My Wife is My Enemy episode 11

Alasan

Mulai saat itu aku secara resmi menjadi karyawan restoran keluarga di pusat kota. Beruntunglah aku mengenal Pak Ginanjar, kenalan ayahku yang menjadi manajer di tempat ini.

Dengan begitu aku jadi bisa bekerja di sini tanpa kesulitan.

Sudah berhari-hari sejak aku bekerja paruh waktu. Setiap sepulang sekolah aku datang guna bekerja di sini sampai sore hari.

Alasanku bekerja bukan karena aku ingin membeli sesuatu. Tapi karena ada alasan kuat lainya yang tak bisa kuabaikan.

Bel sekolah telah berbunyi tepat pukul dua siang. Menandakan berakhirnya seluruh kegiatan belajar dan mengajar di sekolah.

“Sena, kok beberapa hari ini kau pulang ke arah yang berlainan?”

Zidan bertanya dengan ekspresi bodoh di wajahnya.

“Soalnya aku ada perlu.”

“Apa itu? Jalan bareng tante-tante?”

“Iya, terserah kau saja.”

Jawabku malas. Karena aku ingin segera datang ke tempat kerja setelah ini.

“Wooiiiiii…….!!! Katanya Sena sering jalan bareng tante-tante….!!!”

Suara lantang Zidan sontak membuat seluruh perhatian siswa di kelas tertuju padaku.

Sebagian ada yang tertawa dan menganggapnya bercanda. Ada juga sebagian yang memandang jijik ke arahku, beberapa di antaranya adalah perempuan.

“Eh, setan! Kenapa malah teriak-teriak….!!!!?”

“Kau sendiri yang bilang.”

“Argh…! Aku tidak serius, tahu!”

“Haha… tenang aja. Mereka juga gak akan nganggep serius, kok.”

Mendengarku tertawa bersama Zidan, Nia lalu berjalan menghampiriku. Buah dadanya yang besar membuatnya berguncang-guncang saat berjalan. Baik aku maupun Zidan terfokus pada titik itu untuk beberapa saat.

“Apa benar kau sering jalan bareng tante-tante, Sena?”

Nia memiringkan sedikit kepalanya. Wajahnya terlihat cantik saat rambut poninya sedikit berkibar karena tertiup angin yang berhembus dari jendela.

“Nia, tolong jangan percaya semua kata-kata si kampret ini!”

“Syukurlah, kukira itu benar!”

Untuk orang yang terlalu mudah percaya sepertinya, tak mengherankan kalau ia mempercayai kata-kata Zidan.

Bahkan kalau aku berkata Monas akan dipindah ke Kalimantan, sepertinya ia akan mempercayainya tanpa ragu.

Tapi sifat polos dan lugunya inilah yang menarik perhatian banyak pria. Andai saja dia yang dipaksa menjadi istriku, aku gak bakalan protes deh. Setiap hari aku mungkin aku akan selalu diberi senyuman indahnya, atau ciuman selamat pagi, atau mungkin yang lebih erotis lagi.

Seperti……

Wah! Aku tak sanggup membayangkan lebih jauh lagi! Kalau benar seperti itu, kehidupanku akan menjadi seperti di surga.

“Sena!? Kenapa kau cengar-cengir sendiri?”

Nia menatapku dengan mata kebiruanya.

“T-Tidak kok. Ini bukan apa-apa…”

“Senyummu menjijikan sekali!”

Dengan entengnya Zidan melontarkan kalimat sarkasmenya. Dia bahkan tak menyadari seberapa menjijikanya dia saat bermain eroge.

“Berisik banget sih, tot!”

Kulihat jam digital di pergelanganku. Sial! Sudah jam segini. Kalau aku tidak cepat-cepat, aku akan terlambat masuk kerja. Aku tak mau dicap sebagai karyawan ngaret di hari-hari awal pertamaku bekerja.

“Ah, maaf ya! Nia! Zina! Aku ada perlu sehabis ini. Sampai jumpa besok!”

Aku melambaikan tanganku pada mereka. Tak seperti Zidan yang acuh, Nia membalas dengan lambaian tangan dan senyum manis padaku.

Ya ampun! Kenapa bisa ada makhluk semanis itu di dunia, sih!? Orang yang akan menjadi suaminya pastilah pria yang paling beruntung di seluruh alam semesta.

Tak sepertiku yang mendapat istri dari dunia bawah tanah. Yang bahkan tak pernah memberiku ucapan selamat pagi.

