Hidangan sudah tersaji di meja, mereka berempat duduk ditempatnya masing-masing. Raut wajah Nana masih menunjukan sikap penuh kewaspadaan, seperti orang yang tidak tenang.“Na, kenapa? Kok ngeliat-liat gitu?” ibunya bertanya dengan penuh kelembutan.
“Ini bu, tadi kak…,” tiba-tiba Nana memotong pembicaraan adiknya.
“Engga bu, tadi kaya ada lalat,” raut wajahnya mendadak menjadi senang. Lalu dia membisiki adiknya, “kejadian tadi ibu jangan sampe tau, nanti ibu banyak nanya ini itu,” tegasnya.
“Ya…,” muka adiknya cemberut.
Melihat tingkah kedua anak gadisnya seperti itu malah membuat ibunya senang, setidaknya anak-anaknya akrab satu sama lain.
Nana masih membuka kunci ponselnya dengan hati-hati, dia menjadi tidak nyaman jika tahu layar ponselnya menjadi hitam. Setelah makan malam barusan dirinya langsung naik ke kamar, dia masih kepikiran kejadian siang tadi. Kelemahan Nana adalah dirinya merupakan pribadi yang introvert, dia tidak mudah tertarik dengan suatu hal. Itulah salah satu alasan kenapa dia lebih suka berjalan kaki ketika pulang sekolah dan mendengarkan lagu sambil menikmati angin sore.
Namun di saat seperti ini tidak ada teman yang bisa dia ajak untuk berbicara, minimal untuk menceritakan pengalamannya siang tadi. Adiknya tidak akan mempercayai ceritanya, entah kenapa dia menilai adiknya lebih dewasa sikapnya daripada dirinya. Nana beranjak tidur dengan menutupi dirinya dengan selimut.
Pagi biasa diawali dengan perginya Nana ke sekolah, adiknya selalu berangkat bersama dengan orang tuanya menggunakan motor. Kini dihadapannya terlihat terowongan gelap yang biasa dia lewati, berbeda dengan hari sebelumnya. Nana terlihat takut dan ragu-ragu untuk melewati terowongan itu. Langkahnya berat, matanya melirik ke sana kemari apakah ada seseorang atau kendaraan yang ingin lewat terowongan juga.
“Pagi neng,” sapa pak Jamal hangat, balasan Nana malah canggung tidak seperti biasanya. “kenapa neng? Tadi pak Jamal liat dari jauh kok jalannya lama bener, biasanya sekali jalan udah masuk ke terowongan lagi,” tampaknya pak Jamal menyadari bahwa ada perubahan sikap yang ditunjukan oleh Nana.
“Hm…,” mulutnya sulit untuk berbicara, dia sedang mencari alasan agar tidak ketahuan kalau sedang takut.
Di saat seperti itu suara klakson motor memecah suara sunyi diantara Nana dan pak Jamal. Seorang laki-laki menghampiri Nana dengan sebuah sepeda motor matik berwarna abu.
“Hana, kebetulan. Ayo bareng aja sama aku, mumpung aku lagi bawa helm dua nih,” wajahnya sangat cerah pagi ini, berbeda dengan Nana yang sedikit takut.
“Randi?” mata Nana membesar.
“Udah ayo ikut aja, ga usah takut kan kita sekelas. Hehehe,” tertawa untuk mencairkan suasana, pak Jamal yang melihatnya juga memberikan dukungan untuk Nana agar menerima tumpangan dari temannya.
Nana dan Randi merupakan teman sekelas, walaupun begitu keduanya sama sekali tidak akrab. Nana cenderung pendiam di kelas sedangkan Randi sangat aktif. Nana masih belum mengambil helm yang disodorkan oleh Randi, dirinya masih ragu-ragu untuk menerima tumpangan Randi atau tidak. Akhirnya dia putuskan untuk ikut bersama Randi melewati terowongan gelap ini. Mereka berdua pun pergi bersama, saat melewati terowongan Nana memutuskan untuk menutup matanya.
Dia memegang belakang jaket Randi dengan erat, sampai keluar dari terowongan Nana tidak membuka matanya. Barulah ketika gema-gema suara tidak terdengar Nana membuka matanya.
“Udah Randi sampai sini aja,” mendorong pelan punggungnya Randi.
“Lho kenapa? Tanggung sampe sekolah aja yah, ga akan dimintain uang bensin kok tenang aja,” mencoba membuat Nana nyaman kepada dirinya.
“Maaf, lain kali aja yah. Aku udah janjian sama temen mau ke sekolah bareng,” dengan sangat terpaksa Randi berhenti dipersimpangan. Dia tidak ingin mengambil resiko memaksa Nana yang nantinya membuat Nana malah membencinya.
Setelah Randi pergi, Nana melihat ke arah terowongan yang masih terlihat walaupun jaraknya sudah lumayan jauh. Semakin dipikirkan semakin mengerikan bagi Nana, dia merasa seperti ada sesuatu yang terus saja mengajaknya untuk kembali masuk ke terowongan. Lalu dia melanjutkan perjalanan kesekolahnya menggunakan angkutan umum.
Tidak seperti apa yang dikatakan Nana sebelumnya oleh Randi, tidak ada seorang temannya yang naik bersama dirinya di angkutan umum. Dia terpaksa berbohong kepada Randi karena dirinya belum nyaman jika harus dibonceng oleh seorang teman laki-laki ke sekolah. Nana datang tepat saat bel sekolah dibunyikan, dia bergegas masuk ke kelas. Saat masuk, Randi melambaikan tangannya dan Nana hanya mengangguk pelan.
Ketika pelajaran berlangsung tiba-tiba Nana merasakan rasa sakit yang hebat pada perutnya. Lalu dia meminta izin kepada guru untuk pergi ke toilet. Teman-temannya memperhatikan saat Nana keluar kelas sambil memegangi perutnya.
“Perasaan tadi sarapan ga makan yang aneh-aneh,” Nana sedikit berlari, karena perutnya semakin lama semakin sakit. Saat berada di ujung toilet dia bertemu dengan seorang siswi yang berambut panjang. Wajahnya sangat datar saat berpapasan dengan Nana.
Salah satu pintu toilet sudah dia buka, namun rasa sakitnya malah semakin menjadi. Nana merasa tidak kuat, badannya membungkuk dan perlahan jongkok di depan pintu toilet. Lalu dia mendengar ada suara perempuan yang bertanya kepadanya. Nada suaranya sungguh datar.
“Kamu kenapa?……,” suaranya terkesan dingin.
Pelan-pelan Nana menggeser kepalanya yang tertunduk akibat menahan sakit, dia melihat rambut yang panjang. Nana mengira yang bertanya padanya adalah seorang siswi barusan yang dia temui di ujung toilet.
“Ini…perut aku sa….,” Nana sungguh terkejut saat melihat wajah perempuan itu, karena tidak ada apa-apa di sana, semuanya rata. Keringat dingin mulai mengucur dari dahinya, matanya tidak bisa mengedip.
Sosok perempuan bermuka rata ini masih bisa berbicara, bahkan dia mencoba mengecek perut Nana dengan cara memegangnya. “Ba..gi..an mana yang sa..kit?”
Jantung Nana semakin berdegup kencang, dia keheranan mengapa mulutnya seperti terkunci sekarang. Dia tidak bisa berkata apa-apa, dengan sekuat tenaga Nana memejamkan matanya kemudian menutup kedua telinganya keras-keras. Karena sosok perempuan masih saja berbicara kepadanya.
“Per…,” Nana merasa sekarang dia bisa berbicara. “pergi! Pergi! Pergiiii!!!” sambil menggelengkan kepalanya dengan kencang. Namun lama-lama kepalanya terhenti karena ada tangan yang menahannya.
“Na! Nana?!” suaranya berbeda dengan suara perempuan barusan.
Nana mencoba membuka matanya pelan-pelan, “Eh..Rasti?” dihadapannya ternyata sekarang adalah teman sebangkunya yang bernama Rasti. Sebelum pergi ke toilet juga dia menyarankan agar Nana langsung pergi ke ruang UKS tetapi Nana menolak.
“Kamu engga apa-apa kan? Aku disuruh samperin kamu soalnya sampe pelajaran habis kamu belum juga balik ke kelas juga, takutnya ada kenapa-napa…”
Padahal Nana merasa bahwa dia baru berada di toilet ini sebentar, dia mencoba berdiri. Mendadak rasa sakit diperutnya hilang, “Engga, perut aku udah engga sakit,” bersamaan dengan hilangnya sosok perempuan bermuka rata dihadapannya.
Saat perjalanan kembali ke kelas, Rasti banyak bertanya kepada Nana. Yang paling menjadi perhatiannya pada saat Nana sedang jongkok sambil tertunduk menutup kedua telinganya di depan toilet. Rasti yang mengecek ke dalam tidak menemukan apa-apa. Mereka berdua masuk ke dalam kelas bersamaan, teman yang lainnya juga bertanya kepada Nana. Dia menjawabnya singkat bahwa dia baik-baik saja.
Namun ada satu orang temannya yang melihatnya dengan tatapan berbeda, dia adalah Desi. Yang dikenal oleh teman sekelasnya adalah seorang siswi dengan kemampuan melihat makhluk halus. Badan Desi bergetar, dia bergerak mundur menjauh.
“Des, kenapa?” tanya Rasti. Semua pandangan teman sekelas tertuju kepada Desi.
“Itu…itu…,” menunjuk ke arah Nana. Tiba-tiba Desi berteriak hebat. “Aaaaaaaaaaaaa!!!!!” seketika suasana kelas menjadi sangat heboh.