saja aku pikirkan, suamiku itu sudah masuk ke kamar. Aku masih enggan untuk memulai pembicaraan. Selama menikah aku baru kali ini mencubit pinggangnya sampai gosong.
“Istirahatlah, besok pagi kita ketemu dokter buat konsultasi,” lirihnya. Aku dia saja tidak menjawab.
“Dicuekin, Abang? Harusnya Abang yang cuekin kamu, dicubit sampai bertato,” desisnya.
“Kamu udah cuekin aku kali, Bang!” ketusku. Ya Tuhan … kenapa rasanya emosi seperti ini. Sewot saja bawaannya. Benci sekali aku tengok Bang Roel nih… kenapa ini kenapa? Kenapa tiba-tiba aku membencinya.
“Bang tahu nggak? Hari ini itu aku kesel banget sama kamu! Benci!” ketusku.
“Oh iya, aku nggak mau tidur bareng sama kamu! Kamu pindah sana ke sofa!” ujarku.
“Kamu kenapa? Galak banget. Iya udah aku pindah ke sofa!” desisnya mengambil bantal. Sedangkan aku langsung membenarkan posisi tidur, dan mulai memejamkan mata membelakanginya. Saat mata terpejam, aku masih berusaha berpikir, kenapa aku tiba-tiba membenci suamiku sendiri. Ya Tuhan … masa iya gara-gara kejadian siang tadi, kebencianku sedalam ini?….
Semoga besok pagi rasa marah dan benciku ini bisa hilang. Aneh memang, aku tidak mau dekat-dekat sama Bang Roel. Hikz ….