“Kau mau kemana lagi?”

Ucap seseorang yang berdiri tepat di depan pintu kelas. Dia menyandarkan tubuhnya di dinding dan memandangku dengan mata oranyenya.

Panjang umur si makhluk bawah tanah ini! Aku baru saja membicarakanya dalam pikiranku.

“Jangan bilang kau ingin bermain game dengan temanmu lagi.”

“Memang itu kenyataanya, kok.”

“Setiap hari?”

“Dia selalu menantangku lagi kalau kalah. Atau kau mau ikut bersamaku?”

Aku sengaja memancingnya seperti itu agar gadis itu tak lagi bertanya padaku dengan rasa penasaranya. Kalau aku terus-terusan membuat alasan, dia mungkin akan semakin curiga padaku.

Semakin aku mengelak, aku semakin terlihat berbohong.

Pokoknya rahasiaku yang menjadi karyawan paruh waktu akan kusembunyikan pada siapa pun, termasuk Bella.

“Tidak usah, aku langsung pulang saja.”

“Ya sudah, aku pergi dulu. Jangan lupa masakkan sesuatu yang enak saat pulang nanti.”

“Cih!”

Bella mendecak. Kelihatanya ia sangat tak suka saat aku memintanya seperti itu. Tapi terserahlah, yang penting aku bisa lolos dari jeratan rasa ingin tahunya.

Aku segera naik bus kota untuk sampai ke restoran tempatku bekerja.

Untung saja busnya tidak sering ngetem dan berjalan lambat, jadi aku bisa sampai tepat waktu sebelum memulai shift-ku.

Aku masuk melewati pintu khusus karyawan, dan segera mengganti bajuku dengan seragam karyawan.

Di sini aku bekerja sebagai pelayan. Senyum dan keramahan adalah poin penting untuk bagian ini. Karena aku mungkin bisa ditegur atasan jika tidak memberikan pelayanan yang baik kepada para pelanggan.

“Baru pulang sekolah, ya?”

Sapa Mbak Rena, kepala pelayan berumur 24 tahun di restoran ini sekaligus pembimbingku saat menjalani masa percobaan di sini.

Kulitnya kuning langsat. Wajahnya terbilang cukup cantik, tapi tidak semanis Nia atau Bella. Tapi itu sudah cukup untuk membuatnya dipersunting oleh anak pengusaha kaya.

Aku heran. Kenapa dia mau bekerja sebagai pelayan kalau suaminya kaya raya? Aku tidak tahu apa. Tapi yang jelas, dia punya alasan kuat sepertiku untuk bekerja di sini.

“Iya, Mbak! Make seragam sekolah kemari, masa iya abis pulang perang.”

Jawabku dengan sedikit bercanda.

“Haha… kamu lucu, ya?”

Mbak Rena menutup mulutnya agar giginya tak terlihat saat tertawa.

“Saya permisi dulu, mbak!”

Aku izin untuk keluar dari ruangan karyawan. Memulai pekerjaanku dengan membawakan pesanan dari dalam dapur ke atas meja pelanggan.

Ini sudah lewat dari jam makan siang. Tapi nampaknya kepopuleran menu yang membuat restoran ini tak pernah sepi dari banyak pelanggan.

Sudah sekitar satu jam sejak aku masuk kerja, tapi badanku sudah terasa lelah. Ini semua gara-gara pesanan pelanggan yang tak pernah berhenti.

“Sena, antarkan pesanan ini ke meja nomor 13!”

“Siap, Mbak Rena!”

Kutaruh pesanan pelanggan ke atas tanganku, dan membawanya menuju meja nomor 13 berada. Masih dengan senyum yang tak pernah hilang dari wajahku, kuhidangkan pesanan tadi tepat ke atas meja.

“Ini pesananya! Terima kasih!”

“Lambat! Dasar nggak becus!”

Ujar pelanggan yang mengenakan seragam SMA. Tapi aku tak bisa melihat wajahnya karena ia menutupinya dengan topi hingga ke bawah.

Tapi sepertinya aku mengenal suara ini.

Jangan-jangan…

Pelanggan itu membuka topinya. Berkibarlah rambut panjang oranye yang berkelebat dari dalam topinya.

“Apa kau memenangkan gamenya?”

“B-B-Bella…!”

Aku tak mampu menyembunyikan ekspresi keterkejutanku. Bahkan aku menyuarakannya dengan agak keras.

