Ini pertama kalinya aku bangun sepagi ini, karena biasanya aku baru bisa membuka mataku setelah jam wekerku serak suaranya karena lelah membangunkanku.
Matahari pun masih belum muncul sepenuhnya, ditambah hawa dingin yang kurasakan hingga menusuk tulang menambah niatku untuk kembali tidur.
Kujatuhkan pandangan pada gadis yang tidur di sebelahku. Wajahnya yang imut saat tertidur membuatku tanpa sadar tersenyum sendiri.
Akhirnya aku bisa menyelesaikan masalahku denganya kemarin. Jujur saja, kukira dia takkan memaafkanku begitu saja setelah emosinya meletus hebat waktu itu. Tapi siapa sangka dia mau memaafkanku tanpa permintaan yang aneh-aneh.
Sebelumnya aku berpikir jika seandainya dia memaafkanku, gadis ini pasti akan meminta syarat-syarat yang merepotkan.
Tapi aku lega bisa berbaikan lagi denganya.
Kami bertengkar hebat, Bella marah besar, lalu kami kembali berbaikan. Entah kenapa semua hal yang kami lakukan terlihat seperti pasangan sungguhan yang baru saja menikah.
Kalau seandainya saja aku menerimanya sebagai istriku, apa yang akan terjadi , ya!?
Langsung kugelengkan kepalaku beberapa kali untuk menyingkirkan pikiran itu dariku.
Sampai kapan pun aku takkan pernah menerimanya sebagai pasangan hidupku. Dia memang cantik, tapi dia sangat menyebalkan. Tak mungkin aku akan baik-baik saja kalau aku menerimanya.
Mungkin pertengkaran yang lebih besar dan hebat dari sebelumnya akan terjadi lagi kalau kami terus bersama seperti ini.
Meskipun waktu itu aku berkata akan bercerai denganya, tapi aku sama sekali tak memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Kuhela napas dalam-dalam dan kembali melemparkan pandanganku pada gadis oranye ini.
Aku memegangi pundak Bella yang tengah terlelap dengan pulas. Kugoyang-goyangkan tubuhnya guna membangunkanya. Ini adalah hari Senin, meskipun sekarang masih terlalu pagi, tapi tak ada salahnya jika bersiap-siap berangkat sekolah dari sekarang.
Tapi Bella tak kunjung membuka matanya. Gadis oranye itu malah merubah pose tidurnya dan memberikanku pemandangan yang menantang.
Kulit yang hampir transparan seperti putri salju serta mulus tanpa cacat tertangkap oleh mataku hingga ke pangkal pahanya. Karena ia memakai piyama dengan model one-piece, aku jadi bisa melihatnya dengan jelas melalui kainnya yang tersingkap.
Dan sepertinya aku juga bisa melihat kain putih yang membalut bagian ‘penting’nya.
“Fuah! Anjirrr…! Apa-apaan sih dia itu!?”
Karena dia sedang tertidur, dia takkan sadar dengan apa yang dilakukanya saat ini. Seandainya saja dia terbangun, aku sudah pasti dihajarnya habis-habisan.
Tapi kesampingkan hal itu. Yang lebih penting sekarang adalah menutup pemandangan itu dengan selimut agar tak lagi terumbar.
Sesaat setelah aku menarik selimut hingga ke betisnya, aku berhenti. Entah kenapa di dalam diriku terasa gejolak yang membara hingga ke dalam hatiku.
“Jika aku mengintip sedikit, apakah akan baik-baik saja?”
Kalau dipikir-pikir Bella saat ini sedang tertidur lelap, dia mungkin takkan menyadari perbuatanku sekarang. Lagipula aku ini masihlah seorang pria normal yang tertarik pada wanita.
Dan pemandangan seperti ini tak mungkin tidak menggoda imanku. Aku menelan ludah penuh keraguan.
Dengan gemetar aku memegangi kain bawahnya dan mencoba menyingkapnya. Tapi…
Kalau dia terbangun, bagaimana? Aku tak mau wajahku jadi bonyok lagi karena kelakuan bodohku ini.
Ibarat ada malaikat dan iblis di sampingku, menimbulkan pertentangan yang luar biasa dalam diriku. Aku jadi bingung tentang apa yang harus kulakukan sekarang.
