Aku memegangi kepalaku sendiri. Heran. Kenapa bisa dua kejadian yang hampir sama terjadi dalam waktu satu hari? Entah karena kebetulan atau takdir sepertinya menginginkan rahasia kami bocor.
Mengelabui Nia yang polos memang gampang, tapi menipu sang ketua kelas yang memiliki pemikiran tajam sepertinya sulit. Aku harus benar-benar memikirkan alasan yang logis dan masuk akal agar bisa diterima olehnya.
“S-Sebenarnya aku kebetulan bertemu dengan Bella di sini.”
Siaaaal…..! Kenapa malah alasan gak berbobot yang keluar dari mulutku? Kalau begini sih dia takkan percaya. Febri memicingkan matanya menjadi semakin tajam. Entah kenapa aku merasakan bulu kudukku berdiri.
“Benarkah? Tapi kelihatanya kalian memang sengaja kemari bersama.”
“I-Itu karena… orangtuaku ingin mengajak ayahnya untuk makan di rumahku. Jadi kami ditugaskan untuk berbelanja. Haha…”
“Ooh… orang tua kalian saling kenal rupanya.”
“Begitulah…”
Febri mengendurkan otot-otot wajahnya, kini wajahnya yang cantik kembali dihiasi senyum tipis. Sesaat kemudian ia tertawa kecil sembari memandangiku dengan Bella.
“Tapi ini benar-benar lucu melihat kalian bersama. Padahal kalau di kelas kalian selalu bertengkar. Apa jangan-jangan kalian mempunyai hubungan spesial di luar? Sepasang kekasih misalnya.”
“Nggak lah…!”
Tanpa sedetik pun jeda setelah ucapan Febri, aku dan Bella sama-sama melontarkan protes karena kami bukan sepasang kekasih. Memang kami sudah menikah, tapi kalau aku mengatakan itu jadinya pasti runyam.
“Mana mau aku berpacaran dengan pria menjijikan seperti ini!”
Ucap Bella dengan nada tinggi, bahkan karena suaranya beberapa orang jadi mengalihkan perhatian mereka pada kami.
Bella lalu memandangiku dengan tatapan merendahkan, sementara aku hanya bisa membuat raut kekesalan.
“Itu benar! Berpacaran dengan gadis sepertinya cuma akan membuatku sengsara.”
Mata Bella melebar. Lalu menyatukan kedua alisnya sementara ia mengepalkan tanganya. Dan dalam sedetik kemudian tinju itu sudah mendarat pada perutku.
“Ugh…!”
Kalau sebelumnya mungkin aku sudah berlutut meringis kesakitan. Tapi karena aku sudah terbiasa dengan rasa pukulanya, aku pun masih bisa mempertahankan keseimbanganku.
Bella lalu berbalik dan pergi meninggalkanku seraya membawa keranjang belanja yang penuh dengan bahan makanan. Aku ingin segera pergi mengejarnya, tapi ada satu hal yang harus kulakukan saat ini.
“Maaf, Febri! Bisakah kau merahasiakan ini? Anggap kita tak pernah bertemu di sini.”
Febri melempar senyum kepadaku.
“Tak masalah.”
Tanpa mengulur waktu lagi segera kulanjutkan langkah kakiku mengejar Bella yang menuju ke arah kasir.
“Bella, tunggu!”
“Mati saja kau, bodoh!!”
*****
Pukul 15.00
Aku sedang menaiki bus kota dalam perjalanan pulang selepas berbelanja di mall. Langit yang tadinya cerah kini berubah menjadi hitam dan menurunkan uap air yang sudah menjadi titik-titik air. Kelihatanya hujan ini akan berlangsung lama jika dilihat dari intensitasnya yang nyicil.
Tapi yang menjadi perhatianku adalah gadis berambut oranye yang duduk di sebelahku. Sejak awal naik bus dia terus saja memandang ke arah luar. Dia sama sekali tak mau menatapku.
Tampaknya aku membuatnya marah lagi. Tapi kalau diingat-ingat dia marah setelah aku bilang jika bersamanya hanya akan membuat sengsara saja.
Apa dia marah hanya karena itu? Kami sudah sering saling melempar ejekan dan hinaan. Bahkan dia pernah melakukan yang lebih buruk dariku. Tapi kenapa kali ini dia marah?
Berapa kali pun aku memikirkanya tetap tak mendapatkan jawaban kecuali jika kutanya pada orangnya langsung. Tapi sepertinya Bella tak akan menjawab meski kutanyakan.
Jadi aku pun mengurungkan niatku dan mencoba mengabaikanya. Kalau dibiarkan sebentar juga dia akan kembali ke dirinya yang biasa.
Bus berjalan lambat dari perkiraanku. Mungkin karena mesinya yang sudah tua, atau jalanan yang licin, atau bisa juga karena penumpangnya kebanyakan. Yang jelas dengan kecepatan seperti ini tidak mungkin sampai ke rumah dalam waktu 30 menit. Kurasa aku akan coba memejamkan mataku sejenak.
*****
Awan yang membumbung di atas langit semakin menghitam setiap detiknya. Membawa lebih banyak air hujan untuk menyirami kota yang terlihat gersang. Bahkan suara petir terdengar menggelegar beberapa kali di angkasa.
Meski kucoba untuk tidur, tapi tak bisa. Bunyi hujan yang bergemericik serta suara deru mesin bus yang kencang membuat tidurku tak nyaman.
Sesaat kemudian aku merasakan tekanan pada bahuku. Rasanya seperti ditindih oleh sesuatu yang besar. Aku terperanjat kaget begitu menoleh. Bella tengah menyandarkan kepalanya pada bahuku. Entah kenapa dia sangat diam kali ini.
“H-Hei… apa yang kau lakukan?”
Niatnya aku ingin mendorong tubuhnya menjauhiku, tapi kuurungkan begitu melihat wajahnya yang tertidur pulas. Kupandangi Bella dari atas kepala hingga ujung kaki. Tubuhnya memang terlihat mungil, dan wajahnya… cantik bagai boneka.
Kusentuh tanganya yang ia simpan di atas pahanya. Lalu kupegangi jari telunjuknya seperti saat memegangi sedotan. Lembut. Halus. Dan juga… kecil. Saat menyentuhnya kukira aku sedang menggenggam tangan seorang bayi. Tapi itu milik Bella.
“Jarinya begitu kecil. Imut sekali!”
Jari itu bergetar saat kusentuh, lalu bergerak dan bersembunyi seakan takut padaku. Kelopak mata Bella yang semula tertutup, kini memandangku dalam-dalam.
“Apa yang kau lakukan?”
“E-Eh… tidak ada, kok.”
Aku sungguh kaget setengah mati. Kukira dia sedang tertidur pulas, tak kusangka ia akan terbangun karena kusentuh jarinya.
“Bohong! Tadi kau ingin menyentuhku, bukan? Apa jangan-jangan ucapanmu benar saat meraba-raba dadaku dalam bus?”
“Ya enggak, lah…!”
“Lalu, kenapa tadi kau menyentuh jariku?”
Aku terdiam seraya menelan ludahku sendiri. Bukan karena kehabisan kata-kata, tapi aku tak tahu jawaban apa yang harus kuberikan.
“Aku bilang tidak ada, ya tidak ada!!”
Kupalingkan wajahku darinya dan mengacuhkanya. Berpikir alasan sebenarnya saat aku menyentuh jarinya. Apakah aku menyentuhnya karena murni keinginanku?
Beberapa saat kemudian kami berdua tiba di halte dekat dengan rumah kami. Karena hujan deras yang mengguyur kami tak bisa segera beranjak dari sini. Intensitas hujan yang turun sangat deras, dan sepertinya akan lama.
Bella memandang ke atas langit di mana bulu-bulu domba berwarna hitam beterbangan. Wajahnya yang terciprat air hujan terlihat sangat manis. Bahkan aku tak bisa berbohong saat jantungku mulai berdetak tak karuan.
“Sepertinya hujan akan lama. Aku akan coba membeli payung di toko kelontong itu. Jadi kau tunggu di sini!”
“Tunggu dulu, Sena!”
Tanpa menghiraukan perkataanya lagi aku segera berlari menuju toko kelontong yang ada di seberang jalan. Cuma beberapa detik saja, seluruh tubuh dan bajuku basah kuyup seperti habis berenang.
Aku masuk ke dalam toko kelontong itu. Sang penjaga toko yang melihatku kebasahan sepertinya sudah mengerti maksud tujuanku datang ke tokonya.
Ia pun segera menyerahkan sebuah payung yang sepertinya cukup hanya untuk satu orang berwarna merah jambu.
“Apa Anda tidak punya satu lagi?”
“Maaf, cuma itu satu-satunya yang tersisa.”
Sial! Sudah kebasahan begini cuma dapet satu payung, udah kecil, warnanya pink pula!
Aku segera menyerahkan uang pada sang penjaga toko itu. Kubuka payung itu, ini tak muat untuk dua orang.
Dengan cepat aku segera kembali ke halte tempat di mana Bella menunggu. Dia masih berdiri di sana dengan wajah cemas.
“Maaf, payungnya cuma ada satu!”
Kuserahkan payung yang kupegang ke dalam genggaman Bella. Dia tampak terkejut melihatnya.
“Lalu bagaimana denganmu?”
“Tak masalah, kau pakai saja ini! Maaf, tapi aku akan lari duluan ke rumah.”
Dengan terburu-buru aku segera berlari meninggalkan halte itu. Aku memang tidak enak meninggalkan Bella di belakang. Tapi setidaknya payung itu akan melindunginya dari hujan.
Sekarang yang harus kulakukan adalah berlari ke rumah secepat mungkin sebelum aku membeku kedinginan. Walau begitu aku tak bisa berlari dengan kecepatanku yang biasa. Jalanan sangat licin. Jika terpeleset akan sangat berbahaya.
Karena itulah aku memutuskan untuk berjalan. Dalam alunan melodi rintikan air hujan kudengar sesuatu yang lain. Terdengar berirama, tapi bukan suara dari alat musik.
“Asalnya dari belakangku!”
Kutengokan kepalaku kebelakang. Mataku terbelalak lebar tak percaya. Bella tengah berlari mengejarku. Tanpa payung yang menaunginya, seluruh tubuhnya basah kuyup sepertiku. Suara langkah kakinya lah yang menggerakan hatiku untuk berhenti.
“Kenapa kau tak memakai payung?”
Kunaikan nada bicaraku karena bunyi gemericik hujan akan meredam seluruh suaraku kalau aku bicara dengan biasa.
Rintikan air hujan menjatuhi kami berdua dengan gencarnya seolah kami hanyalah satu-satunya sasaran yang bisa diincar. Aku tak bisa melihat mata Bella karena tertutup poninya yang basah. Juga… dia menundukan kepalanya.
“Jangan meninggalkanku, dasar bodoh….!!!”
Suara Bella meningkat empat kali dari biasanya. Bahkan suaranya terdengar jelas olehku meski dikepung oleh bunyi hujan yang jatuh ke atas permukaan tanah.
“Hah…?! Padahal aku sudah memberikan payung itu untukmu agar kau tak kehujanan.”
“Tapi kau meninggalkanku!!!”
“Aku minta maaf. Tapi masalahnya—“
“Bodoh! Kau bodoh! Kau sungguh bodoh…!”
Bella tiba-tiba menengadahkan kepalanya untuk menatap mataku secara langsung. Aku tahu berdiri di bawah hujan deras ini akan membuat seluruh tubuh basah kuyup. Tapi aku merasakan yang lain di matanya.
Kukira itu hanyalah air hujan. Tapi yang mengalir dari matanya terlihat membawa kesedihan.
“Kau bilang… kau takkan pernah meninggalkanku sendiri. Apa itu bohong…!!!?”
Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Sepertinya aku memang sudah lupa. Aku pernah mengatakan hal itu saat lari maraton. Tapi kenapa sekarang aku malah meninggalkanya?
Kuarahkan tanganku pada wajahnya, mengusap pipi yang dibasahi oleh kehangatan air mata yang mengalir.
“Maaf…! Aku benar-benar bodoh seperti katamu.”
“Lain kali jangan tinggalkan aku sendiri. Aku ketakutan…”
Kupandangi wajahnya. Matanya merah. Dan aku merasa sangat bersalah. Aku mengambil payung lipat yang digenggam oleh tanganya. Lalu membukanya hingga payung itu bisa menaungi kami berdua.
“Memang kecil, sih! Tapi setidaknya bisa melindungi kita dari hujan.”
Bella menganggukan kepalanya, lalu berjalan di sisiku. Ini pertama kalinya ia menangis di depanku.
Aku langsung tersadar. Sejak pertama kali aku dipaksa menikah dan tinggal bersamanya. Aku sudah melihat banyak sisi dirinya yang tak pernah kuketahui sebelumnya.
*****
Malam pun datang. Setelah aku membasuh badanku dengan air hangat, aku merasa segar kembali. Kupakai baju santaiku, mengeringkan rambut, dan segera pergi ke dapur. Berharap ingin segera memakan masakan Bella.
Tapi dia tak ada di sana.
Setelah kucari-cari ternyata dia tengah berbaring di atas sofa di ruang tamu. Aku pun bergegas untuk membangunkanya.
“Hoi, bangun! Cepat masakan aku sesuatu. Aku lapar, nih!”
Tak ada jawaban. Dia memejamkan matanya dengan rapat. Suara napasnya terdengar berat. Kesal karena tak meresponku. Aku pun langsung mengetuk dahinya guna membangunkanya pada kenyataan.
Tapi saat aku menyentuh kulitnya, aku tercengang. Suhu ini… bukan milik orang yang normal.
“Tidak mungkin! Kau terserang demam…!?”