My Wife is My Enemy episode 6

Tolong Ajari Aku

Panas terasa membakar punggungku, karena itulah aku berteduh di bawah dedaunan pohon beringin yang ada di halaman belakang sekolahku. Banyak orang yang bilang kalau pohon ini angker.

Tapi aku tak peduli. Aku dan Zidan sering memakai tempat ini untuk melepas lelah seusai olahraga atau untuk istirahat tidur siang, kalau guru sedang tidak ada.

Kusandarkan bahuku pada batang pohon yang diameternya mencapai 4-5 meter. Di sini sangat sejuk. Cahaya matahari pun hampir tak bisa menyentuh permukaan tanah karena terhalang rimbunya dedaunan.

“Hei, ngomong-ngomong kenapa bisa kau tiba hampir bersamaan dengan Bella?”

Tanya Zidan yang sedang berbaring di sebelahku.

“Benarkah?”

Sebenarnya aku dan Bella berlari bersama sampai akhir. Tapi tepat sebelum mencapai kawasan sekolah dia memintaku untuk berlari setelah menunggu selama lima menit, karena ia tak mau tiba bersamaan denganku.

Dan entah kenapa aku lagi-lagi menuruti kemauan egoisnya.

“Di mataku, kalian terlihat seperti pasangan yang serasi.”

“Nggak mungkin…!”

Tanpa sadar aku memprotes ucapan Zidan.

Memang benar kalau kami ini sepasang suami-istri. Tapi kami tidak ada cocoknya sama sekali. Apa kau pernah melihat seorang istri yang selalu meninju suaminya sendiri?

Bella ini bagaikan iblis yang masuk ke dalam kehidupanku. Jujur, aku sangat tak ingin terjebak ke dalam kondisi seperti ini. Dari semua wanita yang ada di dunia, kenapa harus dia yang harus menjadi pasanganku? Tak adakah wanita baik-baik lainya?

Takdir memang bisa menjadi sangat kejam.

Sudah beberapa menit sejak kami beristirahat di sini, dan sekarang pelajaran selanjutnya sudah hampir dimulai.

Kami pun segera beranjak dan bergegas menuju ruang kelas. Tampaknya semua siswa sudah hadir di kelas. Mereka tak mau terlambat masuk karena ini adalah jadwalnya pelajaran Matematika sang guru killer di sekolah, Pak Edi.

Padahal dia hanyalah seorang pria tua yang sudah uzur dan bau tanah, tapi dia bisa menjadi sang raja rimba jika sedang mengajar. Ia mewajibkan semua muridnya untuk mengikuti apa yang ia ajarkan. Kalau itu ya itu, ini ya ini. Tidak boleh ada sedikit perbedaan pun.

Beberapa saat kemudian suara seluruh kelas menjadi sangat hening, bahkan kuburan terasa lebih ramai daripada di sini. Mereka menjadi diam bukan tanpa alasan. Suara langkah kaki yang berat terdengar saat menghentak lantai. Dari suara langkahnya saja semua murid sudah tahu kalau yang datang adalah Pak Edi.

Kini ia sudah berada di ambang pintu. Langkah kakinya berhenti sejenak, memandangi semua siswa yang ketakutan dengan tatapan tajamnya.

Sesaat kemudian ia kembali melanjutkan langkah kakinya menuju meja guru dan meletakan buku absen serta materi.

“Baiklah, tolong kumpulkan PR yang bapak berikan sebelumnya.”

Eh…!? Tunggu dulu…

PR!!? Benarkah ada PR? Kayaknya Pak Edi tidak memberi PR di pertemuan sebelumnya deh.

Niatku sih ingin mengonfirmasinya langsung pada Pak Edi, tapi aku mengurungkanya. Kulihat seluruh siswa di kelas tengah mengeluarkan buku tulisnya dan mengumpulkanya ke meja guru.

