Sangat jarang memang di zaman seperti ini masih ada kegiatan ronda malam seperti yang dilakukan oleh masyarakat sekitar komplek rumah Nana. Salah satu orang yang mengikuti kegiatan ini melihat sosok Nana saat di terowongan tadi sore. Orang ini bernama Yayat, umurnya sudah 30 tahun lebih sedikit. Dia mulai menceritakan apa yang dia alami tadi sore kepada rekannya. Respon rekan-rekannya hanya menertawainya, mengira yang dia ceritakan hanyalah halusinasi saja.
Tiba-tiba salah satu yang menjaga melihat ada orang berjalan ke arah terowongan dengan langkah yang cepat, “Eh sebentar-sebentar, liat ga tadi barusan?” tanya orang itu.
“Mana ah ga ada apa-apa, emang liat apa sih?”
Orang itu bercerita bahwa dia melihat ada orang yang berjalan ke arah terowongan, sampai sini semua tidak ada rasa khawatir sedikitpun. Tetapi saat dia menambahkan bahwa langkahnya sangat cepat seperti orang berlari barulah mereka sedikit tergerak. Ada yang mengira mungkin saja orang tersebut adalah seorang maling yang panik melihat ada yang sedang melakukan ronda malam. Lalu mereka bergerak untuk mengejarnya, untuk memastikan apakah yang diduga adalah maling atau tidak. Namun Yayat ini malah diam, dia tidak mau jika harus masuk ke dalam terowongan.
“Eh ayo! Keburu orangnya pergi jauh,” semua orang sudah berdiri.
“Bapak-bapak saja, saya nunggu di sini. Lagiankan belum jelas, siapa tau kucing atau anjing yang lewat,” sambil memegang gorengan pisang ditangannya.
“Ya udah deh, ga apa-apa. Harus ada yang jaga pos ronda juga kan, buat jaga pisang gorengnya,” sontak mereka tertawa.
Empat orang lainnya segera mengecek ke dalam terowongan, masing-masing memegang sebuah senter. Terowongan yang gelap pun mendadak menjadi terang karena cahaya senternya. Mereka tidak menemukan apa-apa,baik di dalam maupun di luar terowongan. Keadaan di sini sangat sepi, mereka beranggapan ‘orang’ yang dilihatnya ini sudah pergi jauh.
“Beneran tadi liat orang?”
“Iya seriusan, cepet banget begini,” memperagakan dengan tangannya.
Dirasa tidak menemukan yang mereka cari, keempat orang ini keluar dari terowongan. Namun salah satu dari mereka mendengar ada suara perempuan dari dalam terowongan. Saat teman-temannya sudah pergi jauh orang ini malah kembali masuk seorang diri. Saat sampai ke pos ronda, barulah temannya menyadari diantara mereka ada yang tertinggal.
“Kok cuman bertiga? Satu lagi mana?” tanya Yayat.
“Eh iya, kemana yah? Apa ketinggalan di terowongan yah? Coba susul gih,” meminta tolong yang lain untuk mencarinya.
Kali ini yang mencari hanya seorang diri, dia masuk ke dalam terowongan. Berbeda ketika bersama yang lain, suasana kali ini lebih mencekam. Hawa udara mendadak menjadi sangat dingin.
“Mas!…oi mas!” menyinari terowongan dengan senter, cahayanya lurus ke depan.
Sudah sampai di tengah terowongan dia belum menemukan rekannya. Lalu sesuatu jatuh dari atas terowongan, bentuknya cair. Orang ini memegangnya dengan jari telunjuk, saat dilihat yang jatuh itu adalah darah. Semakin lama semakin banyak tetesan yang jatuh, saat dia sinari tubuh rekannya menancap di atas terowongan. Lehernya dalam kondisi yang mengenaskan, karena kaget orang ini berteriak meminta tolong sehingga membuat rekannya yang lain yang berada di pos menghampirinya.
Beberapa saat orang-orang ini muncul, “Hei kenapa?!” orang itu memberitahu agar menyorot lampu senternya ke atas. Mata orang-orang ini melotot, mereka semua gemetaran.
“Benerkan…ada yang ga beres di terowongan ini!” Yayat yang panik mencoba melarikan diri, namun dicegah oleh rekannya yang lain. Mereka tidak ingin membuat kegaduhan di tengah malam seperti ini.
“Ini gimana cara nuru…,” tiba-tiba tubuh rekannya yang menancap di atas terowongan terjatuh. Walaupun sempat ditahan namun jatuhnya cukup keras hingga terbanting. Orang ini masih bernafas dan mereka segera membawanya ke rumah sakit setempat.
Munculnya suara gaduh rumah membuat adiknya Nana yang mempunyai nama yang mirip dengannya terbangun.
“Suara apasih ribut-ribut,” dengan santainya Mira berjalan ke lantai bawah untuk mengeceknya. Yang dia lihat adalah sosok kakaknya yang sedang makan lahap di meja makan yang berdekatan dengan dapur. “kak, udah jam segini masih makan aja. Ga takut kalau badannya jadi gendut?” Nana tidak menjawabnya, seolah-olah tidak mendengarnya. “ya udah kak, ade mau lanjut tidur lagi. Makannya jangan berisik tapi,” adiknya berjalan kembali menuju kamarnya. Baru saja berjalan beberapa langkah Nana memanggilnya.
“De…jangan bilang-bilang yah kalau kakak jam segini malah makan,” posisi Mira membelakangi Nana.
“Iya lagian siapa juga yang…..,” saat menoleh Mira melihat sosok kakaknya tetapi dengan tampilan yang sangat menakutkan.
Kedua matanya putih, alisnya tidak ada. Kepalanya sangat miring sehingga terlihat seperti orang yang lehernya patah. Nana menyeringai lebar dengan mulut yang penuh bercak darah, belum lagi ada potongan daging yang masih ada dalam mulutnya itu. Adiknya berteriak dengan sangat keras, dia menutup rapat-rapat mukanya dengan kedua tangannya. Mendengar teriakan itu, orang tuanya bangun dan menghampiri anaknya itu.
“Mira…mira, kenapa nak?” tanya ibunya. Mira tidak menjawab, dia hanya menangis.
“De…kenapa?” tanya Nana.
Mendengar suara kakaknya, tangis Mira semakin kencang. “Gamau! Gamau ada kakak!”
Kedua orang tuanya dan Nana menjadi bingung. “Emang kakak kenapa? Ini kakak baru turun lho dari kamarnya di atas,” Ibunya mencoba membuat anaknya tenang.
Setelah mendengarnya Mira mencoba membuka tangannya sedikit demi sedikit. Lalu dia melihat Nana dengan tampilan normal, tidak ada bercak darah dimulutnya. Kedua mata yang normal dan leher yang tidak patah.
“Itu kakak tadi…,” sambil terisak-isak.
“Ade ini lagi ngigau kali, aku kan lagi tidur dari tadi.”
“Iya sudah…sudah, yuk ade bobonya sama mama sama papa sekarang,” ibunya menggiring Mira masuk kekamarnya. Saat berjalan menuju kamar Mira menoleh lagi kebelakang untuk melihat kakaknya. Nana yang melihat adiknya tersenyum lebar dengan wajah yang manis.