Sebelum kembali ke SMP dan menghujam Pak Kirun dengan ribuan pertanyaan, aku memutuskan untuk mencoba toilet di gedung SMA ini. Aku pun melepaskan semua amarahku di dalam toilet, kepada dinding yang sama sekali tidak bersalah. Tangan ku sedikit lecet karena perbuatanku tersebut. Sebenarnya, aku bisa dibilang pendiam. Bukan orang yang suka mencari – cari masalah. Aku sendiri bahkan lebih suka untuk memendam masalah yang aku alami. Akan tetapi, terkadang masalah itu terlalu banyak untuk dipendam dan akhirnya harus muncul sebagai amarah yang tak terbantahkan. Amarah tersebutlah yang akhirnya menuntunku untuk membunuh kakak Yurika. Aku seringkali tidak bisa mengontrol amarah yang tercipta dari masalah – masalah yang kupendam sendiri. Amarah tersebut mengambil alih tubuh dan pikiranku dan hasil dari perbuatannya menjadi tanggung jawabku sepenuhnya. Setelah semua telah terjadi, aku hanya bisa menangis meratapi semua yang telah aku dan amarahku lakukan. Ya begitulah aku, laki – laki dengan emosi yang belum bisa dikendalikan dengan baik. Saat amarahku sudah di ubun – ubun, aku akan melakukan sesuatu yang tidak masuk akal. Setelah itu, aku akan menangis sejadi – jadinya. Pernah suatu kali di penjara, seseorang yang sudah mendengarkan ceritaku berkata,
“kamu itu diam – diam menghanyutkan. Pembunuh yang tenang.”
Tentu saja aku tidak pernah setuju dengan apa yang di katakannya. Aku tidak mau di cap pembunuh. Dalam hatiku, aku selalu menyangkal kalau aku pembunuh. Kakak iparku lah yang membuat dirinya sendiri terbunuh. Ia yang menyebabkan semuanya, aku yang harus masuk penjara dan istriku yang menikah dengan laki – laki lain. Sialan memang kakak istriku itu! Kalau dia hidup lagi, ingin rasanya aku bunuh dia sekali lagi!
Di penjara, menjadi seorang narapidana dengan dakwaan pembunuhan itu seperti dua sisi koin, ada enak dan ada tidak enaknya. Di dalam penjara, menjadi terdakwa pembunuhan membuatku disegani. Banyak yang takut kepadaku. maklum, mencabut nyawa orang itu bukan perkara gampang. Apalagi bagi orang yang sadar akan akibatnya. Di sisi lain, aku juga menjadi bulan – bulanan “jagoan – jagoan” yang sudah masuk penjara sebelum aku. Tantangan demi tantangan mereka berikan. Alhasil, aku harus babak belur karena harus berkelahi dengan banyak orang. Belum lagi aturan – aturan yang dibuat oleh “senior – senior” di dalam penjara. orang – orang yang dianggap senior tadi sangatlah berkuasa. Mereka dekat dengan sipir dan kepala penjara. Karena itulah, Mereka mempunyai semacam kekebalan yang mereka dapat dari hubungan manis mereka tersebut. Kekebalan tersebutlah yang dapat memasukkan narkoba, minuman keras, dan senjata tajam ke dalam penjara. Ya, begitulah kehidupanku di penjara. 15 tahun selalu seperti itu? Tidak juga. Ada kalanya keadaan menjadi sangat damai dan menyenangkan.
Akhirnya aku bisa bertemu dengan Pak Kirun. Ia tersenyum melihatku, “menyerah?”
Aku menggeleng, “ada apa dengan kelas itu, Pak? Tidak ada hormatnya sama sekali.”
Sekali lagi Ia tersenyum. Entah apa yang ada di pikirannya. Yang jelas, aku ingin penjelasan secepatnya dan sejelas mungkin. Ia masuk ke dalam ruangannya. Gerakan tangannya menandakan aku harus mengikutinya. Di dalam ruangan Pak Kirun, ada tiga orang. Satu perempuan dan dua laki – laki. Aku tidak pernah melihat wajah mereka. Siapa mereka?
“kenalkan, dek. Ini guru yang menangani kelas yang baru saja kamu tangani. Bu Lastri.” Ujar Pak Kirun. Yang bersangkutan langsung berdiri dan mengajakku berjabat tangan.
“bagaimana kelasnya tadi?” tanya Bu Lastri. Aku hanya bisa menjawab dengan senyuman tanggung. Senyuman yang sebenarnya tidak mewakili perasaanku sama sekali.
“kalau bapak – bapak ini dari polsek.” Aku terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Pak Kirun. Ada dua polisi di hadapanku. Apa ada hubungannya denganku? Aku tidak mau berurusan dengan satupun dari mereka lagi. cukuplah 15 tahun bagiku.
“siang, Pak. Saya dengar bapak baru saja menyelesaikan hukuman ya? selamat pak! Sudah bisa kembali lagi ke masyarakat.” Ujar salah satu polisi yang bertubuh agak gemuk bernama Erik. Aku kembali mengeluarkan jurus senyumanku. Aku benar – benar tidak ingin berinteraksi dengan polisi tersebut. Kedua polisi tersebut kembali duduk dan menghadapkan pandangan mereka pada Pak Kirun.
“yang berhasil kami identifikasi cuma 16 anak, Pak. Sisanya kembali ke sekolah. Benar – benar perkelahian yang mengenaskan.” Ucap salah satu polisi tersebut sambil menggelengkan kepalanya. Ia tampak tidak bisa mempercayai kejadian tersebut. Aku langsung mengambil kursi dan duduk di samping Bu Lastri. “bayangkan, Pak. Sampai ada yang lengan dan kakinya patah.”
Bu Lastri sedikit terkejut. Tapi wajahnya langsung kembali datar. Aku mulai mengerti tentang apa yang dibicarakan oleh kedua polisi tersebut. Melihat keenambelas anak yang baru saja dia temui, Ia berani bertaruh bahwa keenambelas anak itulah yang dimaksud kedua polisi dalam pembicaraan mereka tadi. Tak lama kemudian, kedua polisi tersebut pamit.
“tolong diselesaikan dengan baik masalah ini, Pak. Kalau lain kali sampai tertangkap, mungkin langsung akan kena pidana. Apalagi kalau sampai melukai orang lain.” Ujar polisi yang bernama Erik tadi. “kami pamit dulu, Assalamualaikum.”
“waalaikumsalam.” Balas Pak Kirun, Bu Lastri, dan aku hampir bersamaan.
Pak Kirun menoleh ke arahku, “tampaknya kedua polisi tersebut sudah menjawab semua pertanyaanmu, dek.”
“ya…begitulah, Pak.” Jawabku singkat. Aku kembali duduk di tempatku. Aku menghela nafas panjang. Walaupun aku tidak memberikan materi di kelas, tenagaku habis juga untuk memikirkan anak – anak kelas tadi.
“mau berhenti, dek? Gak masalah sih kalau nggak kuat.” Tanya Pak Kirun. Di sampingku, Bu lastri masih saja memandangiku.
“belum, Pak. Aku masih ingin mengajar kelas itu.” Ujarku sambil menoleh ke arah Bu Lastri. Pak Kirun tersenyum. Begitu juga Bu Lastri.
“yakin?” Pak Kirun menanyakan keyakinanku. Aku mengangguk yakin. Walaupun aku seorang mantan narapidana, aku masih punya sedikit idealism dalam mengajar. Aku ingat saat pertama kali aku masuk kuliah untuk pertama kalinya. Semangatku untuk belajar sangat meluap – luap. Terlebih lagi, jurusan yang kuambil memang cocok dengan keinginanku. Di saat – saat kuliah, semua idealism ku muncul. Banyak sekali mimpi – mimpi dan angan – angan yang ingin aku wujudkan setelah aku lulus terutama mimpi – mimpi tentang pendidikan yang lebih baik. Sudah sangat terkonsep dengan baik mimpi – mimpi tersebut di kepalaku. Walaupun, hanya teori, tapi aku yakin aku bisa menerapkannya. Akan tetapi, semua berubah saat aku masuk penjara sebelum bisa mengabdikan diri dan menerapkan semua konsep – konsepku tentang pendidikan. Angan – anganku yang dulu sangat banyak entah menguap kemana pada waktu itu. Yang bisa kupikirkan, hanya bagaimana bisa bertahan di dalam penjara dengan kehidupan yang sangat keras. Berkali – kali aku mencoba mengulang mimpi – mimpiku tersebut, tapi aku gagal. Sekarang, aku rasa aku bisa menerapkannya. Aku rasa aku mampu. Idealisme ku tumbuh lagi.
“kalau memang kamu bisa, Bu Lastri akan aku pindah ke SMP dan kamu akan menggantikan beliau di SMA.” Ujar Pak Kirun enteng.
Aku sedikit terkejut tapi itu memang konsekuensi dari apa yang aku katakan tadi. Aku tidak mungkin menarik omonganku lagi dan menolak keputusan tersebut. Aku harus bertanggung jawab dengan apa yang aku katakan.
“baiklah, Pak. Mulai kapan?” tanyaku kepada Pak Kirun.
“mulai lusa pagi. Bahasa inggris dijadwalkan hari Senin dan Jum’at. Selain dua hari itu, kamu juga harus datang hari Sabtu untuk mengawasi kelas tambahan untuk ujian nasional sekaligus mengajar bahasa inggris untuk kelas tambahan tersebut. Kelas tambahan untuk bahasa inggris hanya sekali dalam sebulan.”
Oke! Sebagai guru baru. Mungkin akan terasa berat, tapi aku harus bisa. Aku ingin mengembalikan semangat yang dulu hilang. Mungkin dengan mengajar kelas yang sangat berat masalahnya ini, semangatku akan kembali. Pikiranku sudah melayang kemana – mana. Bayangan – bayangan tentang konsep mengajar yang aku ciptakan mulai muncul. Aku pasti bisa! Aku ingin membayar waktu 15 tahun yang direnggut dariku. Aku harus bisa!
“tapi, dek! Kamu harus ingat! Jangan sampai identitasmu sebagai narapidana terbongkar. Dan lagi, jangan kasar terhadap anak – anak tersebut.” Ujar Pak Kirun lirih.
“siap, Pak.”
Aku kembali ke tempat kosku dan langsung mengambil secarik kertas untuk menuliskan gagasan – gagasan yang aku gunakan untuk mengajar kelas yang dianggap berat tersebut. Cukup lama aku mencoret – coret kertas tersebut. Banyak sekali ide – ide yang aku tuangkan. Saat adzan berkumandang, aku berhenti untuk sholat dan kembali lagi setelahnya. Aku sangat bersemangat! Aku mencoba membuka – buka kembali buku – buku milikku tentang teori – teori pendidikan untuk sekedar mengingatkanku tentang konsep – konsep pendidikan yang di ungkapkan ahli – ahli di masa lalu. Terkadang kita lupa dengan gagasan – gagasan tersebut, karena kita merasa pintar. Padahal, gagasan – gagasan tersebut bisa jadi lebih baik daripada apa yang kita pikirkan.
Aku berusaha menemukan akar dari permasalahan di kelas tersebut. Aku mencoba mengingat anak – anak yang aku tetapkan sebagai pembuat onar tadi. Tiba – tiba ingatanku langsung menuju ke anak perempuan yang sangat berantakan tadi. Siapa nama anak itu? Apa dia ikut perkelahian yang diungkapkan dua polisi tadi? Kalau memang dia ikut terlibat, pemikiranku tentang murid perempuan yang biasanya ramah seperti Riska dan Meidi akan kuubah. Tak terasa, sudah sangat lama aku sibuk dengan banyak kertas dan buku. Rasa kantuk pun mulai menyerang dan tak lama kemudian aku tertidur.