Gawat! Gawat! Gawat! Ini artinya aku yang lupa kalau ada PR. Sial, aku belum mengerjakan sama sekali. Bagaimana ini? Sudah sangat terlambat kalau menyalinya sekarang. Dan aku pasti akan habis kalau Pak Edi tahu aku tak mengerjakan tugasnya.

Di saat aku tengah kalut Zidan menatapku dengan senyum tipisnya. Sepertinya dia tahu aku tak membuat PR. Entah kenapa di saat seperti ini aku merasa kalau ia akan menolongku. Aku malas mengakuinya, tapi dia memang sahabat terbaikku.

“Sena, kau tidak mengerjakan PR!?”

Suara yang keluar dari dalam tenggorokanya memecah keheningan kelas. Walau tidak terlalu kencang, itu mampu membuat seluruh perhatian mengarah padaku.

Mata tajam Pak Edi kini menyorotku.

Setan! Bukanya menolong temanmu, kau malah memilih menggali kuburan untuk sahabatmu sendiri?

Hawa dingin nan mengigil langsung menyerang tubuhku sampai lemas rasanya. Badanku gemetaran. Tatapan Pak Edi seperti seekor singa yang sedang mengintai mangsanya.

“Sena…!! Kau tidak mengerjakan PR lagi?”

Bagai petir menggelegar di siang bolong, suara Pak Edi langsung membuat kakiku kehilangan seluruh tenaga untuk berdiri. Tak perlu dikatakan lebih jelas lagi, dia sangat marah padaku sekarang.

Karena bukan kali ini saja aku tak mengerjakan tugasnya. Kalau dihitung dengan angka mungkin sudah mencapai sekutu, seratus kurang satu.

Aku memang sudah sering dimarahi olehnya. Tapi mau beberapa kali pun ia memarahiku, amukanya selalu membuatku merinding ketakutan.

“M-Maaf pak, saya lupa…”

“Lupa itu cukup sekali atau tiga kali, kalau udah berkali-kali itu namanya goblok!!”

Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Tak hanya ketakutan, aku juga tak punya sepatah kata pun untuk pembelaan. Karena semua yang dikatakanya memang benar.

Aku hanya bisa menundukan kepalaku, menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.

“Apa ada yang tidak mengerjakan PR lagi?”

Pak Edi melemparkan pandanganya pada seluruh kelas yang terdiam seperti patung. Mulanya tak ada yang mau mengaku. Tapi lama-kelamaan ada seorang siswi yang mengangkat tanganya perlahan.

Mataku langsung melebar. Aku sedikit tak percaya dengan ini. Karena yang mengangkat tangan adalah Bella.

“Tak biasanya kau tak membuat tugas. Apa ada masalah denganmu?”

“Maaf, pak! Saya benar-benar lupa kali ini.”

Pak Edi memejamkan matanya lalu berdehem. Ia kembali melanjutkan kata-katanya.

“Kalau begitu kalian kerjakan semua soal di buku materi di perpustakaaan. Untuk Bella, kerjakan bab 3. Sedangkan Sena kerjakan mulai dari bab 3, 4, dan Bab 5 sekalian deh.”

“T-Tunggu dulu. Kenapa saya harus mengerjakan soal sebanyak itu?”

Tanpa sadar aku langsung melayangkan protes keras pada guruku. Jujur saja aku tak terima dengan perlakuan yang diskriminatif ini. Kenapa Bella cuma mengerjakan satu bab, sedangkan aku berlipat-lipat?

Apakah karena Bella murid kesayanganya jadi dia bisa mendapat keringanan hukuman sedangkan aku tidak?

“Kamu itu siswa yang gak tahu diri, ya? Kau pikir sudah berapa kali tak mengerjakan tugas yang saya beri. Dan kamu masih berani berkata seperti itu?”

Aku kembali terdiam. Walau masih ada rasa tidak terima dalam hatiku, namun aku tak bisa berbuat apa-apa karenanya. Aku pun menyerah dan segera membawa buku pelajaranku ke perpustakaan.

“Kampret, lah!”

Saking kesalnya aku tak menyadari kalau ucapan dalam hatiku terdengar keluar samar-samar.

“Kamu bilang apa tadi?”

“Nggak ada. Cuma bingung kenapa gembel di stasiun kurang satu.”

******************

Sudah lebih dari setengah jam sejak aku terpaku pada puluhan soal yang tertera dalam buku pelajaran. Otakku sudah ngebul. Kugulirkan mataku pada gadis yang duduk di depanku.

“Hmm… enaknya hukuman ringan buat murid kesayangan!”

“Jangan bicara padaku!”

Bella membalas ucapanku dengan ketusnya. Matanya bahkan sama sekali tak mau memandang ke arahku. Mungkin aku lebih mirip dengan tempat sampah baginya, jadi dia tak mau repot-repot berbicara padaku.

“Aku cuma bingung kenapa bisa kau tidak mengerjakan tugas.”

“Kau lupa apa yang terjadi kemarin?”

Aku memegangi daguku. Mencoba mengingat-ngingat apa yang terjadi sebelumnya.

Semalam aku tak sengaja menumpahkan sirup ke bajunya, dan Bella menjadi sangat marah padaku. Setelahnya aku dihajar habis-habisan dan dia pun langsung pergi tidur karena kesal.

Kalau diingat-ingat ini semua salahku, sih. Apa dia masih marah padaku? Raut wajahnya sih mengatakan iya.

“Maaf soal itu…”

Aku menundukan wajahku dengan penyesalan.

“Huh, aku sudah selesai mengerjakan semuanya. Aku mau kembali ke kelas.”

“Cepat sekali..! Aku bahkan belum selesai satu bab pun.”

Bella tak menghiraukanku sama sekali. Dia beranjak dari tempat duduknya dan berlalu ke arahku. Dan entah apa penyebabnya, Bella tiba-tiba melayangkan sebuah tendangan tepat ke punggungku.

“Aduh! Apa-apaan sih?”

“Week….!”

Jangankan sebuah kata, ia malah memberiku ejekan. Kalau dulu mungkin aku akan marah, tapi karena di rumah dia sering memperlakukanku begitu sepertinya aku sudah mulai terbiasa dengan sifatnya.

Aku pun mengabaikanya dan kembali fokus pada soal yang terpampang di hadapanku.

Suara detik jam dinding terus berbunyi menemaniku yang tengah sendirian di perpustakaan. Entah sudah berapa lama aku menghitung jawaban dari soal ini, tapi aku tetap tak menemukan jawabanya.

Payah, nih! Belum juga ada satu bab, tapi sudah makan waktu lama. Bisa-bisa aku tak bisa menyelesaikan semuanya sebelum jam istirahat.

Kucoba untuk membalik halaman, mencari rumus-rumus yang tepat untuk menyelesaikan soal. Tapi percuma. Setiap kali kuhitung, jawaban yang didapat pasti berbeda. Entah kenapa aku jadi ingin menangis.

“Bodoh, begitu saja tidak bisa?”

Aku terperangah. Sebuah suara yang tak asing bagiku terdengar dari balik punggungku. Aku pun membalikan badanku.

Bella ada di sana. Rambut oranye kecoklatanya yang panjang sedikit berkibar. Sungguh penampilan yang indah. Aku bahkan sempat terpesona denganya walau hanya sesaat.

“Kau hanya tinggal mengakarkan ruas kanan, lalu faktorkan, dan kau akan menemukan jawabanya.”

Bella terpaku pada soal di buku pelajaranku. Aku pun tak menyia-nyiakan ini dan segera mengikuti apa perintahnya. Tapi benarkah hanya begini saja? Perasaan aku tadi memakai cara yang mirip seperti ini, tapi tidak ketemu.

Sesaat kemudian…

“O-Oh…. ketemu!! Akhirnya ada juga jawabanya di pilihan ganda.”

Aku memalingkan wajahku pada Bella. Entah kenapa aku menjadi sangat kegirangan. Jawaban yang sejak tadi aku muter-muter mencarinya, kini bisa ditemukan dengan waktu singkat.

“Kau hebat, Bella! Sungguh, kau memang sangat pintar! Pokoknya T.O.P banget, lah!”

Kuangkat kedua ibu jariku. Bella tersipu dan berpaling. Matanya sama sekali tak mau bertemu denganku.

“K-Kau saja yang terlalu bodoh!”

“Ngomong-ngomong, kenapa kau kembali lagi kemari?”

“J-Jangan salah sangka, ya!? Aku kembali bukan karena khawatir padamu. Aku cuma tak ingin kau terus-terusan terpaku mengerjakan soal. Bisa-bisa di rumah nanti kau akan menggerutu seharian. Karena itulah aku… i-ingin membantumu belajar.”

Mataku melebar. Aku benar-benar tersentuh dengan perkataanya. Kukira dia kembali kemari hanya untuk mengejekku saja. Tapi siapa sangka dia akan datang untuk mengajariku.

Aku tak bisa berkata buruk lagi. Kulayangkan sebuah senyuman tipis padanya.

“Terima kasih. Aku sungguh berterima kasih.”

“Kenapa kau malah berkata seperti itu? J-Jadinya memalukan, tahu!”

“Baiklah! Aku mengandalkanmu saat ini, Bella…!”

Wajahnya langsung merah padam. Tak biasanya ia cepat tersipu seperti ini.

Bella kini mengajariku untuk menyelesaikan soal-soal yang harus kukerjakan. Dia benar-benar bantuan besar. Berkat bantuanya, aku bisa mengerjakan banyak soal dalam sekejap.

“Bella, kau di sini?”

Mendadak suara imut terdengar dari arah pintu perpustakaan. Seorang gadis berambut hitam sebahu tampak mencoba melongok ke dalam.

Dia adalah salah satu siswi di kelasku, namanya Nia Estianty. Dia teman sebangkunya Bella. Wajahnya lumayan cantik, wajar kalau tak sedikit cowok yang mencoba memikat hatinya. Nilai-nilainya juga di atas rata-rata. Kalau saja Bella tidak ada, Nia lah yang menjadi primadona di sekolah ini.

Dan sepertinya aku juga sedikit tertarik padanya. Aku bahkan sering mencuri pandang saat berada di kelas. Sifatnya yang lemah lembut sangat berlawanan dengan Bella. Dan satu lagi hal yang menjadi nilai plus, ukuran dadanya… besar.

Bisa dibilang kalau Nia adalah tipe cewek idamanku.

Saat mendengar kalau ia belum punya kekasih, entah kenapa itu membuatku senang. Aku pun tak bisa berhenti tersenyum.

Tapi aku sama sekali belum pernah berbicara panjang lebar denganya. Percakapan pendek seperti salam atau menanyakan sesuatu yang cuma bisa kulakukan sejauh ini.

“Oh Nia, sedang apa kau di sini?”

Tanya Bella sembari membalas tatapanya.

“Aku cuma ingin meminjam buku. Kau belum selesai?”

“B-Begitulah. Hehe…”

Nia lalu menuju rak buku. Dia mengulurkan tanganya untuk mencapai sebuah buku yang berada di paling atas. Dengan tubuhnya yang sama mungilnya dengan Bella, akan sangat tak mungkin baginya untuk meraihnya.

Aku pun beranjak dan berinisiatif untuk membantunya.

“Mau kuambilkan?”

Mata lemah lembut Nia berpapasan dengan tatapanku.

“B-Boleh. Tolong, ya!”

Kuulurkan tanganku ke atas rak, dengan tinggiku aku bisa dengan mudah menggapainya. Aku pun berhasil mengambilnya tanpa kesulitan yang berarti.

“Sena sangat bisa diandalkan, ya?!”

Mendengar suara lemah lembutnya, aku jadi kehilangan fokus. Buku tebal yang baru saja kuambil terlepas dari genggamanku.

Sial, kalau begini buku itu akan jatuh mengenainya!

“Awas…!”

Aku mendorong tubuh Nia guna membuatnya terhindar dari buku yang jatuh. Kalau dihantam buku setebal dan seberat itu, pasti lah akan sakit. Tapi siapa sangka dia malah menarik tanganku. Dan akhirnya kami pun jatuh bersamaan.

Kini mataku bisa dengan jelas melihat ke dalam bola matanya. Napasnya juga bisa kurasakan dengan mukaku. Wajah kami sangat dekat hingga hampir bersentuhan. Aku tanpa sengaja jatuh dan menindih tubuhnya di atas lantai.

Rasanya seperti de ja vu. Tanganku kembali merasakan sensasi kenyal seperti sedang menggengggam bola karet. Aku tahu ini apa. Aku sungguh tahu ini apa…

Yang sedang kupegang dengan sebelah tanganku saat ini pasti buah dadanya. Kekenyalanya mirip dengan milik Bella, hanya saja ukuranya lebih besar.

Entah setan apa yang merasukiku, bukanya melepaskan tapi tanganku malah dengan sengaja meremas buah dadanya. Tanganku entah mengapa bergerak sendiri memijat-mijat gundukan daging yang besarnya lebih dari telapak tanganku.

“Ukh~!”

Nia mengeluarkan suara lenguhan kecil. Sial, suaranya benar-benar menggoda hingga membuatku kehilangan akal! Sepertinya aku harus menjelajahi buah dadanya lebih lama lagi.

Itu yang kupikirkan. Tapi mendadak sebuah kaki menendangku dengan keras dan membuat tubuhku terpelanting.

“Aww…!”

Aku menjerit kesakitan. Tapi Bella yang baru saja menendangku sepertinya tak peduli dengan hal itu. Kini dia mengarahkan aura membunuhnya padaku.

“Dasar bejat! Tak hanya aku, kau juga melakukan itu pada Nia!?”

“T-Tunggu dulu… ini kan kecelakaan.”

“Tapi wajahmu malah tersenyum kegirangan!! Kau juga pasti sering menyentuhku saat sedang tidur, kan!?”

“NGGAK, LAH…!!! Aku juga tidak tahu bakal seperti ini jadinya…!”

“Nia! Cepat katakan kalau dia memang menyentuh dadamu, dan aku akan menendangnya.”

“Kau sudah mendendangku tadi!!!”

Sial! Karena perkataan Bella, mungkin Nia akan menurunkan pandanganya padaku. Kalau begini sih, jangankan mendapatkan perhatianya dia malah akan membenciku nantinya.

Nia hanya mengatupkan kedua bibirnya.

“Tidak masalah kok, Bella. I-Ini kan cuma kecelakaan.”

Apa yang Nia katakan di luar dugaanku. Kukira dia akan marah, tapi kenyataanya gadis itu malah memaafkanku walau mukanya tersipu malu.

“Tidak bisa gitu dong! Orang biadab ini harus dikasih hukuman mematikan!”

“Daripada itu aku ingin bertanya. Dari perkataanmu tadi…”

Nia kembali menutup kedua bibirnya. Tanganya ia genggam erat-erat di dadanya. Sepertinya ia ingin mengatakan sesuatu, tapi tertahan di tenggorokanya.

“A-Apa kalian tinggal bersama?”


My Wife is My Enemy

My Wife is My Enemy

Status: Ongoing Tipe: Author: Dirilis: 2021 Native Language: Indonesia
Pernikahan sudah biasa terjadi pada pasangan yang saling mencintai. Tapi bagaimana kalau itu terjadi pada dua orang yang saling membenci?

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset