My Wife is My Enemy episode 5

Tak Bisa Meninggalkanmu Sendiri

Angin berhembus semilir menyapu wajahku kala aku membuka pintu rumah. Memberi kesegaran di hari yang cerah ini. Ini adalah pagi yang normal sama seperti saat aku berangkat sekolah biasanya.

Tapi mulai hari ini, semuanya berubah. Apalagi kalau bukan kehadiran iblis loli yang tinggal di rumahku sebagai istriku. Kini ia menunggu di depan pagar sambil menggerutu.

“Dasar lelet! Bisa cepat sedikit tidak, sih!? Kita sudah mau terlambat, tahu!”

“Aku sedang mengunci pintunya, bodoh! Bersabarlah sedikit!”

Dasar! Pagi-pagi begini sudah bikin sumpek suasana saja! Aku tak tahu bisa tahan tinggal bersamanya atau tidak. Karena yang sering ia lakukan adalah memaki-maki padaku saja.

“Dengar ya, Sena! Pernikahan kita harus tetap rahasia kita berdua! Jangan sampai kau bocorkan pada orang lain!”

“Memangnya aku mulut ember…? Aku juga tak mau kalau hal ini sampai tersebar di sekolah. Kalau itu terjadi aku lebih baik loncat dari atas monas, lalu naik ke atas menara kembar, loncat lagi dan begitu seterusnya sampai kau benar-benar menghilang dari dunia ini!!!”

*DUAGH!

Entah kenapa kini aku jadi memandang lurus ke atas langit. Burung-burung beterbangan di atasku seperti hendak memakan bangkai yang terkapar di atas jalan. Kupegangi pipi kananku.

Rasanya sakit sekali.

Dasar cewek itu…! Memukulku seenak jidatnya sendiri. Sialaaaannnn…..!

***

Bel sekolah berbunyi tepat pada saat aku tiba di depan gerbang. Terlambat lima menit lagi saja aku akan berdiri di lapangan hingga istirahat. Untungnya dewi fortuna masih ada di sisiku, tidak seperti Bella. Sudah menghajarku, meninggalkanku pula.

Kutaruh tasku di atas meja begitu sampai ke kelas.

“Yo… bangun pagi seperti biasanya, ya!?”

Yang menyindirku adalah Zidan, teman sebangkuku. Namanya memang mirip seperti pesepakbola dari Perancis, tapi aku lebih suka memanggilnya dengan nama lain.

“Jangan mengejekku, Zina!”

“Berhentilah menyebutku begitu, njing! Gara-gara kau, timbul desas-desus di kalangan cewek kalau aku suka main perempuan.”

“Bukankah memang benar? Di ponselmu kau sering mencabuli cewek-cewek, kan!?”

“Itu eroge! Jangan samakan dunia 2D dengan 3D!”

Zidan ini sebenarnya lumayan tampan. Dengan postur tubuh dan tampang seperti model, dia bisa saja mendapatkan gadis yang diinginkanya. Tapi karena dia kecanduan dunia 2D dan otaknya juga… mesum, menjadikan para cewek enggan untuk mendekatinya.

Suatu ketika pernah ada kejadian saat seorang cewek di kelasku hendak meminjam buku tugas dari tasnya. Cewek itu malah menemukan selusin DVD film dewasa. Sejak saat itulah dia mulai dicap sebagai bandar bokep di kelas.

Tapi dibalik semua itu, dia orang yang sangat baik dan perhatian pada orang lain. Meski kami belum lama bertemu, dia sangat mengetahui tentangku seperti sudah mengenal sejak lama. Hal itulah yang membuatku ingin berteman denganya.

“Ngomong-ngomong, kenapa pipimu lebam begitu?”

Zidan melihat ke arah wajahku. Mungkin bekas pukulan Bella sangat terlihat jelas baginya.

“Ah, ini… aku tak sengaja menabrak tembok.”

“Kok bisa…!? Tapi dilihat dari sisi mana pun, itu terlihat seperti bekas pukulan!”

“I-Ini sudah hampir jam pelajaran. Sebaiknya kita segera berganti baju olahraga dan bergegas ke lapangan!”

Aku berusaha mengubah topik pembicaraan, karena aku tak mau dia tahu yang sebenarnya terjadi. Harga diriku sebagai laki-laki cukup tinggi. Jadi kalau dia tahu aku dihajar habis-habisan oleh cewek, aku pasti akan malu.

Beberapa saat kemudian, kami pun keluar dari ruang ganti pria dengan mengenakan baju olahraga kami. Dengan segera aku dan Zidan langsung menuju ke lapangan di mana siswa lain sudah berbaris mendengarkan arahan Pak Halim, guru olahraga kelas satu dan dua di sekolah.

Sepertinya kami sudah ketinggalan lebih dari setengah penjelasan Pak Halim. Ini semua gara-gara si brengsek itu yang memintaku menunggunya saat ia buang air besar.

Tapi kurang lebih aku mengerti garis besarnya. Pertemuan kali ini adalah lari maraton mengelilingi kelurahan sekolahku berada lalu kembali ke lapangan. Untungnya saja jadwal pelajaran olahraga di kelasku kebagian pagi hari.

