Masih terbayang jelas dalam memoriku suara debur ombak yang memecah karang, nyanyian burung camar yang selalu terdengar merdu oleh indera pendengaranku, serta rasa asin dari air yang berasal dari bibir pantai.
Kala itu aku masih berumur lima tahun. Saat orang tuaku hendak pergi ke luar kota karena pekerjaan mereka selama dua minggu. Aku dititipkan di rumah nenekku yang berada di kampung pesisir pantai.
Aku awalnya tidak mau, karena daerahnya sangat terpencil dan keseharian di sana jauh dari kehidupanku saat tinggal di kota.
Risih. Jorok. Norak.
Itulah kata-kata yang selalu ada dalam kepalaku jika menyangkut tentang ‘kampung’
Dua hari kuhabiskan dengan mengurung diri di dalam rumah. Sesekali aku keluar rumah, namun hanya duduk santai di depan teras.
“Apa kau tidak bosan di rumah melulu?”
Itulah kata-kata yang kudengar dari gadis yang tinggal di dekat rumah nenekku.
Aku tak tahu dia lebih muda atau lebih tua dariku.
Tapi sepertinya dia tak berbeda jauh usianya denganku, karena tingginya hampir sama denganku. Potongan rambutnya pendek sebahu, mirip seperti boneka.
Walau aku berkali-kali mengabaikanya dan memalingkan wajahku, dia tetap mengajakku berbicara.
Sampai akhirnya aku membalas perkataanya.
“Aku malas main di kampung seperti ini. Lebih baik di kota tempatku tinggal, di sana banyak permainan seru daripada di sini.”
“Kampung ini tak seburuk yang kau bayangkan, kok.”
“Bohong…!”
“Aku tak bohong. Kalau kau mau bukti akan kutunjukkan semua seluk beluk tentang kampung ini. Di sini punya banyak hal yang tak bisa kau dapatkan di kota tempatmu tinggal.”
Aku tak percaya begitu saja, aku pun menolak ajakanya beberapa kali. Tapi dia tetap keras kepala dan terus membujukku.
Pada akhirnya aku pun mengangguk dan menuruti perkataanya. Dia bilang akan menunjukan hal menyenangkan di kampung ini.
Tapi aku tak tahu dia berkata benar atau tidak. Mungkin saja dia akan mendorongku jatuh dari atas tebing karena telah menghina kampung tempatnya tinggal.
Tapi entah kenapa aku masih tetap mengikutinya.
Hatiku mengatakan untuk mempercayainya saat itu. Karena sebenarnya aku juga ingin melihat hal yang akan ia tunjukkan padaku.
Sampai pada akhirnya aku dihadapkan pada hamparan pasir putih yang terbentang luas. Air lautnya terbilang cukup tenang. Jarang ada ombak besar menggulung yang berhasil sampai titik pasang pantai.
“Apakah ini yang ingin kau tunjukkan padaku?”
Gadis itu melempar senyum manisnya padaku.
“Ya. Di kota kau takkan menemukan pantai sebersih ini.”
Memang benar perkataanya.
Airnya sangat jernih seperti air kolam renang, bahkan aku bisa melihat ikan yang berenang di antara terumbu karang yang berwarna-warni.
Permukaan airnya memantulkan warna biru langit secara sempurna.
Baru kulihat pertama kalinya dengan mata kepalaku sendiri pantai seindah ini. Pantai yang biasa kukunjungi, apalagi di ibukota memiliki air keruh seperti air got. Tak jarang juga ada beberapa sampah yang berserakan di atas pasir pantai.
Tapi pantai di sini sangat terjaga kebersihanya.
Aku heran. Kenapa pantai seindah ini bisa sepi pengunjung.
“Pantai ini agak terpencil dan kurang terkenal. Jadi jarang ada yang datang kemari selain penduduk kampung.”
Gadis itu menjawab seakan dia bisa mengetahui isi kepalaku.
Memang benar katanya. Sewaktu aku datang kemari, mobil yang kutumpangi harus melewati jalanan berlumpur dan berbatu selama berjam-jam. Tak jarang ban mobil beberapa kali terselip.
Mungkin itu salah satu faktor yang menyebabkan pengunjung enggan datang kemari.
Gadis itu lalu duduk di bawah bayangan pohon kelapa di pinggir pantai.
Lalu menepuk-nepukan pasir putih yang ada di sebelahnya seolah mengundangku untuk menemaninya.
“Bagaimana? Apa kau sudah merubah pandanganmu tentang kampung ini?”
“Sedikit…”
“Fu fu… kalau begitu aku akan menunjukanmu lebih banyak hal tentang kampung ini.”
Hari-hari berikutnya kuhabiskan untuk menjelajahi lebih jauh tentang kampung ini bersama gadis itu.
Kami mengunjungi banyak tempat seperti sungai yang permukaan airnya bening seperti kaca, hutan yang selalu teduh di cuaca apa pun, atau danau yang luasnya seperti lautan.
Sedikit demi sedikit aku mulai mengakui kalau kampung ini lebih baik dari bayanganku sebelumnya.
Di sini mulai terlihat menyenangkan.
Ini semua berkatnya, aku jadi mulai merasa nyaman dengan gadis itu.
Kami selalu bermain setiap hari. Meski pada awalnya aku selalu cuek padanya, tapi aku mulai bisa menunjukan senyumku saat berbicara denganya.
Hari-hari liburanku di sana harus berakhir saat orang tuaku menjemput ke rumah nenekku.
Aku pun terpaksa harus berpisah dengan gadis itu. Dia adalah orang yang mengajariku banyak hal tentang kampung ini.
Berat rasanya meninggalkanya di sini saat aku sudah mulai menganggapnya sebagai temanku.
Pada saat hari perpisahan aku berjanji akan datang lagi untuk bertemu denganya. Dengan mengaitkan jari kelingking kami, aku pun bersumpah untuk memenuhi janji itu.
Tapi satu tahun setelahnya, nenekku meninggal. Rumahnya lalu dijual dan berpindah tangan ke orang lain.
Karena itulah aku tak bisa mengunjungi gadis itu lagi saat libur sekolah.
Bertahun-tahun terlewati tanpa sekali pun berjumpa dengan gadis itu.
Aku masih ingat jelas bagaimana caranya ia tertawa dan tersenyum, menyapaku dengan suara lemah lembutnya.
Meski begitu ada satu hal yang kusesalkan.
Aku tak dapat mengingat wajah dan namanya…
***
Kenapa aku kembali memimpikan hal itu?
Di kali berikutnya aku sadar, aku merasakan sentuhan lembut yang menekan sebelah pipiku.
Dengan perlahan kubuka kelopak mataku. Butuh waktu agak lama bagiku untuk memperjelas indera penglihatanku.
Mata oranye gadis itu dengan sinis menatap mataku. Telunjuknya menusuk-nusuk pipiku mengisyaratkan agar aku segera kembali ke dunia nyata.
“Cepatlah bangun! Mau sampai kapan kau tidur?”
Kulihat jam di atas dinding kamarku.
“Masih jam 7. Lagipula ini hari libur, tak masalah kalau bangun siang kan?!”
Bella lalu memencet hidungku dengan kencang, sehingga kedua lubang hidungku tertutup sepenuhnya dan membuatku kesulitan bernapas.
“Daripada tidur, lebih baik kau bantu aku bersih-bersih rumah.”
“U-Uwa… baik!”
Dengan setengah hati aku bangun dari tempat tidurku, menutup mulutku yang menguap dengan kedua tanganku, lalu kembali mengusap kedua mataku.
Kurasakan tatapan hangat pada punggungku, lalu kubalas dengan melemparkan senyum pada Bella.
“Ngomong-ngomong, apa kau sudah sembuh?”
“Ya, aku baik-baik saja sekarang. Ini semua berkatmu…”
Bella memalingkan wajahnya ke arah lain. ini adalah reaksi wajar darinya saat ia tak ingin mengatakan sesuatu yang tak dikehendakinya.
“T-Terima kasih sudah merawatku kemarin.”
“Tak masalah.”
Sebenarnya ada yang ingin kutanyakan padanya.
Ini soal ciuman pipi yang ia berikan kemarin. Dia tak pernah mau menjawab berapa kali pun aku bertanya padanya.
Padahal kukira akan ada kecanggungan di antara kami. Tapi sepertinya dia bersikap tak ada apa-apa.
Mungkinkah hanya aku saja yang merasa berdebar-debar? Dan… kenapa dia menciumku?
Cuaca minggu pagi ini cukup bagus, meski aku melihat gumpalan awan mendung yang melayang di angkasa. Aku bisa mendengar suara siulan burung-burung dari arah luar rumah.
Tampaknya mereka sengaja bernyanyi dengan merdu untuk mengundangku keluar rumah.
Titik-titik embun menempel di seluruh kaca rumahku. Sepertinya hujan kembali turun dengan lebat semalam.
Hal itu menjadikan hawa di dalam sini menjadi agak sedikit dingin.
Aku berjalan menuju kompor yang berada di dapur. Kurebus sedikit air untuk menyeduh teh. Minum minuman panas di kondisi seperti ini adalah hal yang perlu dilakukan agar seluruh tubuhmu tak membeku kedinginan.
Lalu kutuangkan air yang baru saja mendidih ke dalam dua buah gelas yang sudah kuisi dengan gula dan teh di dalamnya.
Aku kembali ke ruang tamu, di mana Bella sedang membersihkan debu di atas lantai dengan vacuum cleaner.
“Kenapa kau malah santai-santai? Cepat bantu aku!”
“Santai dulu saja. Ini tehmu!”
Kusodorkan teh miliknya di atas meja. Lalu mengambil gelas punyaku dan meniupnya sebelum meminumnya pelan-pelan.
“Oh iya, hari ini aku ke mall untuk membeli sepatu baru. Bisa kau jaga rumah?”
“Hah…?”
Aku langsung merasakan hawa dingin di sekujur tubuhku kala suaranya dengan lantang menggema di ruangan ini.
Ekspresi Bella menjadi muram. Kedua alisnya menyatu seperti elang yang tengah mengintai mangsanya.
Bella menatapku dengan rendah.
“Jangan-jangan kau mau kabur dari tugasmu, ya!? Jangan harap!!!”
“T-Tentu saja aku akan membantu beres-beres rumah sebelumnya.”
Aku tergagap.
“Aku ikut!”
“J-Jangan…!”
Aku refleks menghadapkan kedua telapak tanganku padanya, mencoba menghentikan kehendaknya.
“Kenapa?”
“Coba pikir lagi, rahasia kita waktu itu hampir ketahuan saat kita berpapasan dengan teman sekelas. Siapa tahu saat di mall nanti malah akan bertemu dengan orang yang kita kenal lagi. Apalagi ini hari minggu, mungkin banyak dari mereka yang sedang berkeliaran di kota.”
Aku memaksakan senyum di wajahku. Kuharap ini bisa dijadikan alasan agar ia tak turut ikut bersamaku.
Jujur saja, aku memang selalu khawatir pergi bersamanya sejak kami pernah dipergoki oleh ketua kelas saat belanja bersama.
Bella terdiam sejenak. Kurasa dia butuh waktu untuk mencerna seluruh perkataanku.
“Kalau begitu cepatlah kau beres-beres rumah!!”
Semakin aku lebih lama bersamanya, semakin aku mengenal sifatnya. Dan jika ia memasang ekspresi berapi-api seperti sekarang, itu artinya dia akan menggila jika aku tak memenuhi keinginanya.
Aku pun mulai dengan mengepel lantai yang sudah dibersihkan oleh Bella sebelumnya.
Kalau dipikir-pikir lagi bukankah seharusnya ini tugas seorang istri? Dulu aku menganggap suami yang takut pada istrinya adalah pria yang lemah.
Tapi sepertinya kata-kata itu malah menjadi bumerang untukku melihat kondisku yang sekarang. Aku jadi terpaksa memakan kata-kataku sendiri.
Bella orangnya tidak suka melihat sesuatu yang berantakan dan kotor. Kamarku yang biasanya berantakan menjadi selalu rapi saat ia tinggal di sini.
Tentu saja ia sering menyuruh-nyuruhku untuk membersihkanya, tak jarang dengan bentakan dan paksaan. Daripada istri, dia lebih cocok jadi ibu tirinya Bawang Putih.
Setengah jam berlalu, aku sudah menyelesaikan semua hal yang ia suruh.
Mengepel lantai, mencuci piring, serta baju. Semua hal itu sudah menjadikan badanku kelelahan.
“Aku pergi dulu, ya!”
Aku melambaikan tanganku pada Bella. Dia hanya membalasku dengan tatapan dingin.
Memang menyebalkan rasanya saat orang bersikap tak acuh padamu. Tapi karena aku sudah biasa diperlakukan seperti itu olehnya, aku pun tak mencoba membalasnya dengan umpatan seperti yang akan kulakukan dulu.
***
Bunyi seperti ranting patah terdengar saat kakiku menjejak keramik trotoar yang sudah pecah.
Aku sedikit gusar. Di jalanan kota seperti ini seharusnya fasilitas umum ditingkatkan kondisinya. Entah apa yang dilakukan pemerintah kota di balik meja mereka saat ini.
Aku berada di pusat kota yang penuh keramaian. Orang-orang berlalu lalang di trotoar, mobil-mobil yang membanjiri jalanan, serta pedagang kaki lima yang mangkal seenak jidat mereka.
Ini semua adalah pemandangan yang biasa kalau kau kemari setiap hari minggu.
Sebelumnya aku mengatakan pada Bella kalau tujuanku kemari untuk membeli sepatu baru. Tapi itu hanyalah alasanku belaka.
Ada hal lain yang ingin kulakukan tanpa diketahui oleh Bella di sini.
Langkah kakiku berhenti di depan sebuah restoran keluarga dekat dengan kawasan perbelanjaan di pusat kota.
Restoran yang terkenal dengan resep ayam bakarnya ini terlihat dipenuhi oleh banyak pelanggan seperti biasanya, tak peduli mau itu hari biasa atau libur.
“Permisi, saya ingin bertemu dengan Bu Widya.”
Kataku pada satpam yang tengah duduk di dalam posnya. Dia lalu menuntunku ke dalam restoran lewat pintu samping.
Ini adalah pintu masuk khusus karyawan. Wajar kalau di balik pintu ini banyak karyawan yang memakai seragam yang sama.
Satpam itu lalu mengetuk sebuah pintu yang berada di ujung lorong.
Tak lama kemudian pintu terbuka dan menampakan seorang wanita berumur sekitar tiga puluhan dengan kulit hitam.
“Oh, jadi kamu yang direkomendasikan Pak Ginanjar kemarin?”
Aku mengangguk.
“Iya, saya ingin melamar kerja di sini.”