POV WINDA
[P]
[P]
[Tes]
[Tes]
[Tes]
Aku bingung, nomor siapa tiba-tiba mengirim pesan tanpa nama. Namun, saat kulihat bagian profil nampak sebuah nama GALW … Aku si berpikir Mas Galang.
Senyumku mengembang begitu saja layaknya bunga mawar yang mekar. Jelas senyum dong, ternyata mantan yang menghubungi. Apalagi mantan yang menyakiti. Apakah semua perempuan akan merasa senang kalau tiba-tiba mantan datang? Atau hanya aku yang senang? Hahahaha ….
[Assalamualaikum, Wind. Simpan ya, ini nomor teleponku]
[Maaf, ini siapa?] balasku.
[Aku]
[Iya siapa?]
[Aku] Aku terus balasnya.
[Iya, siapa?]
[Galang] Emot senyum ia tambahkan. Hahahah … sudah kuduga dia. Ternyata benar.
[Oh, Mas Galang. Ada apa?] balasku ramah. Tak lupa emot senyum pun ku-tambahkan supaya dia semakin melayang dan GR!
[Wind, kamu tambah cantik saja. Apa tidak menikah lagi] Aha, to the point’ banget ini orang. Asyik, kesempatan untuk membuatnya terbang melayang sebelum akhirnya ku-banting dari ketinggian. Dendam sekali aku rasanya.
[Gimana aku mau nikah lagi, Mas. Cintaku sudah mentok untuk seseorang] emot sedih ku-tambahkan.
[Hem, siapa?] balasnya lagi.
[Oh, bukan siapa-siapa.] Lagi-lagi aku menambah emot senyum.
[Wind]
[Hem]
[Bolehkah aku mengatakan sesuatu dan mengakui kejujuran yang ada di dalam hatiku, Wind?] Hiyak, paling mau minta maaf, modus. Sudah basi. Ini ‘kan taktik laki-laki ….
[Boleh dong, Mas. Mas mau ngomong apa?] Aku tetap bersikap ramah membalas pesannya.
“Kenapa, Mbak? Kok senyum-senyum?” tanya Rani.
“Si Galangkong alias Galang kaya kingkong ngechat, Mbak. Hahahah!” jawabku.
“Dih! Mau-maunya balesin!” ketus Rani.
“Mbak ‘kan beda dengan kamu yang tidak ada maaf untuk pengkhianat. Kalau, Mbak lebih suka berhubungan baik dengan mantan. Itu ‘kan bikin mantan tambah menyesal. Kenapa? Karena kita tetap bersikap baik. Jadi mereka itu mikir,” balasku.
“Kita? Mbak saja kali ya!” Rani pun kembali melayani pelanggan yang hendak melakukan pembayaran. Sedangkan aku, kembali fokus ke layar ponselku.
[Jujur, aku menyesal telah menyakiti kamu sebelumnya. Aku minta maaf. Tahukah kamu? Bahkan aku tidak bisa hidup tenang dan terus memikirkan kesalahanku padamu sebelum mendapat maaf dari kamu. Makanya setelah aku ketemu kamu tadi dan dapat nomor ponsel kamu, aku seneng banget.]
[Mungkin aku tidak pantas mendapat maaf dari kamu. Kesalahanku sangat besar. Tapi sejujurnya aku sangat menyesal. Ternyata pernikahan keduaku, tidak seindah dalam bayanganku. Santi sangat berbeda dengan kamu. Dia terlalu banyak menuntut. Seolah-oleh aku ini mesin penghasil uang. Gaya hidupnya sangat berbeda dengan kamu. Dia suka pamer, suka berhutang, gaya hidupnya mewah meski aku bersusah payah untuk memenuhinya. Dia selalu ingin dipandang “Wah” oleh tetangga dan saudaranya.]
[Setelah menikah dengannya, aku baru tahu kalau ternyata dia itu pembangkang. Di otaknya hanya ada uang dan uang. Kalau tidak ada uang bertengkar setiap hari. Dia yang berhutang segala macam, tapi aku yang kesusahan untuk membayar. Selama dengannya, aku rasa hasil kerja kerasku hanya untuk membayar hutang. Tidak seperti kamu yang pandai menyisihkan uang dan menabung. Akibat hutang yang berlebihan, dan aku juga tidak dapat membayarnya, alhasil semua barang-barang yang telah Santi ambil seperti ponsel, motor, dan alat elektronik lain, harus kembali diambil sama penjualnya. Apa yang aku punya sekarang? Tidak ada! Yang ada hanya tinggal membayar utang-utangnya!]
[Santi jorok! Jarang mandi! Pemarah! Seenaknya sendiri. Menyepelekan kewajiban sebagai Ibu sekaligus istri. Kerjanya marah-marah kalau tidak ada uang. Otakku seakan mau pecah dibuatnya. Kalau boleh aku jujur, aku menyesal telah meninggalkan kamu demi dia. Ternyata, yang terbaik adalah dia yang menemani kita dari nol. Dengan sabar dan berjuang bersama. Bukan dia yang datang ketika kita sudah kaya. Kalau aku bisa mengulang waktu, aku tidak akan menyia-nyiakan kamu. Sejujurnya, aku masih mencinta dan mengharapkan kamu kembali, Wind. Kalau saja kamu masih beri aku satu kesempatan, aku akan memperbaiki diri. Aku menyesal, Wind. Sangat menyesal….] Emot tangis ia tambahkan di belakangnya.
“Mbak!” Rani menepuk pundakku. Aku menoleh ke arahnya. “Apa? Ngagetin, saja!” jawabku.
“Serius banget.” Rani menatap layar ponselku. “Buset, Mbak. Ini kirim pesan, atau surat? Cie di-curhatin mantan!” godanya.
“Mampus! Tekanan batin dia nikah sama pelakor durjanah,” ucapnya.
“Mbak, kasihan tidak sama, Mas Galang?”
“Kalau kasihan sih, manusiawi ya, Ran. Jujur, Mbak juga masih ada perasaan sama, Mas Galang. Walau bagaimanapun, kita ‘kan pernah saling mencintai dan melewati kenangan indah hingga terlahir, Ayu. Tapi ya, Mbak nggak mau balik sama, Mas Galang.”
“Meskipun demi, Ayu, Mbak?” tanyanya lagi.
“Hum! Toh, Mbak sudah terbiasa membesarkan Ayu seorang diri. Tanpa bantuan dari, Mas Galang. Bahkan setelah bercerai, Mas Galang tidak memberikan nafkah untuk Ayu sama sekali. Ayu juga sudah terbiasa tanpa hadirnya, Mas Galang. Bukankah selama ini dia sibuk dengan keluarga barunya? Menikmati kebahagiaan selama bertahun-tahun? Kenapa sekarang dia datang mengeluh?”
“Betul, Mbak! Buang mantan pada tempatnya. Oh iya, tidak dibalas pesan dari Galangkong?”
“Balas dong, Ran.” Segera kuketik balasan pesan untuknya.
[Sudahlah, Mas. Jalani saja pernikahan kalian. Bukankah kamu yang dulu bernafsu untuk menikah dengannya hingga rela mencampak-kan aku dan Ayu? Bahkan demi perempuan itu, kamu juga rela mendua dengan terang-terangan. Ini sudah jadi pilihan kamu, maka jalani saja, Mas. Lagipula pernikahanmu dengan-nya sudah berjalan cukup lama. Aku juga tidak mau dibilang penggoda oleh istrimu. Nanti dia bilang aku tak tahu diri. Kamu juga sudah punya anak perempuan. Sudah besar seperti Ayu. Kamu sudah punya keluarga sendiri sekarang. Bahagia atau tidak, itu bukan urusan aku lagi, Mas. Itu ‘kan sudah menjadi pilihan kamu. Jadi jalani saja.] balasku dengan menambah emot senyum sok bijak.
“Widih! Panjang banget balasannya!” goda Rani. Aku hanya tertawa menahan malu. Sebenarnya masih banyak lagi kata-kata terpendam yang ingin ku-ucapkan. Namun aku tak seberani Rani. Kalau Rani jadi aku, mungkin sudah makan hinaan Mas Galang. Entah, Adikku itu memang paling berbeda. Terlalu berani. Bukan terlalu, mungkin kelewat. Ah, sama saja intinya itu-itu juga.
“Terlalu lembut kamu, Mbak. Kalau aku tak bisa sesabar itu. Hih!” ucapnya seraya bergidik.
**************
Hari sudah pukul lima sore, waktunya tutup toko. Rani sibuk menghitung banyaknya omset toko hari ini. Sebenarnya, masih rame. Tapi, kasihan para karyawan kelelahan.
“Wah, lumayan rame hari ini,” ucap Rani.
“Hem, iyakah?” tanyaku.
“Iya nih, Mbak. Dapat 120 juta. Tadi ‘kan ada yang borong matrial. Allhamdullillah,” ucapnya. Aku tersenyum ikut bahagia. Memang bagus rezeki Rani. Hanya saja dalam hal percintaan dia kurang beruntung. Sama-sama diambil pelakor suaminya. Dosa apa kami ini. Entahlah, mungkin juga ini ujian kesabaran.
“Edi! Kohar! Kalian tutup toko ya,” perintah Rani. Kedua karyawannya pun langsung bergegas senang.
Tepat pukul 17.45 menit, mereka pun selesai menutup toko.
“Semuanya kumpul disini! Mau panggil anak-anak, tapi kalian bukan anak-anak,” ucap Rani tertawa. Dengan cepat mereka pun berkumpul menghampiri Rani.
“Tangan saya gatel, Bu. Bau-bau mau dapat duit ini,” goda Edi.
“Kamu ini, Di. Kalau urusan duit peka banget,” jawab Rani di ikuti tawa para karyawan-nya.
“Wah, jadi beneran, Ibu mau kasih kami uang?” timpal karyawan yang terdapat nama Kohar di bajunya.
“Nih buat kalian. Hari ini allhmdullillah, toko rame.” Rani menyerahkan selembaran uang ratusan pada semua karyawannya. Mereka terlihat sangat senang dan mendoakan semoga toko Rani semkain maju.
“Terimakasih, Bu!” ucap mereka serempak.
“Kalau, Bapak. Mana pernah begini. Paling cuma, Vina yang dikasih. Habis itu diajak ngamar. Waktu dijaga Bapak, mana pernah serame ini. Mungkin sial karena sering dipake begituan kali ya,” lirih salah satu karyawan perempuan. Di bajunya terdapat nama, Nana.
“Sssssttt!” balas temannya. Nana pun langsung membungkam mulutnya dengan kedua tangannya.
“Bu, kami duluan. Terimakasih banyak, Bu,” pamit mereka bersamaan.
“Kamu bagi-bagi duit, tidak rugi?” tanyaku seperginya mereka.
“Tidaklah, Mbak. Yang ku-bagi pada mereka, itung-itung uang tambahan supaya mereka semakin semangat lagi kerjanya.”
“Ayok, Mbak. Taksinya sudah datang.” Kami pun gegas masuk ke dalam taksi.
Wajah Ayu terlihat lelah. Biasanya dia menghabiskan waktu di rumah. Tapi, hari ini sibuk mengikuti aktifitas orang dewasa.
****
“Mbak, Mas Anton dan Vina beneran pergi atau bakal balik lagi?” tanyanya sembari menyandarkan kepalanya di bahuku.
“Kenapa? Kamu sedih?” tanyaku. Rani hanya terdiam. Tak pernah kulihat air mata adik perempuanku ini terjatuh. Bahkan aku tidak tahu, dia sedih atau tidak mengalami kejadian seperti ini meski terlihat kuat. Karena aku yang sudah merasakan, sakitnya itu luar biasa, dan hanya air mata yang mampu membuatku lega. Tapi, Rani tidak sedikitpun meneteskan air matanya. Sekuat itukah, Rani?
“Buat apa aku bersedih untuk laki-laki yang tidak bisa menjaga kesetiaan dan kepercayaan-ku, Mbak? Rasanya rugi. Air mataku terlalu berharga untuk menangisinya.” Entah, kenapa aku merasa, jawaban yang terlontar dari mulutnya hanya untuk menutupi kesedihannya.
Deeerrrttttt ….!
Ponselku kembali bergetar. Rani menyingkir dari bahuku.
“Siapa, Mbak?”
“Mas Galang.” Kubaca pesan darinya.
[Apa kamu mau memberiku kesempatan sekali lagi? Aku mau kok diam-diam menjalin hubungan lagi sama kamu. Asal kamu mau, aku rela. Atau, aku ceraikan saja, Santi? Kebahagiaanku ada bersamamu, Wind. Maafkan aku … aku ingin kembali. Lagipula, bukankah kamu masih mencintaiku, Wind?]
“Ih, gila sekali orang itu, Mbak. Dasar laki-laki brengsek! Jangan mau, Mbak! Enak saja. Memang, Mbak perempuan murahan. Seenaknya saja dia!” kesal Rani.
Aku masih santai menanggapinya. Dari kata-kata yang ia tulis menunjukkan seperti dia itu menganggap pernikahan adalah sebuah permainan. Tak habis pikir dengan lelaki macam ini. Tak rugi nyatanya dulu aku berhenti mengemis cintanya, dan berlarut dalam mencintainya.
[Mas, jatuh cinta saja tidak cukup untuk berbahagia, hati dan logika harus disertakan ketika memutuskan untuk meninggalkan atau untuk bersama! Pernikahan bukan sebuah permainan yang hanya untuk mencari sebuah kebahagiaan dan kenyamanan. Jika kamu tidak nyaman, maka memutuskan untuk meninggalkan. Lalu menyisakan sebuah penyesalan.]
[Maaf, Mas. Sampai kapanpun aku tegaskan, aku tidak akan pernah mau kembali bersamamu. Nikmati saja hidupmu bersama wanita pilihanmu. Dan aku, akan bahagia bersama pilihanku!] Kusimpan kembali ponsel dalam tas. Aku pun tak mengharap lagi balasan pesan darinya.
“Oh iya, tadi waktu kamu berantem sama, Anton, Mbak sengaja merekamnya. Ada juga kata Anton yang sesumbar tidak membutuhkan uang kamu. Secara tidak langsung, Anton mengakui kalau semua harta itu milik kamu. Ini bisa menjadi tambahan bukti kuat, kalau semua aset memang milikmu, Ran,” ucapku.
“Wah, Mbak memang hebat. Aku jadi tidak sabar memberikan surat gugatan cerai itu. Bagaimana reaksinya nanti ya, Mbak. Apa mungkin dia akan menyesal? Mungkinkah kebahagiaan Mas Anton ada bersama, Vina?” Sederetan pertanyaan keluar dari mulutnya. Mungkinkah Rani benar tidak terluka? Atau dia sengaja menyimpan luka?
“Aku tidak ingin, Mas Anton bahagia, Mbak. Aku menginginkan dia hancur, sehancur-hancurnya. Semoga setelah bangkrut, dia tidak pernah bisa bangkit lagi!”
‘Semoga saja Anton betulan pergi, Ran. Aku tidak yakin, karena Anton itu, satu jam bilang A, setengah jam kemudian berganti B.’
‘Oh ya, kira-kira Anton dan Vina pada pergi kemana, ya?’