My Wife is My Enemy Episode 9

Dia yang Berbeda

Kuletakkan punggung tanganku di atas dahi Bella, permukaan kulitnya terasa membakar tanganku. Rasanya sangat panas. Ini bukan suhu yang normal, bahkan untuk orang yang sedang terkena demam.

Bella terbaring dengan setengah sadar. Matanya terpejam dan napasnya terdengar berat. Dengan panik aku segera mengambil termometer yang berada di kotak P3K. Lalu kuselipkan di antara ketiaknya.

Aku tercengang begitu air raksa dalam termometer naik dengan cepat melewati batas wajar suhu manusia.

“40O C…!?”

Ya ampun, ini buruk…! Demamnya tinggi sekali!!!

Aku harus segera membawanya ke dokter sebelum keadaanya lebih parah lagi. Kutekan tombol-tombol di ponselku, mencoba menghubungi rumah sakit menginginkan mereka untuk mengirim ambulans kemari.

Tapi tak bisa. Rumah sakit itu hanya punya dua ambulans dan keduanya sedang tak ada di tempat. Aku semakin panik. Kucoba memutar otakku untuk mencari solusi.

“Ah!”

Kalau tidak salah ada seorang dokter kenalan ayahku. Dulu aku pernah diobati olehnya saat aku sedang sakit. Aku harus meneleponya untuk memintanya datang kemari.

Kucari-cari nomornya di buku catatan lama milik ayahku yang tersimpan di dalam rak buku. Ayahku sering mencatat sesuatu yang penting di bukunya, kuharap di sana ada nomor milik dokter itu.

Kubalik selembar demi selembar halaman buku itu. Tiba-tiba aku berhenti, mataku terpaku pada satu halaman yang tulisanya sudah agak buram.

Ketemu.

Halaman ini berisi informasi milik Dr. Adi, kenalan ayahku juga ada nomor telepon yang tertulis di sana. Dengan segera aku mengambil ponselku dan memencet nomor sesuai dengan yang tertera pada buku catatan itu. Memang catatan ini sudah lama. Kuharap Dr. Adi tak mengganti nomornya.

“Halo! Ini Dr. Adi?”

Meski sedang keadaan panik, tapi aku tetap mencoba tenang agar suaraku bisa sampai ke orang di seberang sana dengan jelas.

“Iya. Ini dengan siapa?”

“Saya Sena, anaknya Pak Raka.”

“Oh… yang waktu itu terkena demam berdarah, ya!? Sudah lama sekali, yah.”

“Iya. Maaf, tapi bisa Bapak kemari?”

“Memangnya siapa yang sakit?”

“Pokoknya cepatlah kemari!”

“Baik, saya akan segera ke sana sekarang.”

Kututup telepon itu. Lalu aku segera kembali ke sisi Bella di mana ia sudah dalam keadaan sadar sekarang. Namun tetap tak bisa menggerakan tubuhnya secara bebas. Matanya menelan tubuhku dalam-dalam.

Aku balas memberinya tatapan yang hangat. Awalnya aku cuma menyingkirkan poninya yang menghalangi sebagian kecantikanya. Tapi kini aku mulai membelai dahinya secara perlahan sembari menggenggam tanganya erat.

“Aku akan membawamu kembali ke kamar.”

Dia terdiam. Sepertinya dia terlalu lemah meski itu hanya untuk membalas perkataanku. Jadi kuanggap diamnya itu sebagai tanda setuju.

Kuletakkan kepala Bella pada sebelah lenganku, sementara tanganku yang lain menopang lututnya. Aku mulai membawa Bella ke kamar dengan cara menggendongngya seperti seorang putri.

Bella membenamkan kepalanya pada dadaku. Dengan jarak segitu, aku sangat yakin dia bisa mendengar degup jantung yang berdebar kencang dari dalam dadaku.

Segera setelah aku memasuki kamar, aku membaringkanya secara perlahan di atas kasur agar tak membuat tubuhnya semakin menderita. Kutarik selimut hingga menutupi tubuh mungilnya yang mirip dengan peri fantasi di negeri dongeng.

Aku mengambil sepotong kain dari dalam lemari, lalu kubasahi dengan air dingin guna mengkompres suhu tubuh Bella yang kelewat tinggi.

Sepertinya ini pertama kali bagiku mencemaskanya sampai seperti ini. Kalau aku yang dulu, aku takkan mau direpotkan oleh hal-hal seperti mengurus Bella. Tapi entah kenapa hatiku kini dibelokan oleh wajah Bella yang memandangku dengan lemah.

Sesaat kemudian dia membuka mulutnya, mencoba berbicara sekuatnya. Tapi aku tak mendengar apa pun. Meski sudah kudekatkan telingaku ke mulutnya, aku tetap tak bisa menangkap suaranya.

Ia mengulurkan tangan dari dalam selimutnya padaku. Aku tak mengerti apa yang ia inginkan. Tapi pada saat wajahnya bertemu denganku, barulah aku mengerti.

Yang Bella inginkan bukanlah selimut tambahan, air dingin guna mengkompres tubuhnya, atau hal lainya. Yang ia inginkan adalah agar aku berada di sisinya.

Segera kuraih tanganya dan kugenggam erat. Jari-jemari kami saling bersilangan satu sama lain. kini ia bisa melempar senyumnya padaku walau terasa samar.

Aku memegangi dadaku. Entah kenapa aku merasa seperti ada yang ingin melompat keluar dari dalam sana. Semakin aku menyentuh Bella, semakin kuat dorongan benda itu.

“Tenanglah, jantungku! Ini bukan saatnya berdebar-debar.”

Meski aku membisikan kata itu sembari menenangkan dadaku, tetap saja aku tak bisa menghentikanya meletup-letup. Dadaku semakin tak karuan saja dibuatnya.

Beberapa saat kemudian terdengar suara ketukan pada pintu depan rumahku. Tampaknya Dr. Adi baru saja tiba. Aku harus segera menyambutnya.

Tangan Bella menarikku dengan keras saat kucoba melepaskan genggamanku. Pandanganya memelas seakan memintaku untuk terus menemaninya. Kubelai punggung tanganya dengan lembut.

“Dr. Adi akan memeriksa keadaanmu. Tenang saja! Aku akan segera kembali.”

Bella tak menjawab apa pun. Namun dari matanya aku menganggapnya sudah mengerti. Ia pun dengan perlahan melepaskan kaitan tanganya dari jemariku.

Aku langsung pergi ke depan pintu, menyambut Dr. Adi yang datang lengkap dengan tas besar yang ia bawa di tanganya. Tampaknya itu adalah peralatan dokter yang biasa ia gunakan saat praktek di klinik.

Kubimbing Dr. Adi ke kamarku, tempat di mana Bella sedang tergolek lemas di atas tempat tidur. Dr. Adi menaruh tanganya di atas dahi Bella. Sepertinya tanpa menggunakan termometer pun dia langsung tahu kalau suhu tubuh Bella di atas batas kewajaran.

Tanganya membuka tasnya dan mencoba mengorek-ngorek sesuatu dari saja. Sebuah stetoskop kini sudah berada di tanganya. Lalu ia memeriksa Bella seperti sebagaimana dokter biasanya lakukan.

Beberapa saat kemudian Dr. Adi melepas stetoskop dari telinganya dan berbalik menatapku.

“Bagaimana keadaanya?”

“Tenang saja, Sena! Meski demamnya tinggi, ini cuma demam biasa. Tidak ada gejala-gejala penyakit serius yang menimpanya. Dalam beberapa hari dia akan sembuh.”

Kini aku tak bisa menyembunyikan ekspresi kelegaan saat mendengarnya. Aku berterima kasih pada Tuhan karena tak terjadi hal yang buruk padanya.

“Saya akan memberikan resep obatnya, harap Dik Sena menebusnya di apotek.”

Dr. Adi lalu mengeluarkan selembar kertas dari dalam buku catatan sakunya, dan menuliskan sesuatu di sana. Tulisan dokter biasanya tak ada ubahnya dengan grafiti yang biasa kulihat di kolong-kolong jembatan.

Tapi Dr. Adi berbeda, tulisan tanganya sangat rapih seperti mesin ketik. Jadi aku bisa membacanya tanpa harus membuat mataku rusak.

“Kalau begitu saya akan permisi dulu.”

Setelah memberesken peralatan dokternya ke dalam tasnya, ia pun segera bangkit dan melangkah keluar kamar. Namun sedetik kemudian, dia menghentikan langkahnya.

“Ngomong-ngomong, dia siapanya Dik Sena?”

“Dia…”

Kalimatku terhenti mendadak karena bingung memikirkan jawaban yang harus kuberikan. Meski aku dan Bella sudah menikah, tapi pada dasarnya kami saling membenci satu sama lain. Apakah yang seperti itu masih pantas dikatakan pasangan suami-istri?

Sebenarnya aku bisa saja berbohong dan mengatakan kalau Bella adalah saudara jauhku, tapi…

“Dia adalah istriku…”

Dr. Adi terperanjat kaget. Tapi tak hanya dia, aku pun terheran-heran sendiri karena jawaban yang kuberikan.

Aneh. Sejak awal aku tak mau mengakui Bella sebagai istriku, bahkan selalu berusaha menutupinya. Tapi kenapa kali ini aku malah mengakuinya secara terang-terangan?

Berapa kali pun aku memikirkanya. Jawaban itu tak bisa kujawab olehku sendiri.

***

Pukul 9 malam.

Aku tengah dalam perjalanan pulang dari apotek setelah menebus resep yang diberikan Dr. Adi. Kuharap obat-obatan yang ada ditanganku bisa membuat Bella sehat kembali dalam beberapa hari tepat seperti apa yang Dr. Adi katakan.

Sebelum kembali ke rumah, aku coba berjalan ke arah jalan raya. Berharap menemukan penjual bubur yang buka di pinggir jalan. Bubur ini bukan untukku, tapi untuk Bella.

Sebelum minum obat orang yang sakit biasanya diharuskan makan terlebih dahulu, bukan? Karena itulah aku mencoba mencari penjual bubur, karena aku sendiri tak bisa membuat bubur apalagi dalam waktu yang cepat.

Aku berjalan beberapa puluh meter, tapi tak kutemukan seorang penjual bubur pun di sini. Padahal biasanya mereka sering mangkal di pinggir jalan raya ini karena ramai dengan orang. Saat tidak dibutuhkan, ada. Dan di saat dibutuhkan, malah tidak ada.

Kalau aku berjalan terus mungkin aku bisa menemukanya. Tapi segera kusingkirkan pikiran itu. Aku tak boleh membuat Bella menunggu lebih lama lagi.

Aku langsung segera kembali ke rumah tanpa membawa sebungkus makanan pun. Kalau begini sih terpaksa aku harus membuatnya sendiri.

Kutengok ke dalam kamar. Bella masih terlelap dalam tidurnya. Aku berjalan perlahan ke arah dapur dengan perlahan, takut membangunkanya dari tidur. Untunglah lantai rumahku terbuat dari keramik. Kalau itu dari kayu yang sudah lapuk, tidur Bella akan terganggu dengan suara jejak langkah yang kubuat.

Dengan mengandalkan buku resep dan kemampuan yang seadanya, akhirnya aku berhasil membuat bubur buatanku sendiri. Aku sudah membuatnya sebisaku, tapi aku tak bisa menjamin rasanya.

Dengan perlahan kugunakan tanganku untuk memindahkan bubur dari dalam panci ke mangkuk. Uap panas yang mengepul langsung menerpa wajahku, membuatku mengibaskan tanganku guna menghilangkanya.

Kutaruh mangkuk itu di atas nampan. Lalu melangkahkan kakiku ke kamar. Saat tidur, Bella terlihat cukup manis juga. Bahkan aku pun bisa sedikit terpesona akan kecantikanya.

Kugoyangkan sedikit tubuhnya untuk membawa kesadaranya kembali. Lama-kelamaan kelopak matanya yang merapat mulai terbuka sedikit demi sedikit.

“Bella, bangun dulu! Makan bubur ini lalu minum obat agar kau segera sembuh.”

“Baik…”

Aku merasa kasihan padanya. Suaranya yang biasa terdengar seperti singa yang sedang mengaum, tapi kini tenggorokanya mengeluarkan suara yang hampir tak terdengar.

Dengan tanganku kuarahkan sendok yang berisi bubur ke mulutnya. Sebelum kusuapi dia, kupastikan terlebih dahulu bubur yang baru saja matang itu sudah kutiupi agar bisa ia makan. Bella mengunyah bubur itu dalam mulutnya dengan perlahan.

Lalu memalingkan pandanganya dariku, seakan tak mau melihat wajahku.

“Aku tahu kalau kau sangat membenciku. Mungkin saat ini kau tak ingin aku berada di sini. Tapi biarkanlah aku merawatmu sampai merasa baikan.”

“Sebenarnya bukan itu yang sedang kurasakan. Aku…”

Bella menoleh padaku, tapi matanya tak bertemu dengan miliku.

“Aku sangat berterima kasih…”

Suaranya memang terdengar lirih di telingaku, tapi masih bisa tertangkap jelas oleh gendang telingaku. Wajahnya bersem. Entah itu karena ia dalam kondisi demam atau tersipu. Yang jelas ia seperti sedang memakai masker berwarna merah.

Ekspresinya…

Suaranya…

Dan wajahnya…

Semua itu membuatku kembali merasakan jantungku yang ingin memberontak keluar. Detakanya kali ini lebih jelas. Dan lebih keras.

Tanpa membalas ucapanya aku kembali menyuapinya untuk membungkam mulutnya. Karena aku tahu kalau ia mengatakan sesuatu yang aneh lagi, dia akan terus membuatku berdebar-debar. Hingga pada suapan terakhir kami tak berbicara apa pun satu sama lain.

“Sena…”

“Apa?”

“Aku mau mengatakan sesuatu…”

“Katakan saja.”

Bella terlihat bimbang. Ia mengerlingkan matanya berkali-kali untuk menghindari kontak denganku. Mukanya kembali memerah. Sangat merah seakan semua darah berkumpul pada wajahnya. Kenapa dia jadi terlihat seperti ini?

Aku baru ingat, kalau ini adalah pertama kalinya aku melihatnya malu-malu.

“Aku cuma akan mengatakan ini sekali, jadi dengarkan baik-baik.”

Mulut Bella terbuka, ia berusaha mengeluarkan suaranya tapi tak sampai pada telingaku.

“Apa yang kau katakan?”

“Geez… bodoh! Dekatkan telingamu!”

Gaya bicaranya kembali seperti biasanya, walau yang kali ini agak berbeda karena terdengar lirih. Sesuai perkataanya, aku mendekatkan telingaku padanya. Dengan begini aku bisa mendengar jelas apa yang akan ia katakan.

Aku terus berpikir, sebenarnya apa yang ingin ia katakan? Kuharap bukan sesuatu yang aneh atau menyebalkan.

“Sena! T-Terima….”

“Apa-apaan ini? Jadi kau cuma ingin bilang terima ka—“

Mendadak seluruh tubuhku membeku. Hawa udara di malam ini memang dingin, tapi tak sanggup membekukan seluruh tindakan dan pikiranku.

Yang melakukan ini adalah Bella.

Tindakanya sangat tiba-tiba. Mendadak. Dan tidak bisa kuduga sebelumnya.

Ia merangkul leherku. Mendaratkan sebuah ciuman kecil di pipiku yang membuat seluruh tubuhku tak bergerak sedikit pun. Aku membuka mataku lebar-lebar. Tak percaya dengan apa yang ia lakukan barusan.

Aku lalu menoleh ke arahnya. Dengan wajah yang masih tersipu ia mengerlingkan matanya ke samping, sehingga aku tak bisa menatap langsung kedua bola mata oranyenya.

“A-Apa maksudnya itu…?”


My Wife is My Enemy

My Wife is My Enemy

Status: Ongoing Tipe: Author: Dirilis: 2021 Native Language: Indonesia
Pernikahan sudah biasa terjadi pada pasangan yang saling mencintai. Tapi bagaimana kalau itu terjadi pada dua orang yang saling membenci?

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset