Secangkir teh hangat menemaniku sore itu. Teman yang baru kembali dari kampung sedang bercerita tentang kabar yang sangat tidak menyenangkan. Istriku menikah lagi. Enggan sebenarnya aku mendengarkan semua kenyataan tersebut. Hati ini terasa hancur. Aku disini membanting tulang untuk dia, tapi ternyata balasannya seperti ini. Tapi, apa dayaku? Aku hanyalah pria yang masih dalam proses perubahan, dari buruk ke baik; dari gelap ke terang.
“kamu yakin dengan apa yang kamu katakan, Di??” aku mencoba meyakinkan Pardi, kawanku yang sedari tadi berusaha menceritakan semua tentang istriku.
“aku yakin lah, San. Aku dengar dari mulut istrimu sendiri.” Wajah Pardi terlihat sangat serius. Tidak ada sedikitpun keraguan.
Aku terdiam mendengar apa yang diucapkan oleh Pardi. Keteguhannya membuatku semakin terpuruk. Tapi pantang untukku mengeluarkan air mata. Apalagi untuk wanita semacam istriku yang tega meninggalkanku saat aku sedang berusaha untuk bangkit.
Namaku Sandy, lebih lengkapnya; Sandy Pratama. Tapi orang lebih mengenalku sebagai Sandy si sadis atau Sandy pembunuh. Aku memang belum lama ini keluar dari penjara setelah harus mendekam di dalam tempat yang mengerikan tersebut selama hampir 15 tahun. Kejahatan yang kulakukan? Membunuh kakak iparku sendiri. Keluar dari penjara aku langsung menemui istriku, atau lebih tepatnya mantan istriku; Yurika. Kami sudah menikah cukup lama tapi belum juga dikarunai momongan sampai akhirnya kegiatan membuat momongan pun terhenti selama aku berada di penjara. Yurika sangat jarang menjengukku saat aku masih di penjara. entah karena malu atau alasan lainnya. Ingin rasanya aku bertanya kepadanya, tapi rasa cinta dan sayangku kepadanya menghalangiku. Aku tak ingin membuatnya merasa disalahkan karena tidak menjengukku. Yang sebenarnya patut disalahkan adalah diriku sendiri, bukan dia atau orang lain. Saat bertemu pertama kali dengannya, yang bisa aku lakukan adalah menangis. Ia pun juga sama. Ia langsung memelukku. Jika mengingat saat – saat itu dan membandingkannya dengan kenyataan hari ini dimana Ia pergi dengan laki – laki lain, aku merasa jika air mata dan pelukannya hanya kebohongan semata.
“yang sabar, San. Jangan emosi.” Pinta Pardi kepadaku. Selama di Surabaya, Pardi lah yang menjadi teman setiaku. Ia berangkat bersamaku ke Surabaya untuk mengadu nasib. Sebagai seorang mantan narapidana, sangat sulit untukku untuk mendapatkan pekerjaan. Sampai suatu saat, Pak Parjo menawarkan pekerjaan kepadaku. Pekerjaan yang cukup aku kuasai, guru bahasa inggris.
“kamu mau jadi guru, San? Kamu sarjana kan?” tanya Pak Parjo saat kami berdua dan beberapa orang lainnya sedang melakukan ronda keliling kampung.
“kalau memang ada, ya saya mau, Pak. Tapi…apa ada yang mau sama mantan narapidana seperti saya ini?” aku sedikit kurang percaya diri. Dalam banyak kasus, mantan narapidana sangat susah untuk mendapatkan tempat kembali di tengah masyarakat. Banyak dari mereka yang akhirnya melakukan kejahatan dan masuk penjara lagi. Pandangan masyarakat pada seorang narapidana sangatlah rendah. Mereka berpikir bahwa seorang yang pernah melakukan perbuatan kriminal tak ubahnya seperti kotoran yang harus disingkirkan. Untungnya, masyarakat di kampungku mengerti tentang apa yang kualami. Mereka tahu mana yang benar dan mana yang salah. Saat aku kembali dari penjara, tak seorang pun yang menyudutkanku. Mereka semua menyambutku dengan baik, tak terkecuali Pak Parjo ini.
“aku punya saudara seorang kepala sekolah di Surabaya. Kebetulan, beliau butuh beberapa guru yang sudah memegang ijazah S1. Beliau sebenarnya sudah coba untuk merekrut beberapa orang tapi hasilnya kurang memuaskan. Kemarin aku coba ceritakan tentang kamu. Eh, beliaunya setuju.” Ujar Pak Parjo sambil meminum segelas kopi yang sudah disediakan. Ia memandang Sandy yang sedang bimbang. “sekarang saatnya, San. Kalau menurutku, mending kamu terima saja.”
“tapi masak saya meninggalkan istri saya lagi, Pak?” tanyaku kepada Pak Parjo. Aku tidak ingin meninggalkan istriku lagi. Aku sudah cukup merasa bersalah dengan tidak memberinya nafkah lahir dan batin selama 15 tahun.
“ya mungkin, kamu bisa mengajak istrimu kalau dia mau.” Pak Parjo mencoba memberikan solusi. Pikiranku melayang ke istriku yang mungkin sekarang sedang tidur nyenyak. Semoga Ia mau ikut.
“Di, kita minum kopi, yuk. Ceritamu tentang mantan istriku bikin aku pengen minum kopi hitam yang kental.” Setelah mendengar semua cerita Pardi aku jadi mengerti alasan kenapa Yurika tidak mau ikut denganku ke Surabaya. Ternyata karena laki – laki itu.
“loh, ayo aja, San. Kamu yang bayar ya? he…he…he?” Pardi tersenyum. Teman baikku yang satu ini memang sangat polos. Waktu dia aku ajak ke Surabaya, dia sangat senang. Dia langsung mengabarkan ke semua orang di seluruh pelosok desa bahwa dia akan ke Surabaya. Aku hanya bisa tertawa melihat tingkah lakunya tersebut.
Sesampainya di Surabaya untuk pertama kalinya, aku langsung menghubungi orang yang dimaksud oleh Pak Parjo. Tanpa banyak basa – basi, orang yang bernama Pak Kirun tersebut menyuruhku untuk datang lagi besok dan langsung mengajar. Aku terkejut saat beliau mengatakan itu semua. Tak kusangka, dengan predikat mantan narapidana; ada orang yang masih percaya kepadaku. Selain ijazah, aku juga menyertakan beberapa lembar rekomendasi kerja dari beberapa lembaga bimbingan belajar yang pernah mempekerjakanku. Sebelum masuk penjara, aku sempat bekerja di beberapa tempat. Saat aku kembali dari penjara, tak ada satupun dari lembaga bimbingan belajar tersebut yang mau menerimaku kembali.
Saat aku hendak keluar dari ruangan Pak Kirun, “Dek Sandy, sudah dapat tempat kos?”
Aku menggeleng. Aku hampir lupa kalau aku dan Pardi belum sempat mencari tempat kos untuk tempat kami tinggal selama di Surabaya.
“ya sudah, coba tanya ke Bu Andi yang jual nasi kuning di kantin. Mungkin dia tahu tentang tempat kos di dekat sini.” Ujar Pak Kirun sambil membereskan berkas – berkas yang aku berikan padanya.
Dengan informasi yang aku dapat dari Bu Andi, akhirnya aku menemukan tempat kos yang cocok untukku dan Pardi. Tarifnya cukup murah dibandingkan dengan tempat kos lain di daerah tersebut. Terlebih lagi, sang pemilik tempat kos, Pak Fatah; memberikan diskon tambahan khusus untuk kami. Suasana tempat kos ini cukup menyenangkan. Penghuni lainnya yang mayoritas buruh sangat ramah kepada kami sehingga tidak perlu waktu lama untuk akrab dengan semua penghuni tempat kos tersebut. Karena keakraban itu lah, Pardi mendapatkan pekerjaan sebagai buruh di pabrik obat nyamuk bakar. Bagi Pardi yang lulusan SMA, pekerjaan itu sudah cukup baginya.
“sudah siap untuk besok, San?” tanya Pardi padaku. Aku langsung teringat bahwa besok aku harus mengajar anak – anak SMA. Tempatku mengajar sebagai guru bahasa inggris memang didirikan oleh sebuah yayasan yang juga mendirikan SD, dan SMA. Sering sekali guru, SMP ditugaskan untuk mengajar anak – anak SMA untuk persiapan ujian nasional. Besok tibalah giliranku. Untungnya, pelajaran bahasa inggris menurutku hanyalah pengulangan. Jadi apa yang ada di SMP mungkin saja nanti akan di ajarkan lagi di SMA. Memang ada sedikit materi baru, tapi syukurlah aku masih bisa menguasainya sehingga aku dengan mantap bersedia menerima tugas yang langsung disampaikan oleh Pak Kirun. Apalagi ini untuk ujian nasional, aku malah bisa lebih santai mengajar mengajar mereka.
“doakan aja, Di. Eh iya, dari kampung kamu bawa apa?” pikiranku tentang Yurika masih saja menggangguku. Aku berusaha mengenyahkannya tapi ternyata sangat sulit. Harusnya aku mulai membencinya karena dia meninggalkanku, tapi kenapa aku tak mampu. Saat Pardi sudah terlelap, aku masih saja terjaga sambil memandangi atap kamar kos ku yang sudah kena rembesan air disana – sini. Yurika, sedang apa dia sekarang? Apa hidupnya sudah enak sekarang? Apa kebutuhannya sudah dicukupi oleh laki – laki barunya tersebut? Terselip rasa kecewa dalam hatiku. Bukan kecewa karena istriku, tapi kecewa pada diriku sendiri.
“andai aku dulu nggak masuk penjara.” ujarku dalam hati. Penjara memang mengubah hidupku. Tidak ada yang sama lagi.