Semua akan damai sentosa kalau aku menutupinya dengan menggunakan selimut.
Tapi… entah kenapa tanganku tak mau berhenti menyingkirkan kainnya. Sepertinya aku sudah dikuasai hawa iblis dan sekarang aku pun menuruti kemauannya.
Dengan hati-hati kusingkap kain bawahnya agar Bella tak terbangun dari tidurnya. Jantungku berdegup sangat kencang. Antara nafsu dan takut ketahuan, keduanya bercampur jadi satu.
Dalam sepersekian detik aku tersadar… seandainya Bella terbangun sudah pasti dia akan menghajarku seperti samsak tinju. Aku tak ingin merasakannya hanya karena aku melakukan hal bodoh seperti ini.
Aku melebarkan senyumku, lalu menghela napas dalam-dalam.
“Apa yang aku lakukan? Aku terlihat seperti orang bodoh.”
Tepat setelah aku mengurungkan niatku sesosok peri hitam yang muncul dari bayanganku melayang di depanku.
<<Kau bodoh! Jangan lewatkan kesempatan ini! Kau masih punya bola, kan?>>
[[Jangan dengarkan dia! Ini perbuatan yang tidak baik.]]
Dan kini giliran malaikat bersayap putih yang keluar dari dalam kepalaku.
“Kurasa aku mulai gila!”
[[Mengintip perempuan adalah sesat dan laknat. Tolong urungkan niatmu!]]
<<Ya ampun! Kau pasti sangat tertarik pada apa yang ada di balik rok itu, kan?>>
“T-Tentu saja. Tapi apa yang harus kulakukan?”
<<Mudah saja, kau taruh sesuatu di atas kasur. Dan kalau dia terbangun, bilang saja kau ingin mengambil benda yang tak sengaja kau jatuhkan.>>
Aku terdiam sejenak, mencoba mempertimbangkan konsekuensi yang akan kudapat jika aku menerima ide iblis itu. Kutatap bayangan malaikat yang menghela napas panjang.
[[Kurasa itu ide yang bagus. Tapi bisa minggir sedikit? Aku tak kebagian tempat.]]
“Oke.”
Dengan cepat aku mengambil sembarang benda yang berada di atas meja di samping kasur dan menaruhnya dekat dengan roknya. Dengan begini, sesuai dengan perkataan sang iblis tadi, aku bisa menjadikanya alasan kalau dia memergokiku.
Jantungku kembali berdegup dengan kencang dibuatnya. Tanganku gemetar ketakutan saat menyingkap kain one-piecenya.
Ini benar-benar bahaya kalau ia sampai menangkap basah diriku! Mungkin kali ini aku akan dikirim ke rumah sakit oleh gadis ini.
Tapi meskipun begitu… apa pun yang terjadi… seberapa besar bahayanya…
Seorang laki-laki sejati, tak boleh berhenti di tengah jalan dan harus terus maju ke depan.
Aku langsung menganga seketika berhasil menyingkap baju tidurnya. Kain putih berbentuk segitiga membalut bagian pangkal pahanya yang putih seperti susu.
Mataku terpukau. Jadi, seperti inikah isi dalam rok perempuan?
Ini pertama kalinya aku melihatnya langsung dengan mata kepalaku sendiri. Tubuhku menjadi panas, meleburkan hawa dingin di pagi hari ini.
“K-K-Kamu…!! A-Apa yang kau lakukan?”
Mulanya aku tak sadar. Tapi dalam sesaat aku merasakan tatapan tajam menusuk tubuhku. Aku pun langsung memandang ke arah pandangan dengan aura hitam itu berasal.
Gadis cantik berambut oranye, wajahnya merah padam saat aku menatapnya. Dia mengarahkan tatapan penuh kebencianya padaku.
“Whoa…! I-Ini… aku…”
Sial! Seperti yang kutakutkan sebelumnya, aku tertangkap basah! Aku pun langsung menggenggam benda yang sejak tadi kuletakan guna membuat alasan.
“Aku… sedang m-mengambil benda yang ada di sini.”
