Suasana di dalam perpustakaan seketika bertambah hening, bahkan suara detik jam sampai terdengar kencang di telingaku. Tak adanya pengunjung lain selain kami bertiga bukan satu-satunya alasan.
Yang paling membuatku dan Bella terhenyak adalah apa yang baru saja Nia katakan.
“Aku cuma penasaran. Dari percakapan kalian tadi, apakah benar kalau kalian tinggal bersama?”
Nia kembali mengulangi pertanyaanya. Aku dan Bella masih diam seribu bahasa. Wajah kami kaku dengan mulut terbuka dan mata melebar. Aku menoleh pada Bella. Sepertinya dia tak tahu apa yang harus ia jawab, bahkan wajahnya saat ini seakan hendak mengatakan “Tolong aku!”
“Jangan minta tolong padaku, bodoh! Ini semua salahmu yang terlalu banyak bicara.”
Aku terus mengumpat dalam hati, walau kutahu kata-kataku ini tak akan didengarnya kalau tak langsung kusampaikan. Kulirik ke arah Nia, dia memasang wajah polosnya dan terdiam seolah menunggu kami angkat bicara.
Tanganku gemetaran. Peluh keringat mengucur dari sekujur badanku. Mataku berkali-kali kuarahkan ke samping agar tak bertemu dengan mata kebiruan milik Nia.
“I-Itu tidak mungkin, Nia! Mana mungkin kami berdua tinggal bersama! Kami berdua kan masih anak SMA.”
Aku menjawab dengan sedikit tertawa yang dibuat-buat. Untuk meyakinkanya aku harus bertingkah sealami mungkin. Tapi sepertinya sikapku terlalu jelas untuk orang yang sedang mencoba berbohong.
“Ohh… begitu, ya? Maaf, aku sudah salah paham.”
Dia percaya….!!!? Dengan polosnya dia percaya begitu saja tanpa berpikir dua kali. Seharusnya aku senang dia mempercayai bualanku. Tapi entah mengapa aku malah menepuk jidatku sendiri.
Tapi terserahlah…. Yang penting dia percaya.
“Lalu apa maksud dari ucapan Bella tadi?”
“Yang mana?”
Aku balik bertanya pada Nia. Karena dia kurang spesifik menyebutkanya.
“Bella bilang kau sering menyentuh dadanya waktu tidur.”
Mampus…!!! Harus bilang apa aku sekarang? Bella masih terdiam dalam kesunyianya. Sepertinya dia tak berkutik dan ingin menyerahkan semua ini padaku.
Lupakan soal menyentuh atau tidaknya. Yang harus kujelaskan adalah bagaimana aku dan Bella bisa tidur bersama. Tak mungkin aku bilang kalau kami sudah menikah, karena itu sama saja membongkar rahasiaku dengan Bella. Karena itulah aku harus memikirkan alasan lain yang lebih logis.
“Sebenarnya waktu itu aku pernah berpapasan denganya di bus kota dalam perjalanan pulang. Lalu saat dia tertidur di sampingku…. a-aku… aku… meraba dadanya sampai aku puas…!!! Hahaha….”
“KAU MELAKUKANYA….!!!???”
Bella yang sejak tadi terdiam kini mengganas. Dengan tatapan berapi-api yang ia arahkan padaku. Ia juga mengepalkan tinjunya dengan kuat seakan hendak memukul samsak. Tinju itu… aku sudah tahu rasanya beberapa kali saat berada di rumah.
Segera kudekatkan mulutku ke telinganya dan berbisik pelan agar Nia tak mendengar apa yang akan kukatakan. Karena tinggi badanya, aku jadi harus sedikit membungkukan badanku.
“Bisakah kau tetap diam? Aku melakukanya demi menutupi kesalahanmu, bodoh!”
Bella terdiam sejenak. Mungkin dia sedang berpikir sejenak dengan kepala dingin. Aku kembali melemparkan pandanganku pada Nia yang terlihat kebingungan.
“Jadi begitulah, Nia…! Itulah yang terjadi.”
“A-Aku tidak tahu kalau kau orang yang seperti itu.”
Nia kelihatanya percaya saja dengan omong kosongku. Aku merasa tak enak membohonginya. Dan bukan hanya itu, aku juga terpaksa menjadi orang bejat di mata Nia untuk menutupi kesalahan istriku yang bodoh itu.
Kalau saja rahasia ini tak menyangkut diriku, aku takkan mau melakukan hal ini. Pasti Nia akan merasa jijik padaku.
“M-Maaf… aku pergi dulu, ya!”