Nggak kebayang deh kalau harus lari 5 km siang-siang…

Meski begitu tak sedikit murid yang mengeluh, sebagian besar dari mereka adalah anak manja yang setiap hari selalu menaiki kendaraan bermotor walaupun cuma pergi ke warung. Wajah mereka pun lesu sebelum lari.

Yang namanya lari maraton, hal yang paling penting adalah menjaga stamina untuk berlari jarak jauh. Jadi yang harus kulakukan adalah berlari kecil dan menghemat tenagaku sebisa mungkin.

Tapi saat aku hendak memulai langkah pertamaku, Pak Halim tiba-tiba memanggilku. Usianya masih terbilang muda, dia juga orang yang sangat suka bercanda. Wajar kalau dia jadi guru favorit di sekolah.

“Sena, bapak mau minta tolong!”

“Apa? Kalau disuruh yang aneh-aneh saya nggak mau!”

“Nggak lah. Bapak minta tolong ambilkan buku absen di ruang guru.”

“Cuma itu…?”

Aku memiringkan kepalaku. Kalau cuma itu kenapa tidak dia ambil saja sendiri?

“Setelah itu tolong fotokopikan kartu keluarga saya yang ada di map biru di atas meja, cetak juga foto yang ada dalam CD, serta rapikan meja bapak, sapu dan pel lantainya, setrikakan jas saya, dan masakan mie rebus indonie untuk sarapan saya!”

“Gimana kalau saya sekalian membajak halaman bapak, terus nanem padi buat makan sekeluarga?”

“Eh, kamu mau?”

“Nggak lah…! Sumpah, banyak banget!!! Memangnya saya ini pembantu…!?”

“Haha… ini ada imbalanya, loh! Kamu mau uang yang ada di dompet saya?”

“Berapa?”

“Rp. 2000”

“HAH?! NGGAK…!!!! Lagian kere banget jadi guru!”

Aku menaikan alisku, sekaligus memasang wajah terperangah kaget. Setelah disuruh melakukan hal ini-itu, dia hanya membayarku segitu? Makan di warteg aja cuma dapet kertas nasinya!

“Ayolah…! Bapak akan memberi nilai plus untuk UTS-mu, deh!”

Sejenak aku terdiam memikirkan kata-kata Pak Halim. Kalau aku dapat nilai plus, artinya aku tak perlu bersusah payah saat pengambilan nilai praktek UAS nanti. Sedetik kemudian, aku pun langsung mengiyakan begitu saja.

***

Hampir lima belas menit berlalu sejak aku mulai mengerjakan semua hal yang disuruh oleh Pak Halim. Tenagaku hampir terkuras setengahnya. Padahal, aku masih harus berlari sepanjang 5 km. Dan aku juga dalam posisi tertinggal dari siswa yang lain.

Kalau begini sih, aku sudah dapat dipastikan akan berada di urutan terakhir.

Aku segera berlari kecil keluar gerbang sekolah menapaki trotoar di pinggir jalan. Aku harus pintar-pintar menggunakan tenagaku, kalau tidak staminaku akan habis sebelum sebelum mencapai garis finish.

Tapi kurasa ini cukup menyenangkan juga. Sekolahku dekat dengan sawah yang berhektar-hektar luasnya. Maklum, biar sekolahku cukup terkenal tapi tempatnya berada di perbatasan kota dan desa.

Di sampingku terhampar luas sawah yang hijau, warna yang menandakan kelembutan. Cahaya matahari juga memancar dari balik pegunungan yang mengellingi kota ini. Entah kenapa emosiku langsung menghilang sepenuhnya saat melihat pemandangan ini.

Itu yang kupikirkan. Tapi sekarang tidak lagi.

Seorang gadis yang memakai baju olahraga sama sepertiku tengah berlari di depanku. Rambutnya yang panjang kini ia kuncir agar tak menghalangi pandanganya, meski begitu aku langsung dapat mengenalinya. Larinya tidak cepat, aku pun bisa dengan segera menyusulnya walau aku berlari kecil.

“Oi, Kuya! Kau ini sedang berlari atau ngesot? Apa kau tertinggal dari yang lain karena terlalu lamban?”

Ejekku pada Bella yang kini menatap tajam ke arahku.

“Berisik…! Kalau kau merasa terganggu duluan saja sana!”

Dia menyebalkan seperti biasanya. Kalau saja aku yang dulu, pasti sudah kulakukan tanpa disuruh. Tapi karena dia sekarang sudah menjadi istriku. Entah kenapa aku merasa tak bisa meninggalkanya.

“Aku butuh teman bicara.”

Aku memalingkan wajahku ke arah sinar matahari datang. Berharap wajahku yang memerah tersamarkan oleh cahaya mentari.

“Aku tidak mau.”

“Eh…!?”

“Aku tidak mau melihatmu! Cepat duluan sana!”

Bella menaikan nada suaranya padaku. Kakinya juga menendang pinggulku seakan menyuruhku untuk pergi dari sampingnya.

“Malas, ah! Kalau kau mau, kau saja yang duluan!”

“Oke, selamat tinggal!”

Bella membungkukan badanya untuk menaikan kecepatan larinya. Setidaknya itulah yang ia pikirkan. Tapi dari sudut pandangku, kecepatanya tak berbeda dari sebelumnya. Dan dia masih tetap berlari di sampingku.

“Tak perlu memaksakan diri, Bella! Aku sudah tahu kau tak bisa berlari lebih cepat dari seekor siput.”

“Bisakah kau diam? Mendengar suaramu membuatku ingin muntah.”

Entah kenapa aku secara refleks langsung membungkam mulutku. Kelihatanya dia sedang berjuang keras untuk berlari. Peluh keringatnya menetes membasahi kaos olahraganya. Melihatnya seperti itu, aku tidak seharusnya mengejeknya begitu.

Walau dia punya kemampuan bagus di bidang olahraga, tapi dia tak punya banyak stamina. Sudah jelas berlari jarak jauh seperti maraton akan membuatnya cepat lelah. Meski begitu, dia terus maju.

Aku menghela napasku dalam-dalam.

“Kalau kau ingin staminamu tidak cepat habis, seharusnya kau lebih sering bernapas lewat perut.”

“Eh!?”

“Aku cuma mau kasih saran saja. Kalau kau bernapas lewat hidung otot wajahmu akan cenderung mengeras dibandingkan lewat perut yang akan membuat otot rileks.”

Dia hanya bengong memandangiku. Wajahnya yang dipenuhi tetes keringat tetap terlihat cantik dan menawan. Kupalingkan pandanganku lagi ke arah lain.

“Dan lagi… kau sangat berusaha keras!”

Dia tak membalas perkataanku. Bella hanya sedikit menundukan kepalanya ke tanah lalu berlari sedikit di depanku. Kelihatanya ia tak ingin aku berlari tepat di sampingnya.

Kami berdua pun berlari tanpa mengucapkan sepatah kata lagi sepanjang jalan yang diapit oleh hamparan sawah dan ladang jagung.

Sampai sekitar beberapa menit kemudian, aku merasakan Bella sudah mulai menunjukan tanda-tanda kelelahan. Kecepatan larinya kini menurun, napasnya juga terdengar tersengal-sengal.

“Bella, kau terlihat kelelahan. Mau istirahat dulu?”

Tapi dia tidak merespon. Aku pun sudah berkali-kali memanggilnya, dan tetap tak ada jawaban. Dengan menaikan kecepatanku aku kini sudah kembali berlari tepat di sampingnya. Dia terlihat sangat memaksakan dirinya.

“Aku tidak bisa. Kalau aku berhenti sekarang, seluruh ototku akan melemas dan tidak bisa berlari lagi. Daripada mengkhawatirkanku lebih baik kau duluan saja!”

“Tapi kau sangat pucat, loh! Kau yakin tidak apa-apa?”

“Memangnya apa pedulimu? Bukankah kau membenciku dari dulu? Kenapa sekarang kau jadi sangat perhatian!!?”

Aku membisu seribu bahasa.

Dia benar. Kenapa aku jadi mengkhawatirkanya? Padahal dulu aku tak pernah peduli apa pun yang terjadi padanya. Malah aku akan tersenyum lebar kalau dia sedang kesulitan.

Apa aku begini karena peranku sebagai suaminya? Tapi berapa kali pun aku memikirkan jawabanya, aku merasa bukan itu alasanya aku mengkhawatrkanya.

“Aku tidak tahu… tapi aku merasa kalau aku tak bisa meninggalkanmu sendirian.”

Mata Bella melebar setelah perkataanku masuk ke dalam telinganya. Kupikir dia akan menghajarku lagi kalau aku mengucapkan kalimat itu. Tapi dia tak melakukanya.

Bella kembali menundukan wajahnya sembari mengigit bibir bagian bawahnya. Aku tak tahu apa yang dipikirkan olehnya. Tapi sejenak aku merasa kalau dia tak marah kepadaku.

Kuulurkan tanganku padanya. Dia memasang wajah kebingungan.

“Raih tanganku! Dengan begitu aku bisa menjagamu sampai garis finish.”

Matanya kembali melebar. Wajahnya juga berubah kemerahan, bukan karena cahaya matahari melainkan karena pipinya yang bersemu.

Bella menganggukan kepalanya.

Tanganya lalu menggenggam erat tanganku. Tanganya terasa begitu lembut. Kulitnya sangat halus seperti putri kerajaan. Walau aku sudah pernah menyentuhnya, tapi baru kali ini dalam waktu yang lama.

Jantungku jadi deg-degan karenanya. Kami berdua berlari sembari berpegangan tangan satu sama lain. Meski matahari mampu memberi kehangatan pada setiap makhluk hidup yang di bumi.

Tapi hanya genggaman inilah yang menghangatkan hatiku.


My Wife is My Enemy

My Wife is My Enemy

Status: Ongoing Tipe: Author: Dirilis: 2021 Native Language: Indonesia
Pernikahan sudah biasa terjadi pada pasangan yang saling mencintai. Tapi bagaimana kalau itu terjadi pada dua orang yang saling membenci?

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset