POV Vina
Selama di danau Mas Anton terus melamun. Entah, mungkin dia sibuk dengan pikirannya sendiri. Kasihan juga melihatnya seperti ini. Tapi bagaimana lagi? Aku juga sedikit kesal dan kecewa. Mau tidak mau harus tetap kujalani karena sudah menjadi pilihan. Rasanya menjadi aku kali ini itu, nano-nano. Tapi lebih banyak kesalnya. Bagaimana tidak seperti itu? Aku berharap hidup enak menikahi bosku. Malah jadi seperti ini. Siapa sangka juga Rani yang lembut bisa berubah seperti singa yang garang hendak menerkam.
Sekarang begini, normal bukan aku mencintai bosku? Mas Anton tampan! Kaya! Dia juga perhatian. Jadi wajar aku menaruh hati padanya. Mana aku tahu kalau ternyata tidak bisa menyimpan perasaan cintaku padanya. Justru setelah dia membalas perhatianku, aku mulai agresif. Aku juga yang mulai mengirim pesan untuknya. Sekedar say hello. Hubungan itu berlanjut setelah Mas Anton membalas pesanku. Semakin lama, aku semakin merasa nyaman. Dari pesan biasa menjadi pesan yang sedikit berbeda. Sekedar mengingatkan mandi, dan makan.
Semakin lama, perasaan itu semakin dalam. Mas Anton mengungkapkan perasaannya. Karena aku memiliki rasa yang sama, kuterima perasaan dia tanpa memikirkan Rani. Mungkin saja aku bisa menyingkirkan Rani.
Tapi, kenyataannya malah seperti ini. Apa-apaan masa Mas Anton tidak memiliki apapun? Benci deh aku! Kesaaallll… Boddoh banget sih jadi suami! Kalau aku tetap akan berusaha dan memperjuangkan hak Mas Anton. Rani tidak bisa seenaknya begitu. Lagi pula, aku juga berhak atas separuh uang Mas Anton. Bukankah itu modal berdua? Padahal awalnya aku mengira Mas Anton yang kaya orang Mas Anton yang menghandle semuanya. Bahkan, aku juga sering kecipratan bonusnya disaat yang lain tidak mendapat.
“Mas, bukannya kamu pegang kartu ATM? Gesek saja uangnya, Mas. Ah cerdas ‘kan aku. Tidak masalah kalau Rani menyuruh kita keluar dari rumah. Kita bawa saja uangnya untuk modal.” Akhirnya, aku mendapatkan ide brilian. Mas Anton menatapku. Lalu tersenyum.
“Betul juga ucapan kamu, Sayang!” balasnya.
“Ayo, jangan tunggu lama. Kita pergi ke ATM sekarang,” ajak Mas Anton. Dengan sigap kami bergegas menaiki motor, dan aku pun tersenyum penuh kemenangan. ‘Sukurin kamu, Rani.’
Gerimis rintik-rintik mulai menyapa. Kami tetap melanjutkan perjalanan menuju ATM terdekat. Ternyata, ada 4 kartu ATM di dompet suamiku. Jelas aku tahu, karena Mas Anton menyerahkan dompetnya padaku. Setelah mengambil uang cash untuk pegangan, selebihnya akan ditransfer ke nomor rekening-ku. Memiliki uang banyak, “Yeeeeeeee!” Aku berteriak senang dalam hati. Gemas sekali rasanya. Memang hidupku ini paling beruntung. Sudah dapat suami, tampan, penyayang, banyak uang pula. Oh indahnya hidupku ini. Aku yakin pasti tetangga di kampung yang suka menghina akan mulai memuji-muji aku. Emang dasar, kebanyakan orang dihargai dari seberapa banyak uangnya.
“Sudah sampai, Sayang. Turun,” suruh Mas Anton. Aku mengangguk dan penuh senyum. Ternyata kami sudah Sampai di galeri ATM terdekat. Tak perlu jauh-jauh mencari satu-satu ATM.
“Yesss … YESS … yes … duit, duit, duit,” girangku dalam hati. Maklum saja, aku tidak pernah memiliki uang banyak. Sehingga, pilihanku menikah dengan Mas Anton memang tepat. Jika aku menikah dengan Tono, dia hanya bekerja sebagai tukang bangunan. Mana cukup untukku? Yang ada aku harus membantunya cari uang. Ya, meski kata Ibu, gaji Tono besar walaupun tukang bangunan. Tapi aku menginginkan suami yang sedikit berbeda.
“Sayang, bengong? Kamu ambil di link BRI dan BCA,” ucapnya seraya membisikan nomor PIN-nya. Sedangkan Mas Anton BNI dan Mandiri. Memang benar, pemilik toko memiliki semua rekening. Gemetar tanganku kala mulai mengetik-kan nomor PIN-nya.
Panik!
Itu yang terjadi ketika tiga kali ada tulisan tidak dapat melakukan transaksi kenapa ini. Masih penasaran, kucoba sekali lagi.
“Sialan! Disable!” Tak gentar aku melakukan transaksi di link BCA. “Kartu anda sementara tidak dapat dipergunakan.”
“Ya Robby, nggak bisa juga!” gerutuku. Apa mungkin Ranimprot itu telah mengganti nomor PIN-nya? Kalau iya, kelewatan itu namanya. Tidak bisa tinggal diam ini. Kesal aku pun menghampiri Mas Anton.
“Nih! ATM-nya tidak bisa!” sungutku seraya memanyunkan bibir. Wajah Mas Anton terlihat lusuh. Jangan bilang kalau dia juga tidak bisa mengambil uang.
“Kamu gimana, Mas?” ketusku.
“Sama, Vin. Tidak bisa juga. Kartu ATM-nya di blokir.
“Ya Allah, Ya Robby, Mas. Terus gimana dong? Gagal lagi. Mudah-mudahan aja Rani hanya menggertak. Ya sudah kita pulang aja yuk, Mas,” ajakku. Sia-sia banget aku. Masa iya si, kehidupanku setelah menikah justru seperti ini?
“Ayok,” ucap Mas Anton. Kami melangkah dengan malas untuk naik ke atas motor pun rasanya tak bertenaga. Pusing, itu yang terasa di kepala saat ini.
Gerimis kali ini seakan menambah kesedihanku. Selama di atas motor kami saling terdiam. Ternyata tidak semua perempuan itu lemah dan mau menerima. Kakak-ku juga merebut suami orang. Tapi yang terlantar justru istri pertamanya. Kakak- ku lah pemenangnya. Hidupnya juga bahagia. Ya, meski sekarang dia tengah merasakan suaminya seakan kembali mengulang perselingkuhannya. Tapi tetap saja suaminya itu fokus pada Kakak-ku dan anaknya. Keluarga mereka juga terlihat tenang. Tapi aku tidak tahu bagaimana di dalamnya. Nanti akan kucoba korek informasi terbarunya.
****
Tepat pukul delapan malam, kami tiba di rumah. Mas Anton memarkirkan motornya di halaman. Sedangkan aku menunggunya di depan pintu. Mau masuk duluan tapi ada rasa sedikit enggan.
“Masuklah! Kenapa berdiri aja disitu?”
“Aku nunggu kamu, Mas.”
“Memang istri kesayangan,” pujinya seakan membuat diriku ingin terbang. Hanya saja yang disayangkan Mas Anton kini tak ber-uang. Entah bagaimana ke depannya nanti.
Beberapa kali Mas Anton menekan bel. Namun, Rani tak kunjung membukakan pintu. Sampai akhirnya ia mengetuk dan berteriak, Rani masih juga tak membuka pintu. Mustahil kalau dia tidak mendengarnya.
“Dobrak saja, Mas!” Aku sengaja mengomporinya.
“Rani!!!!!” teriak Mas Anton.
“Kalau sampai kamu tidak membuka pintu, maka pintunya aku dobrak!” berangnya penuh emosi.
“Rani!!!! Buka!” bentak Mas Anton. Suaranya mulai terdengar serak. Sedangkan pintu iya tendang menggunakan kakinya.
“Tidak malu bikin kegaduhan di rumah orang?” ucap Rani tenang setelah membuka pintu.
“Sini kamu!” Mas Anton menyeret tangan Rani.
“Lepasin! Aku bisa jalan sendiri! Jijik tahu dipegang-pegang sama kamu! Najis!” Mulut perempuan ini ingin sekali rasanya kukeruwes.
“Halah! perempuan mandul saja sombong kamu!” maki Mas Anton seraya menjatuhkan tubuh Rani di sofa.
Gelegar!
Bagaikan petir menyambar. Menohok sekali kata-kata Mas Anton. Mampus kamu, Rani ….
“Sadar! Buka mata! Masih mending aku tidak menceraikan kamu! Kamu itu mandul! Mana ada laki-laki yang mau nikah sama kamu!” cemooh Mas Anton.
“Kalau kata orang Jawa, kamu itu ligar! Tidak ada yang mau. Sudah tampang pas-pasan! Tidak bisa kasih anak pula! Bersyukur aku mau nikah sama kamu!”
Jlep!
‘Sakitnya tuh disini, Rani! Teruskan makianmu, Mas. Serang mental Rani.’
Rani masih terlihat tenang. Lalu, ia mengambil tisu basah di meja. Menggunakannya untuk mengelap tangan yang sudah dicengkram oleh Mas Anton.
“Orang yang sakit hati itu, hanya bisa memaki. Kasihan,” ucap Rani menyeringai sinis. Seolah merendahkan kami. Ia bangun dari tempat duduknya dan hendak beranjak. Namun, Mas Anton kembali menarik tangannya hingga ia kembali terduduk.
“Mau apalagi kamu, Mas? Oh iya lupa. Kamu tolong tidur di kamar pembantu kalau memang tidak mau keluar dari rumah ini. Dan kamu, Vina! Aku tidak menggratiskan rumah ini. Kalau kamu mau tinggal di sini juga, silahkan menjadi pembantu di sini. Atau, kamu membayar saja?” Mataku membulat mendengar ucapannya. Gila perempuan ini. Sepertinya dia sudah sakit jiwa.
Plak!
Mas Anton menampar pipi Rani.
“Hargai aku sebagai suamimu!” bentak Mas Anton. Lagi-lagi Rani hanya tersenyum sinis.
“Minta dihargai tapi tidak mau menghargai! Dasar egois!” balas Rani.
“Kalau kamu tidak bisa menjaga adab dan etika kamu disini, pintu rumah ini terbuka lebar untuk kalian. Silahkan keluar!” tunjuk Rani ke arah pintu.
“Sebentar,” lanjutannya. Rani beranjak. Aku dan Mas Anton saling berpandangan.
Tak lama, dia kembali lagi dengan sebuah koper hitam.
“Ini baju kalian sudah aku siapkan. Silahkan kalau mau keluar. Seharusnya, aku tidak memberikanmu pakaian ini juga, Mas. Karena pakaian ini ‘kan hasil kerja kita berdua. Sedangkan sekarang, kamu sudah menikah lagi. Harusnya kamu menggunakan pakaian hasil kerja kalian berdua!” ucap Rani membuatku terbelalak.
Benar-benar, separah inikah isi otak Kakak maduku? Perhitungan sekali. Mas Anton bangundari duduk-nya. Mungkin hendak meninggalkan rumah ini. Namun, dengan sigap aku menggenggam erat tangannya. Memberi kode jangan gegabah dulu. Sebab, tidak ikhlas rasanya pergi dari rumah ini tanpa hak yang seharusnya didapatkan. Masih banyak jalan menuju Roma bukan? Entah, tiba-tiba saja aku memiliki ide untuk menghabisinya. Tak tahu, apakah Mas Anton akan setuju dengan rencanaku?
“Oke, kalau kalian tidak mau keluar dari rumah ini, silahkan tidur di kamar pembantu. Kalau begitu, selamat menyusun rencana jahat kalian. Semoga berhasil. Manusia seperti kalian pasti picik! Dan aku suka melawan orang picik! Terutama kamu, Vina!” ucap Rani seolah dapat mengerti apa yang ada di pikiranku.
Seperginya Rani, aku mengajak Mas Anton pergi ke kamar. “Begini amat ya, Mas!” keluhku.
“Sabar,” lirih Mas Anton seraya merangkul pundakku. Jujur saja, rasanya hari ini hatiku teramat sedih.
Kurang sempurna rasanya kalau bisa mendapatkan orangnya tapi tidak dengan hartanya. Ada rasa tidak ikhlas.
“Mas, kamu kasarin aja si Rani itu. Kamu ‘kan laki-laki. Pasti tenagamu lebih kuat daripada Rani. Paksa saja, Mas! Bikin dia itu nurut sama kamu.”
Mas Anton tak menimpali ucapanku. Dia sibuk mendiam sampai masuk ke kamar yang super sempit. Mana panas! Tidak ada kipas angin pula. Apes banget sih! Rasanya hari ini aku ingin menelan manusia hidup-hidup.
Tertanda
Vina pelakor gagal yang sedang berusaha.