Nia langsung pergi dengan terburu-buru dengan buku besar yang tadi kuambilkan untuknya. Ia tak menatap mataku saat pamit tadi. Kelihatanya dia jadi ketakutan padaku. Yah, aku memang sudah menduganya sih. Jadi aku tak terlalu terkejut.
“Hei…!”
Aku menengokan kepala pada suara yang berasal dari sampingku.
“Apa!?”
“T-Terima kasih… berkatmu rahasia kita tetap terjaga.”
Bella menurunkan pandanganya, tak berani menatap mataku secara langsung. Kelihatanya dia sangat merasa bersalah. Melihat wajahnya seperti itu, aku tidak jadi meluapkan emosiku. Aku hanya menggaruk-garukan kepalaku.
“Memangnya ini salah siapa, bodoh!?”
“M-Maaf…”
“Tidak perlu. Ayo ajari aku mengerjakan soal lagi. Masih banyak yang belum kuselesaikan.”
“Iya.”
**************
Bel sekolah telah berbunyi tepat pukul 2 siang, menandakan telah berakhirnya seluruh kegiatan belajar-mengajar di SMA Harapan Muda. Meski masih berada di dalam kelas, aku bisa merasakan panas yang menyengat dari sang surya. Membayangkanya saja sudah membuatku malas pulang.
“Hei, kau tidak pulang?”
Tanya Zidan padaku. Dia sangat bertolak belakang denganku. Kalau saat bel pulang sekolah, dia berubah menjadi orang yang penuh semangat juang seperti pahlawan kemerdekaan.
Wajah menjijikanya pun dihiasi senyum lebar yang menyebalkan.
“Ngga dulu, ah. Lagi mager.”
“Heh… kebiasaan. Kalau begitu aku pulang dulu, ya!”
“Pergi sana!”
Zidan pun segera beranjak dari bangkunya dan bergegas keluar kelas. Tapi tepat setelah ia mengambil langkah pertamanya, ia berhenti dan mengarahkan tatapanya padaku.
“Eh, Sena! Ngomong-ngomong kau tahu flashdisk milikku, tidak?”
“Yang kayak gimana?”
“Warnanya putih dengan garis hitam. Kayak gini.”
Zidan lalu merogoh saku celananya. Aku tak tahu apa yang ia coba ambil dari dalam sana. Beberapa saat kemudian tanganya mengeluarkan sebuah flashdisk dengan ciri-ciri yang sama dengan apa yang baru saja ia katakan.
“Eh, sempak naga! Yang kau pegang itu apa?”
Zidan melihat ke arah tanganya yang memegang flasdisk. Perlahan ia menyunggingkan senyum lebar.
“Wah, ketemu! Makasih udah mau bantu cari, ya?”
Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Zidan orangnya kadang begini. Antara kepinteran, jenius, atau bego pangkat tujuh. Semuanya bercampur jadi satu.
Setelahnya ia segera melanjutkan langkah kakinya keluar kelas yang sebelumnya sempat terhenti. Aku kembali menaruh kepalaku di atas bangku, menatap ke arah dinding sehingga aku hanya bisa mendengar obrolan para siswa yang masih berada di kelas.
Ada yang membicarakan tentang kejelekan keluarganya, hubungan dengan pacarnya, ataupun tentang pertandingan sepak bola dini hari. Aku bukan termasuk orang yang susah bergaul, terkadang aku juga berbincang dengan mereka. Tapi untuk hari ini aku merasa ingin sendiri.
Kututup mataku perlahan. Rasanya sangat nyaman. Meyakinkan diriku bahwa kelas ternyata tempat yang lebih nyaman untuk tidur daripada di kamar sendiri.
Setelah aku berbagi kamar dengan Bella, aku jadi susah tidur. Terkadang dia merebut selimutku dan tak jarang juga ia menendangku dari atas kasur tidur. Saat pertama kali tidur bersamanya, aku tak percaya idola sekolah yang dikagumi banyak orang punya gaya tidur yang menjengkelkan.
Sepertinya aku akan coba tidur sejenak di dalam kelas sebelum pulang.
Beberapa saat telah berlalu. Meski hanya sejenak, rasa kantukku sepertinya berkurang sedikit. Walau aku masih menghadapkan kepalaku ke arah tembok, aku tahu kelas sudah kosong karena tak ada lagi suara obrolan yang terdengar.
Suasana di kelas ini jadi tambah nyaman karenanya meski agak panas sih.
Kemudian aku merasakan hawa keberadaan sesuatu muncul di sampingku. Aku pun dengan malas menengokan kepalaku ke sebelahku.
“Huh, ternyata kau! Belum pulang?”
Mataku bertemu dengan mata oranye gadis itu, warna yang sama dengan warna rambutnya. Ia hanya memandangiku dengan tanpa ekspresi di wajahnya.