“K-Kenapa kau ada di sini?”

“Aku tanya, apa kau sudah menyelesaikan game-mu?”

Bella menopang dagunya di atas meja. Tatapanya dinginya yang mengintimidasi, seakan menungguku memberi jawaban.

“I-Ini semua ada alasanya…”

“Apa?”

“Maaf, aku harus kembali bekerja!”

Dengan cepat aku membalikkan badanku dan bergegas untuk kembali mengantarkan pesanan pelanggan lain.

Tapi sepertinya gerakanku kalah cepat dari tangan Bella yang dalam sekejap sudah mencengkram pergelangan tanganku. Aku sudah tak bisa mengelak lagi.

Bella lalu menarikku keluar, menuju taman yang dibangun tepat di depan restoran. Taman ini punya beberapa pohon yang cukup rindang. Jadi meskipun ini sudah siang, kau masih bisa merasakan udara segar di bawah sini.

“Apa yang kau lakukan? Aku sedang bekerja, tahu!”

“Aku sudah tahu itu. Yang ingin kutahu sekarang kenapa kau bekerja di sini?”

Aku mengerlingkan mataku. Menghindari kontak mata dengan miliknya yang sudah seperti elang saat hendak mematuk mangsanya.

“Karena aku kenal dengan pemilik restoran ini.”

“Itu bukan jawaban yang kuinginkan. Maksudku kenapa kau bekerja?”

“M-Memangnya salah ya kalau aku bekerja?”

“Tapi kalau kau merahasiakanya dariku pasti ada alasanya, kan?”

“Ck…!”

Aku tak mampu berkata apa-apa lagi. Seakan aku adalah raja yang sedang terpojok. Sementara ada lima menteri, delapan benteng, dan lima belas kuda yang mengepungku. Dengan kata lain, aku sudah skakmat.

Sebenarnya aku memang punya alasan kuat untuk mengambil pekerjaan paruh waktu. Tapi aku tak mau mengatakanya karena memalukan.

“Bisa kita bicarakan topik lain?”

“Tidak!”

Jawab Bella dengan cepat.

“Cepat katakan padaku, sekarang…!!”

Aku masih membungkam mulutku, walau Bella terlihat seperti singa yang akan menerkam. Karena aku yakin kalau mengatakanya, dia pasti akan menertawakanku.

“A-Aku sudah memikirkan ini sejak lama. Meskipun kita saling tak mengakui, Kita tetaplah sepasang suami-istri, bukan?”

“Lalu…?”

“Bukankah sudah semestinya kalau seorang suami harus bekerja untuk menghidupi keluarganya?”

Selama ini kami bergantung dari uang yang diberikan oleh kedua orang tua kami. Memang hanya dengan itu kami bisa hidup berkecukupan. Tapi aku merasa ada yang salah.

Aku mengingat kata-kata ayahku waktu itu.

“Meski kalian tak menginginkan pernikahan ini. Tapi Bella adalah istrimu. Jadi, bahagiakanlah dia!”

Ayahku itu meski orangnya agak sableng, tapi dia adalah orang yang bijak. Kata-katanya sudah berulang kali menyelamatkanku.

“Karena itulah aku memutuskan untuk bekerja.”

Kupalingkan wajahku ke arah lain. Ini sangat memalukan sampai ingin mati rasanya.

Habis sudah! Dia pasti akan menertawakanku.

Aku menutup mata dan telingaku, bersiap untuk bertahan dari suara tawanya yang menghina. Satu detik, dua detik, hingga lima detik aku menghitung aku tak mendengar gelak tawa darinya.

Kucoba menatapnya, kukira dia akan memandang rendah diriku. Tapi kenyataanya dia malah memalingkan wajah merahnya dariku.

“B-Bodoh…! Mengatakan sesuatu yang memalukan seperti itu…. Dasar tidak tahu malu!”

Kedua mata kami lalu bertemu. Matanya dengan tegas memandangku dalam-dalam.

“Aku juga… akan bekerja di sini!”

“Hah…!? Kenapa?”

“L-Lagipula bukankah sudah kewajiban istri untuk membantu suaminya?”


My Wife is My Enemy

My Wife is My Enemy

Status: Ongoing Tipe: Author: Dirilis: 2021 Native Language: Indonesia
Pernikahan sudah biasa terjadi pada pasangan yang saling mencintai. Tapi bagaimana kalau itu terjadi pada dua orang yang saling membenci?

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset