“Ah.., sudah sampai terowongan lagi. Ga kerasa yah…”
Terdapat sebuah terowongan besar dihadapannya, terowongan ini terbentuk karena diatasnya ada jalan tol. Setiap hari pasti Nana melewatinya. Sambil berjalan dia membuka media sosialnya, ada sebuah berita yang menarik perhatiannya.
“Seorang suami tega memukul lalu menikam istri beserta asisten rumah tangganya hingga koma, keberadaan sang suami belum diketahui. Polisi masih tetap mencari keberadaan sang suami yang diduga merupakan tersangka utama dalam kasus ini.”
“Serem banget sih laki-laki jaman sekarang,” dirinya sudah memasuki terowongan.
terowongan ini sangat gelap, hanya ada sebuah lampu bohlam berwarna kuning yang menempel di atas terowongan. Jalannya juga sempit, hanya bisa diisi dengan satu mobil dan satu motor. Jika ada kendaraan dari arah lain lewat, maka harus ada pengendara yang mengalah. Untungnya di ujung terowongan ada seorang “Pak Ogah” yang biasa mengatur lalu lintas, dengan priwit kecil yang menempel di saku bajunya. Entah mengapa musik yang didengarkan oleh Nana suaranya menjadi sangat keras.
“Kok jadi gede gini sih suaranya,” mencoba mengecilkan volumenya. “masih aja gede, apa gara-gara terowongannya kosong yah?” sambil melirik-lirik di dalam terowongan, kebetulan keadaan memang sangat sepi. Hanya ada dirinya dan satu orang lagi yang berdiri tepat di bawah lampu.
Nana semakin mendekati orang itu, tidak ada pikiran negatif dalam dirinya. Dia sangat tahu kalau masyarakat sekitar tempat tinggalnya adalah orang yang baik-baik. Walaupun sekiranya ada orang yang jahat, suaranya akan menggema dan terdengar keluar. Seketika orang yang berada di luar terowongan akan mengetahuinya.
Nana tidak berani melihatnya, dia hanya menunduk sambil terus berjalan. Saat sudah menjauh baru dia berani menoleh kebelakang karena penasaran. “Eh…masih ada, ngeri banget sih cuman berdiri aja disitu,” karena sedikit takut dia berlari keluar terowongan.
Saat sudah keluar terowongan, seseorang menyambutnya dengan hangat. “Neng Nana, kenapa lari-lari begitu. Takut yah?” sedikit meledek.
“Ah pak Jamal, engga kok! Siapa yang takut?!”
“Itu kenapa sampe lari-lari begitu?” tanya bapak tua yang memakai kupluk, kumisnya menutupi bibir atasnya.
“Engga itu ada orang yang berdiri aja di tengah, di bawah lampu.”
“Bapak ga liat ada orang lewat masuk ke terowongan, apa dari ujung sana kali yah?” karena penasaran pak Jamal memeriksanya dengan menggunakan senter, sorot senternya sangat panjang hingga sampai ke area tengah terowongan. Tidak ada apa-apa di sana, “kosong neng, mana katanya ada orang?”
“Ga tau, mungkin sudah keluar kali pak,” Nana yang sedikit ketakutan menyudahi percakapan agar tidak dibahas lagi. “udah ah pak, pulang dulu…,” meninggalkan pak Jamal di belakang. “ah udahlah, ga usah dipikirin,” berbicara dalam hati.
Rumahnya berada di komplek yang sederhana. Karena kesederhaan ini maka terhadap sesama tetangga hubungan mereka sangat kuat. Anak-anak kecil juga sering terlihat bermain di sini, jauh dari gadget atau barang-barang elektronik lainnya. Saat sampai rumah, adiknya Nana yang masih duduk di sekolah dasar menyambutnya. Nana menjawabnya singkat lalu berjalan menuju lantai dua di mana kamarnya berada.
Nana melempar tasnya, lalu menjatuhkan dirinya ke kasur dengan keras. Tubuhnya sampai memantul ke atas. “Enaknya…,” dia merasakan bahwa earphone nya masih terpasang, tetapi tidak ada suaranya. “pantes aja tadi bisa ngedenger suara pak Jamal, kok aku ga nyadar yah?” mulai bangun dan duduk di atas kasur, dia bersender ke jendela yang letaknya tepat di samping kasurnya.
Nana melihat layar ponselnya, lagu yang dia putar masih berjalan. Bar yang menunjukan lagu berjalan terus bergerak. Tetapi suaranya tidak ada, meskipun Nana sudah menaikan volumenya tetap saja lagunya tidak terdengar. Dia mencabut earphone yang menempel di ponsel, tidak ada perubahan sama sekali. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk mematikan lalu menghidupkan kembali ponselnya dan melihat apa yang terjadi.
“Masih item aja layarnya, kenapa yah?” lalu beberapa saat kemudian muncul sebuah gambar lampu yang cahayanya berwarna kuning. “ih kenapa sih!!” menekan tombol power diponselnya tetapi lampu yang menyala masih di sana. Dia melihat ada sesuatu yang bergerak ke arah sorot lampu. Tiba-tiba sosok itu menampakan wajahnya ke layar ponsel Nana. Wajah yang berwarna putih pucat, dengan mata tanpa bulatan hitam ditengahnya. Sontak Nana kaget dan secara tidak sengaja melempar ponselnya. “Arghh!!!” dia menutup matanya.
Sang adik yang mendengar teriakan kakaknya langsung bergerak menuju kamar Nana. Adiknya yang seorang perempuan juga bertanya kepada kakaknya kenapa berteriak kencang seperti itu.
“Kak! Kenapa sih? Teriak-teriak sampe kedengeran ke bawah.”
Nana yang mulai menangis masih menutupi wajahnya, dia tiduran dan menghadapkan tubuhnya ke arah tembok. “Itu di handphone kakak….” Kakinya menendang-nendang tidak karuan.
Adiknya mengambil ponsel Nana yang tergeletak di lantai, layarnya retak membelah layar. Walaupun retaknya tipis namun sangat menganggu tampilan layarnya.
“Tuh kan handphone nya jadi retak begini layarnya, emang kakak punya uang buat ngebetulinnya?” yang adiknya lihat sekarang adalah tampilan menu awal ponsel Nana, tidak ada yang aneh. “ya udah, handphone nya ade taro di atas meja belajar ya kak!” adiknya keluar sambil menggelengkan kepalanya, sikapnya sangat dewasa padahal umurnya baru saja genap 10 tahun.
Butuh waktu yang cukup lama untuk Nana bangkit dari kasur dan mengambil ponselnya, kemunculan tiba-tiba sosok barusan sangat menggetarkan jiwanya. Dengan sangat berhati-hati dia meraih ponselnya, mencoba sekuat mungkin agar layarnya tidak terlihat. Dia berhasil mengambil ponselnya, namun masih menutupi layarnya. Jantungnya berdebar sangat kencang, dia takut jika sosok yang tadi muncul lagi.
Dengan keberanian yang cukup Nana melihat layar ponselnya, sebuah garis retakan terlihat jelas walau tipis.
Perasaannya kini lega, dia tidak percaya apa yang dialaminya barusan. “Itu tadi apa sih?!” matanya masih sembab akibat menangis tadi.