“Bagaimana aku bisa pulang kalau kunci rumahnya ada padamu?”
“Jadi kau berada di sini terus sejak tadi?”
“Begitulah.”
Aku menghela napasku. Tanpa mengubah posisiku, kulemparkan senyum tipis padanya.
“Kalau begitu kau harusnya membangunkanku.”
“Habisnya… kau terlihat terlelap tadi. Aku jadi tidak enak melakukanya.”
Aku langsung tersentak begitu mendengar perkataan Bella. Kupikir telingaku sudah rusak. Benarkah dia mengatakan itu?
“Biasanya kau selalu memaksakan kehendakmu tanpa mempedulikan perasaan orang lain. Ada apa denganmu? Kau masih sehat, kan?”
“Memangnya salah, ya? Terserahlah! Pokoknya ayo kita cepat pulang!”
Bella membuang wajahnya, menjawab dengan nada setinggi-tingginya. Kupikir aku sudah membuatnya marah lagi.
“Hmm… iya!”
Suasana di sekolah sudah sepi, hanya ada beberapa siswa dan staf sekolah yang masih berkeliaran di sini. Sepertinya hampir seluruh siswa sudah meninggalkan area sekolah ini.
Aku berjalan berdampingan dengan Bella, menuju gerbang sekolah untuk segera pulang ke rumah kami. Cahaya matahari yang tadi menyengat kulit kini tertutupi oleh awan mendung yang mulai menyelimuti seluruh kota. Sepertinya akan turun hujan sebentar lagi, itu artinya kami harus cepat-cepat sampai rumah.
“Hei Sena, ayo kita belanja di supermarket dulu!”
“Hah….!? Kau bodoh, ya? Kau tidak lihat awan mendungnya? Kita tidak bawa payung, kalau tidak cepat-cepat pulang kita bisa kehujanan di jalan.”
“Siapa yang sebenarnya bodoh? Kalau tidak belanja, kita tidak akan makan malam hari ini. Aku tak mau kalau harus makan mie instant lagi.”
“Bersyukurlah! Yang penting kan masih bisa makan.”
“Nggak mau! Udah kayak anak kos-kosan di akhir bulan aja!”
Ini dia salah satu sifatnya yang tak kusukai. Sifat keras kepalanya benar-benar tak bisa digoyahkan sedikit pun. Aku sudah sering berhadapan dengan sifatnya yang satu ini, dan tak pernah sekali pun aku menang melawanya.
Kuhela napas panjang dan dalam-dalam, sepertinya aku harus mengalah lagi untuk yang kesekian kalinya. Aku sih tak masalah melewati sarapan, makan siang, dan makan malamku dengan mie instant. Tapi sepertinya Bella tak sependapat denganku.
Terserahlah! Tapi kuharap level masakanya meningkat kali ini. Karena aku sudah bosan makan sayur bayam tanpa rasa atau daging ayam panggang yang terlalu matang sehingga rasanya jadi pahit.
“Baiklah, ayo kita pergi!”
Tanpa membuang waktu lebih lama lagi, aku dan Bella segera pergi ke salah satu supermarket terbesar di pusat kota yang memakan sekitar setengah jam perjalanan.
Di sini bisa dibilang supermarket dengan barang-barang yang lengkap. Mulai dari bahan makanan, baju, alat musik, sampai barang elektronik bisa ditemukan di sini. Wajar kalau tempat ini selalu dibanjiri pengunjung setiap harinya yang datang untuk berbelanja.
Aku mengambil sebuah keranjang belanja yang disediakan di dekat tempat penitipan barang. Sebenarnya aku tak tahu apa yang harus dibeli, aku hanya mengikuti Bella saja. Dia menuntunku seperti peliharaanya yang akan mengikutinya kemana pun ia pergi.
“Ngomong-ngomong, kau akan masak apa?”
Bella terdiam. Sepertinya ia belum memikirkan hal itu. Aku merasakan pandanganya pada mataku, namun dalam sekejap ia alihkan ke arah lain.
“T-Terserah kau…! Aku… akan memasakanya untukmu. Anggap saja ini sebagai rasa terima kasihku karena kau menolongku tadi.”
Wajahnya memerah. Meski ia coba sembunyikan, aku masih tetap bisa melihatnya. Dan entah kenapa hatiku jadi cenat-cenut melihat sisinya yang imut seperti ini. Aku pun mengalihkan perhatianku darinya.
Degup jantungku tak mau berdetak secara normal. Sial! Kok bisa-bisanya aku berpikir kalau dia itu imut.
“Hei… kau mau kumasakan apa? Cepat bilang!! Jangan cuma diam saja…!”
Guh, mendadak dia kembali ke dirinya yang biasa. Nadanya tinggi, kedua alisnya bertemu, dan sorotan matanya tajam memandangku seperti burung elang.
“Aku sih terserah kau saja. Apa pun yang kau masak, aku pasti akan memakanya.”
“Tidak bisa begitu, dong!”
Kutopang daguku, aku mengerlingkan mataku dan berpikir sejenak. Kalau dia memaksa seperti itu, artinya dia takkan keberatan dengan apa pun yang kuminta.
“K-Kurasa opor ayam dan kentang bumbu merah. Apa tidak apa-apa?”
“Baiklah… akan kubuatkan. Aku memang belum pernah memasaknya, tapi aku akan coba dari buku resep. Tapi… mungkin rasanya tidak akan sesuai dengan keinginanmu.”
“Tak masalah. Bukankah sudah kubilang aku akan memakan apa pun yang kau masak?”
Mata Bella melebar. Wajahnya kembali memerah padam. Kali ini ia menyembunyikanya bukan dengan membuang wajahnya, tapi ia menundukan kepalanya sehingga poninya menutupi hampir seluruh wajahnya.
Tanpa mengatakan apa pun ia langsung membalikan badanya dan melangkahkan kakinya. Aku tak tahu kemana ia mengarah. Tapi sepertinya ia pergi menuju ke tempat di mana bahan-bahan makanan berada. Aku mengikuti dengan berjalan sampingnya.
Untuk sepersekian detik aku berpikir, kalau saja kami tak memakai seragam sekolah mungkin kami akan benar-benar terlihat seperti pasangan yang baru menikah di mata orang lain.
“Kau tunggu di sini sebentar! Biar aku yang mengambil bahan-bahan makananya.”
Bella langsung merebut keranjang belanja dari tanganku dan pergi meninggalkanku yang sedikit terkejut. Apa maksudnya sih tuh orang? Terkadang dia menjadi orang yang sulit untuk dimengerti.
Terkadang masih sulit bagiku untuk mempercayai pernikahan mendadakku denganya, bahkan sampai sekarang. Dalam dua minggu ini kami terus menjaga rahasia ini dari teman-teman dan juga guru kami di sekolah. Kalau saja hal ini sampai bocor, sudah dapat dipastikan akan membuat suasana di sekolah menjadi gempar. Aku tak mau itu sampai terjadi.
Ya ampun! Harus berapa lama aku bertahan dengan Bella?
“Sena!”
Mendadak sebuah suara mengagetkanku yang sedang melamun. Ini suara seorang gadis, tapi bukan Bella. Walau suaranya sama-sama terdengar nyaring, tapi yang ini berbeda. Aku pun menoleh ke sumber suara itu.
Gadis itu memiliki rambut ponytail dengan warna biru gelap seperti pantulan langit di permukaan danau malam hari. Tingginya hampir sama denganku. Karena itulah aku bisa merasakan mata coklatnya memandangku dalam-dalam seperti sedang melahapku. Gadis ini adalah ketua kelasku, Febriani Nindya.
“F-Febri…!? Apa yang kau lakukan di sini?”
“Aku berhak bertanya yang sama padamu. Kalau aku memang sudah jadwalku berbelanja setiap minggu di sini.”
“Oh… begitu. Sebenarnya aku juga sama.”
“Tapi kau tak membawa keranjang belanja atau pun troli.”
“A-Ah ini… sepertinya aku lupa. Haha…”
Febriani tertawa kecil. Senyumnya yang indah terkadang membuat para pria lupa diri dan terus memandanginya. Dia termasuk salah satu dalam daftar cewek yang diincar untuk dijadikan pacar oleh para cowok jomblo seantero sekolahan.
Tentu saja di dalamnya terdapat nama Bella dan Nia, sebagai trio anak kelas satu yang menawan. Jujur saja, menurutku orang yang membuat daftar itu benar-benar menyedihkan. Kalau saja aku bertemu dengan pembuatnya secara langsung, aku akan mengatakan padanya untuk cepat mati.
“Sena! Aku sudah mendapatkan semua belanjaanya, nih! Ayo kita pulang!”
Dengan membawa keranjang belanjaan yang kini dipenuhi bahan-bahan makanan, Bella tiba-tiba muncul di saat aku berbincang dengan Febriani.
“F-Febri…?”
“Bella…!? Kau bersama Sena?”
Gawat, gawat, gawat! Situasinya jadi sangat gawat di sini. Keduanya saling bertukar pandang sementara aku menepuk jidatku sendiri dan berkata, “lagi…?”