POV Rani
“Vina! Kamu pergi deh sama suamimu sana! Terserah mau kemana! Kalian ‘kan belum sarapan. Cari makan sana! Sama cari pekerjaan apa kek. Aku sumpek lihat muka kalian. Rasanya ingin menghajar habis-habisan!” ucapku. Aku ingin membicarakan sesuatu dengan Mbak Winda. Kalau ada mereka takutnya menguping. Tak lama pria tak tahu diri itu juga muncul. Sepertinya pria itu sudah selesai mandi.
Cup!
Ah, tiba-tiba saja aku teringat saat Mas Anton memeluk tubuhku dari belakang dan memberikan kecupan manis di tengkuk sebelum pergi ke toko. Biasanya setelah mandi dan bersiap dia melakukan itu.
Aku tak menyangka, dia malah mendua. Benci sekali rasanya! Ya Allah, aku masih belum bisa melupakan rasa sakitku. Seseorang yang kucintai, ku-temani dari nol, tiba-tiba saja rela mendua membawa pulang istri mudanya. Di mana hati nuraninya sebagai lelaki? Setelah itu, demi perempuan itu, dia menghinaku mandul. Perempuan sekaligus istri mana yang tidak terluka hatinya? Mustahil aku tidak terluka dan merasakan sakit. Aku sakit! Cemburu! Aku benci mereka, iya. Aku minder dalam diriku, apa mungkin jika aku bercerai dari Mas Anton masih ada laki-laki yang mau sama aku? Tapi aku tidak bisa menunjukan kesedihan-ku pada mereka. Aku tidak mau dianggap lemah. Sejatinya aku perempuan kuat dan pantang menangis di depan laki-laki yang telah berkhianat. Cukup hatiku yang menangis dalam diam.
“Mbak Winda. Sudah dari tadi, Mbak?” tanya Mas Anton sambil menyalami Mbak Winda. Mbak Winda menyambut salamnya. Setelah itu mengambil tisu basah di meja dan menggunakannya untuk membersihkan tangan bekas bersalaman dengan Mas Anton. “Wah, apa tidak tersinggung, Mereka?” batinku.
“Sayang, setelah salaman sama, Om Anton, kamu bersihkan pakai tisu ya. Banyak kuman pelakornya. Bahaya, Sayang. Bisa menular,” ucap Mbak Winda pada Ayu.
“Iya, Mama.” Segera gadis kecil itu meraih tisu dari tangan Mamanya dan membersihkan tangannya.
“Mama, kuman pelakor itu apa?” tanya Ayu polos. Mbak Winda tersenyum. Lalu menatap wajah Vina sebelum akhirnya menjelaskan pada putrinya.
“Sayang, kuman pelakor itu, banyak di tempat sampah. Karena, kuman itu sangat suka dengan makanan sisa orang lain. Mereka tidak mau menghinggap pada makanan yang masih utuh, Gress dan bersih. Tapi mereka sukanya, memakan makanan yang sedang dinikmati orang lain. Dan itu sangat berbahaya bukan? Bahaya untuk kesehatan kita. Jadi kita wajib berhati-hati, Sayang,” terang Mbak Winda membuatku ingin tertawa. Ada-ada saja Mbak Winda ini.
“Ma, tapi kok tidak ada di pelajaran sekolah?” tanyanya lagi.
“Tidak ada, Sayang. Kuman pelakor ini, adalah jenis kuman terbaru yang merabah di-kalangan masyarakat. Itu Om Aton sudah terkena kuman pelakor. Makanya kamu jangan dekat-dekat,” ucap Mbak Winda. “Buahahahhaahahha.” Aku tertawa dalam hati. Puas sekali rasanya.
“Idih, Jijik ih sama, Om Anton.” Ayu beralih memandang Mas Anton.
“Om, rajin bersihkan tubuh, Om Anton pakai cairan anti bakteri, Om. Kalau ada, Om pakai cairan anti pelakor saja. Jadi kuman pelakornya mati, Om,” ucap Ayu polos.
“Iya, Sayang. Nanti Om beli cairan anti pelakornya dulu ya. Eh anti bakteri,” ralat Mas Anton. “Iya, kuman pelakornya kan di samping kamu, Mas. Hahahhaha.” Aku kembali tertawa jahat di dalam hati.
“Mas, kamu pergi sana! Ini ada uang 50 ribu. Cukup ‘kan?” Aku menyerahkan-nya pada Mas Anton. Aku memberikannya dengan penuh rasa jijik takut kalau sampai menempel di tanganku. Entahlah, rasanya memang jijik.
“Hina sekali aku di matamu! Tuhan saja yang maha segalanya, maha memaafkan hambanya,” ucapnya seraya meraih uang itu.
“Jangan bawa-bawa, Tuhan Mas! Kalau kamu saja tidak pernah meminta maaf padaku. Yang ada kamu malah semakin menghinaku! Tobat dulu kamu, Mas!” sungutku.
“Yok, Mas. Biar saja dia. Mereka ‘kan perempuan kurang beruntung. Kalau Rani, hanya punya uang. Tapi tidak punya cinta. Kasihan ya, Mas. Kalau kita masih bisa bekerja nantinya. Lebih baik, sekarang kita pergi dulu untuk sarapan. Sekalian kasih waktu buat Rani, sebelum diceraikan, Mas,” ucap Vina seraya merangkul Mas Anton keluar. Aku hanya mampu menarik nafas panjang dan menggelengkan kepala.
‘Aku juga mau mengikhlaskan, Mas Anton untukmu. Tapi setelah ku-pindahkan semua aset. Haahhahah, aku tak bodoh.’
****
“Mbak aku transfer uang ke rekeningmu ya. Tabungan-ku mau ku-kuras semua. Kayaknya aku tidak bisa bertahan dengan Mas Anton, Mbak. Menghina sekali. Pokoknya aku mau dia kembali miskin seperti saat merangkak bersamaku dulu. Aku tidak mau Mas Anton menikmati sedikit pun hasil kerja keras selama sama aku.” Ku-katakan keinginanku pada Mbak Winda. Memindah semua aset itu nyatanya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Disisi lain juga butuh keberanian.
“Ya sudah, transfer saja.”
“Kamu gugat cerai duluan saja, Ran. Beri saja dia berapa rupiah. Atau, kamu kembalikan modal usahanya. Berapa dulu uang dia yang dipergunakan,” saran Mbak Winda.
“Ish, lumayan, Mbak. Dulu uang dia 70 juta yang dipakai untuk modal usaha. Kalau aku beri dia sebesar itu, aku takut dia bisa membuka usaha baru. Yang aku mau, setelah pisah dari aku, dia hancur sehancur-hancurnya, Mbak,” tegasku.
“Sebenarnya, semua aset sudah atas nama kamu, Ran. Dan Anton juga tahu itu. Jadi meski Anton menuntut, dia akan tetap kalah. Dan lagi pula, uang darimana dia mau gugat pengadilan? Semua butuh biaya. Sudah kamu saja yang gugat dia. Lakukan pendekatan, untuk meminta tanda tangannya. Cari pengacara hebat, kondang dan ternama. Masa bos toko bangunan besar tidak bisa bayar pengacara,” goda Mbak Winda.
****
Tidak membuang-buang waktu, hari ini juga aku memutuskan untuk tidak ke toko. Ku-kabari Edi untuk menyuruh Nana menjadi kasir. Kebetulan, salah satu pelanggan-ku ada yang berprofesi sebagai pengacara. Ku-hubungi dia dan mengajaknya bertemu. Semua berkas penting kupersiapkan tidak ada yang tertinggal, termasuk sertifikat rumah, kepemilikan kendaraan dan sertifikat toko kubawa sebagai bukti kuat kepemilikanku.
Ternyata sangat berguna juga semua surat penting itu menggunakan namaku. Kami tidak pernah berpikir akan bercerai sebelumnya. Mas Anton dan aku adalah satu.
Namun, itu sebelum kedatangan duri dalam rumah tangga kami. Dulu, Mas Anton sangat mencintaiku. Apapun yang aku inginkan, dia selalu membantu memenuhinya. Namun, setelah kedatangan karyawan baru itu, kian hari dia kian berubah. Jarang pulang ke rumah, cenderung cuek dan yang paling menyebalkan, sibuk dengan ponselnya. Sering menjauh saat tengah memainkan ponsel. Sikap manisnya, perlahan berubah menjadi cuek, dan yang paling parah, tiga bulan belakangan ini dia tidak pernah menyentuhku sama sekali. Dimana yang kuingat, dia paling tidak mampu menahan keinginan laki-lakinya. Ternyata, jawaban atas keanehan sikapnya karena ada wanita baru yang bersarang di dalam hatinya.
Sudahlah, mungkin aku memang jahat melakukan ini. Menguasai semua harta yang dicari bersama. Namun, bagaimana lagi. Aku tak rela membiarkan Mas Anton bersama perempuan itu ikut menikmatinya. Aku tidak sudi! Biar saja ini pelajaran karena telah mengkhianati cinta dan kesetiaan yang telah kujaga untuknya. Bukankah aku juga pernah bilang ingin membalasnya? Ya seperti ini balasanku. Membuatnya bangkrut dan berada pada titik paling rendah. Kalau dengan berbuat seperti ini aku dicap jahat, apa suamiku tidak jahat?
“Sudah rapi, Ran?” sapa Mbak Winda menghampiriku di kamar.
“Sudah, Mbak. Ayok berangkat. Pelanggan-ku sudah menunggu di restoran terdekat dari toko,” ujarku.
“Ayok, taksi yang, Mbak pesan juga sudah ada di depan.” Gerak cepat sekali Kakak-ku ini.
***
20 menit berlalu, kami pun telah sampai di restoran tempat kami berjanjian. “Itu orangnya?” tanya Mbak Winda mencolek bahuku setelah kami turun dari taksi.
“Iya, Mbak. Kenapa? Sukak?” godaku
“Ganteng ya?”
“Awas, nanti sudah punya istri. Jangan sampai kena virus pelakor. Sukanya dalam hati saja, Mbak. Wajar kagum, yang penting jangan berlebihan tidak boleh!” ucapku menggoda.
“Hish! Mbak tahu kali!” balasnya.
“Ya sudah, buruan yuk. Kayaknya sudah lama nunggu orangnya.”
****
“Bang Riki. Maaf nunggu lama. Sudah dari tadi ya? ” tanyaku.
“Ah enggak kok. Duduk, Ran.” Aku mengangguk.
“Oh iya, Bang, kenalin ini Kakak saya dan anaknya,” ucapku. Mbak Winda mengulurkan tangan dan memperkenalkan dirinya.
“Winda,” ucapnya penuh senyum. Waduh, kenapa aku melihat ada cinta pandangan pertama di mata Mbak Winda ya. 😅 Semoga saja Bang Riki belum memiliki istri.
“Eh, kalian mau pesan apa?” tanyanya kala pelayan datang menghampiri kami.
“Orange juice saja tiga, Mas,” jawab Mbak Winda. Aw, iyakah? Mungkinkah ini pertanda? Hahahahah … Bang Riki pun memesankan minuman kami.
Tak menunggu lama, minuman yang dipesan pun tiba.
“Langsung dimulai saja,” ujarnya. Aku mulai menceritakan alasan menggugat cerai Mas Anton. Sedetail … mungkin. Bersyukurnya alasanku diterima. Semua berkas penting yang berkaitan dengan proses perceraian kuserahkan padanya. Bang Riki sampai tak menyangka jika semua aset penting menggunakan namaku. Ini sangat memudahkan proses perceraian dan untuk urusan harta gono gini, bisa dibilang aku menang telak.
Sepertinya aku akan dibilang jahat karena tidak mau berbagi. Rakus dan sebagainya yang akan terlontar dari mulut Vina dan keluarganya. Kalau suamiku itu, sudah tidak memiliki orang tua. Dia juga anak tunggal satu-satunya. Semoga saja setelah bercerai dariku, Vina betul-betul tulus mencintainya dan bukan karena memandang hartanya.
“Oke, kalau begitu, Rani serahkan semua pada, Bang Riki. Rani percayakan pada Bang Riki untuk mengurusnya,” ucapku.
“Siap, Rani. Kalau begitu, Abang pulang duluan, Rani. Winda.” Bang Riki mencubit gemas pipi Ayu. “Dah, anak manis,” ucapnya seraya berlalu. Mbak Winda masih menatap kepergiannya.
“Mbak, ikut aku ke toko?” tanyaku.
“Hum, boleh,” jawabnya.
“Jalan saja ya, Mbak. Paling sepuluh menit.”
“Oke.” Mbak Winda menggandeng tangan Ayu.
******************
“Wah semakin maju saja toko kamu, Ran,” puji Mbak Winda sesampainya kami di depan toko.
“Ran! Lihat! Siapa itu yang di dalam,” ucap Mbak Winda. Mataku membulat tak percaya. Dunia ini memang sempit.
“Ran, Mbak sudah cantik ‘kan?” tanyanya.
“Sudah, Mbak,” jawabku.
“Mbak dan Ayu masuk duluan ingin menyapa mereka,” ucapnya seraya bergegas.
Aku jadi penasaran bagaimana reaksinya.