“Ponsel? Jangan-jangan kau berniat untuk memotret pakaian dalamku!!?”
Aku mengikuti pandangan Bella. Sebuah ponsel layar sentuh tengah berada di dalam genggamanku. Aku mengenal baik benda ini, karena ponsel ini adalah milikku.
Sepertinya aku tak memperhatikan benda yang kuambil dari atas meja sebelumnya. Sekarang benda yang awalnya ingin kugunakan untuk membuat alasan malah menjadi bukti tak bergerak yang membuatku bersalah.
“T-Tunggu dulu…! Ini tak seperti kelihatanya…”
Tanpa menghiraukan perkataanku. Bella menarik tinjunya seperti sedang memegang busur. Ia menatapku dengan tajam.
“Dasar kau ini…!! Cowok mesuuuuum!!!”
“Huwaaaaaaa…!!!”
***
Suara bel berbunyi langsung memecah hingar bingar di dalam kelas. Memaksa semua murid duduk di tempatnya masing-masing dan bersiap mengikuti pelajaran pertama.
Akhirnya aku bisa bernapas lega. Setelah kejadian di rumah tadi pagi, aku cukup beruntung karena hanya mendapat luka lebam di mata kananku. Sepertinya benar kata orang, jangan mengganggu beruang yang sedang tidur.
Tapi dengan begini aku jadi sadar dan tak ingin mengulangi perbuatan bodohku seperti tadi. Karena aku tak mau datang ke sekolah dengan luka memalukan seperti ini.
Gara-gara luka ini, aku jadi dapat perhatian banyak orang. Dan kalau mereka tahu asal dari luka ini, aku pasti akan memilih mati daripada menahan malu.
“Wajahmu kenapa lagi?”
“Aku lebih memilih tak ingin membicarakanya.”
Kuhiraukan Zidan yang duduk di kursi sebelahku, dia kembali menatapku dengan pandangan anehnya. Dan kemudian dia menutup matanya sembari menghela napas.
“Ya sudah kalau begitu.”
Beberapa saat kemudian, seorang wanita masuk dan duduk di meja paling depan. Perawakanya agak kurus, dia baru saja memasuki usia dua puluh lima di tahun ini. Dia juga termasuk salah satu guru termuda di sekolah ini.
Wajahnya yang lumayan cantik dan sifatnya yang supel membuatnya disukai banyak orang, baik itu sesama guru ataupun muridnya.
Dialah guru Bahasa Inggris kelasku, Bu Rina.
“Selamat pagi, anak-anak!”
“Selamat pagi, Bu…!”
“Duuh~! Kalian ini…! Sudah berapa kali kubilang jangan panggil dengan ‘Bu’, tapi panggil aku dengan ‘Kak Rina’, ya!?”
Dengan gaya imutnya dia mampu menghipnotis para murid agar setuju denganya. Meskipun dia adalah seorang guru SMA, sifatnya seperti pengajar yang berada di taman kanak-kanak atau tempat penitipan anak.
Tapi karena tingkahnya itu yang membuat banyak murid merasa nyaman diajari olehnya. Karena dari pandanganku, belajar denganya lebih terkesan belajar bersama teman sebaya.
“Oh iya… sekarang kita akan mengadakan ujian praktek, yaaaa~!?”
Ujian praktek? Bukankah itu biasanya diadakan seminggu setelah ujian semester berakhir? Kenapa harus dilakukan sekarang?
Tapi yang lebih membuatku penasaran adalah tentang ujian praktek yang akan dilakukan. Karena aku tak pandai berbahasa inggris, ujian praktek sudah pasti menjadi momok yang menakutkan bagiku.
“Ini untuk menutupi kekurangan nilai kalian. Jadi Kak Rina minta kalian buat kelompok 6 orang. Lalu masing-masing kelompok harus membuat percakapan pendek tentang kehidupan sehari-hari. Bisa itu tentang berbelanja, berlibur, atau yang lainya. Tapi ingat! Semuanya harus kebagian bicara yang sama rata, ya? Jangan ada yang sedikit dialognya! Hehe~!”
Seakan menjawab semua pertanyaan dalam kepalaku, Kak Rina menjelaskan dengan sejelas-jelasnya tentang ujian praktek yang akan kami lakukan.
Dengan mengangkat tanganya ke atas seperti hendak menggenggam langit, dia lalu berkata, “baiklah! Sekarang silakan kalian cari sendiri kelompoknya!”
Dan mulai dari aba-aba itu, semua murid langsung sibuk mencari anggota kelompoknya. Ada yang pergi ke sana-sini untuk mengajak orang yang mereka kenal, ada juga yang terang-terangan berteriak di tengah kelas untuk mengajak orang masuk ke dalam kelompoknya.
Ya ampun! Semua kebisingan ini benar-benar membuat telingaku sakit.
Sementara yang lain sedang sibuk, aku dan Zidan berada di bangku sembari membaringkan kepala di atas meja. Sudah menjadi hal yang biasa bagi kami untuk pasrah di saat ada perekrutan anggota kelompok seperti ini.
Tak ada yang menginginkan duo bodoh macam kami masuk ke dalam kelompok mereka. Jadi kami tinggal menunggu dipasangkan dengan orang yang tak kebagian kelompok, meskipun mereka terkadang enggan satu kelompok dengan kami.
“Loh, Sena dan Zidan tak ikut mencari kelompok? Kok malah enak-enakan tidur?”
Kak Rina datang menghampiri kami begitu melihat kami yang tak beranjak dari bangku.
“Ah, paling-paling diusir oleh mereka lagi!”
“Ya ampun, kasihan banget~! Tunggu sebentar, yaa…!”
Kak Rina membalikan badanya dan langsung pergi meninggalkan meja kami. Aku tak tahu apa yang akan dia lakukan. Dan aku juga tak peduli, jadi aku tak menaruh sedikit pun perhatian padanya.
Hingga beberapa saat Kak Rina kembali dan membawa dua orang bersamanya.
“Kalau begitu… kalian akan sekelompok dengan mereka.”
Mataku mengikuti pandangan Kak Rina mengarah. Dua gadis yang tak asing bagiku berdiri di samping meja. Keduanya sama-sama tercengang kaget menatapku dan Zidan.
“Nia? Bella…?”
“K-Kalau begitu mohon kerja samanya Sena, Zidan!”
“Tunggu dulu, Kak Rina! Kenapa kami harus dipasangkan dengan duo bodoh ini? Kami sudah mendapat kelompok tadi.”
Berbeda dengan Nia yang langsung menerimaku dan Zidan, Bella memprotes keras keputusan
Kak Rina yang menurutnya semena-mena.
Gadis itu pun menyungut kecut.
“Tapi apa kamu tak kasihan dengan mereka? Kau mau membiarkan kedua temanmu sendirian?”
“Itu kan bukan urusanku!”
“Ya ampun, Bella! Kalau kau marah-marah begitu Sena nanti tak menyukaimu lagi, loh~!”
“Ap—“
“Guh! Apa-apaan itu!!?”
Mungkin menyela dan membentak seperti ini adalah perbuatan tidak sopan pada gurumu sendiri. Tapi aku melakukanya dengan spontan setelah Kak Rina mengatakan hal yang mengejutkan.
Baik Nia dan Zidan sama-sama menganga merespon ucapan Kak Rina. Mata mereka semua yang terbelalak menelan diriku hingga dalam.
“Hoi, kupret! Jadi kau menyukai Bella?”
“Nggak lah! Kak Rina ini cuma asal ngomong! Tak mungkin aku menyukai Bella…”
Mengalihkan pandanganku dari Zidan, aku menatap orang-orang yang berdiri di samping mejaku. Nia tampaknya masih terkejut dan menutup mulutnya. Sementara Kak Rina masih cengengesan dengan senyum mengesalkan di wajahnya.
Dan Bella… entah kenapa mukanya menjadi sangat merah sekali. Sesaat setelah mata kami bertemu, ia menunduk malu.
“Oh ya? Kupikir kalian berpacaran. Habisnya kalian terlihat sangat dekat, sih~!”
“Dekat dari mana? Yang kami lakukan cuma bertengkar.”
“Meski pun begitu, tapi aku tak melihat sedikit pun kebencian di mata kalian. Makanya aku selalu menganggap itu sebagai pertengkaran kekasih biasa.”
Aku melempar pandanganku pada Bella, berharap dia akan memprotes seperti biasa saat kami disangka sepasang kekasih. Tapi sepertinya aku salah.
Bella tak membantu sama sekali. Dia masih menundukan wajah merahnya yang kini sudah mencapai kedua telinganya.
“Kalau begitu kalian berempat yang akur, ya~!?”
“T-Tunggu dulu…”
Mengacuhkanku yang masih tak terima dengan keputusannya, Kak Rina kembali ke meja guru sambil tersenyum riang. Tindakan yang seenak jidatnya itu memang membuat kami jadi mendapatkan kelompok.
Kalau bersama Nia sih tak masalah. Tapi aku tak menyangka kalau harus sekelompok dengan Bella.
Punggungku merasa ditatap oleh sepasang mata yang memandangiku dengan tajam. Kutolehkan kepalaku ke belakang, menatap Zidan yang tersenyum-senyum sendiri.
“Jadi, Bella itu cewek yang kau suka?”
“T-Tentu saja tidak! Kan sudah kubilang, mana mungkin aku menyukainya…!”
“Hahh…!? Aku juga tak sudi kalau cowok menyedihkan sepertimu mempunyai perasaan padaku.”
Berkata sembari bertolak pinggang, Bella melemparku dengan tatapan setajam pedang. Kedua alisnya menyatu persis seperti burung elang yang mengincar mangsanya.
“Huh, lebih baik aku mencium pantat sapi daripada harus menyukai gadis sepertimu!”
“Kau ini…!!!”
“Anu…”
“Apa!!?”
Aku dan Bella sama-sama menyahut dengan lantang, membuat Nia yang semenjak tadi berdiri di dekat kami menjadi bergidik ketakutan. Wajahnya pun menciut.
“Kita masih kekurangan orang. Apa kita akan mencari anggota lagi?”
“Tapi sepertinya semua orang sudah mendapat kelompok masing-masing.”
Pandangan Zidan menyusuri seluruh penjuru kelas yang sudah agak lebih tenang dari sebelumnya.
“Hei… apa kalian masih kekurangan orang? Boleh kami bergabung?”
Di saat kami berempat kebingungan dengan jumlah kelompok kami, datang dua orang yang menghampiri kami.
Yang satu adalah gadis berambut ponytail dengan warna biru gelap seperti langit malam. Pandangan dari matanya yang kecoklatan, menandakan dia memiliki kemauan serta tekad yang kuat. Dia adalah Febri, sang ketua kelas.
Aku benar-benar tak bisa membayangkan kalau ketua kelas sepertinya tak mendapat kelompok. Padahal dia cukup populer di kelasku.
Pandanganku mengarah ke gadis lainnya. Warna matanya biru cerah seperti lautan yang memantulkan cahaya langit. Rambut coklat panjangnya yang ia kuncir di sisi kiri, membuatnya terkesan kekanak-kanakan.
Senyumnya manis dan lebar, seakan-akan ia akan terus memasangnya setiap waktu di wajahnya.
Aku mengenal gadis ini sewaktu MOS, karena dia adalah orang yang pertama kali kukenal di sekolah ini. Aku langsung tahu orangnya supel dan mudah bergaul. Karena dia yang pertama kali mengajakku berbicara saat apel pagi.
“Akh…!?”
“Wah, Sena! Akhirnya kita sekelompok juga!”
Kupandangi senyumnya yang ia tunjukan dengan jelas di wajahnya. Dia memang orang yang selalu ceria setiap saat. Tapi bukan hanya itu yang menjadi ciri khasnya…
Dalam sekejap ia langsung merangkul lenganku dan menarik ke tubuhnya, yang membuatku merasakan sesuatu yang lembut dan kenyal menyentuh tanganku.
“Hei, benarkah kau tidak berpacaran dengan Bella? Bagaimana kalau kau menjadi kekasihku saja?”
Bukan hanya aku yang terbelalak dan menganga lebar, keempat orang lainya turut menunjukan eskpresi yang sama denganku.
“Apaaaa…!?”
Dialah Shella Widya Putri, seorang gadis agresif yang sangat hobi menggodaku.