Sikap Nana yang mendadak berubah juga mengagetkan teman-teman sekelasnya. Baik Rasti maupun Randi tidak menyangka bahwa Nana menjadi sosok yang menyenangkan dalam waktu yang singkat. Apalagi Rasti, selama ini dia duduk sebangku dengan Nana. Dia jarang sekali berbicara dengannya, walaupun perempuan biasanya cepat akrab tapi hal ini tidak berlaku bagi Nana. Rasti kadang selalu memulai percakapan, karena tidak mengasyikan jika duduk bersama teman tapi saling diam. Tapi sekarang Rasti menjadi lebih senang terhadap perubahan sikap Nana.
Untuk Randi, Nana menjadi sangat aktif. Kadang dia yang meminta duluan untuk pergi bersama ke sekolah, bahkan tak jarang Nana juga meminta Randi untuk mengantarnya pulang. Dari semua teman-teman Nana yang merasa senang karena Nana menjadi sosok yang lebih mudah bergaul, ada satu temannya yang merasa takut jika berada didekatnya. Jangankan duduk bersebelahan, menatap wajahnya saja takut. Dia adalah Desi, temannya yang waktu itu teriak histeris ketika melihat Nana kembali dari toilet.
“Des, kenapa sih?” Rasti yang mulai risih terhadap sikap Desi menanyainya.
“Eng…engga Ras..,” Desi melihat Nana sedang menatapnya. “udah yah, aku mau jajan dulu. Nanti waktu istirahatnya keburu abis,” Desi langsung pergi meninggalkan kelas.
Rasti hanya menggelengkan kepalanya, ketika dia kembali ke tempat duduknya. Dia menceritakannya kepada Nana.
“Na…kamu ada masalah apa sih sama Desi?”
“Masalah? Engga ada,” Nana menjawabnya dengan santai.
“Tapi kok anehnya, kamu ngerasa ga kalau kita papasan sama dia. Dia tuh selalu ngindar gitu, ini udah sering lho Na.”
“Udah santai, ga usah terlalu dipikirinlah.”
Sepulang sekolah seperti biasa Desi selalu berangkat paling pertama, dia tidak selalu seperti itu sebelumnya. Ada hal yang membuatnya menjadi seperti itu, kejadian tempo hari saat dia berteriak masih membekas dari dirinya.
“Tuh liat kan Na,” Nana mencoba menenangkan temannya.
Di saat Desi sedang tergesa-gesa menunggu angkutan yang datang, dia merasakan seperti ada yang menarik tangannya. Ketika dia melihatnya, yang menarik tangannya adalah Nana.
“Na…ki..ta mau ke..mana?” Desi tidak bisa melihat muka Nana karena posisi Nana yang membelakanginya.
Sampailah mereka di sebuah gang kecil yang kosong, kondisi gang ini sedikit gelap karena cahaya matahari terhalang oleh bangunan di sini. Selain itu gang ini kosong, tidak ada orang yang lewat, posisi Nana masih membelakangi Desi.
“Na…ada apa yah? Kok aku dibawa ke…sini?” tidak ada balasan dari Nana. “ka..lau ga ada apa…apa, a..ku pu..lang yah?” sesaat sebelum melangkahkan kakinya tubuhnya terhempas ke tembok dan Nana sudah berada didepannya.
Matanya melotot besar, semuanya putih. Kulitnya menjadi sangat pucat dan rambutnya seketika menjadi panjang. Ketika dia tersenyum, gigi-giginya yang tajam keluar.
“Jadi kamu sudah tahu yah?” Desi gemetaran, dia hampir menangis. “cup…cup…cup,” mengelus pipinya Desi dengan jemarinya yang sangat kurus seperti tulang yang dilapisi kulit. “jika kamu sudah tahu, jangan beritahu yang lain,” nada bicaranya seperti seorang nenek-nenek. “dan teman-temanmu akan selamat….,” mengendus-ngendus leher Desi. “aku tidak suka bau perempuan,” Nana mundur, tidak berjalan tetapi melayang.
Desi yang masih gemetaran tidak bisa berbuat apa-apa, dia hanya melihat Nana yang perlahan menjadi dirinya kembali. Nana yang sudah kembali normal berjalan menghampiri Desi.
“Des…aku pulang duluan yah, Randi pasti nungguin,” dirinya tersenyum seakan-akan tidak terjadi sesuatu. Saat Nana berjalan pergi, Desi pingsan.
Randi menunggu dengan sabar diparkiran, senyumnya lebar ketika melihat Nana yang berjalan mendekatinya.
“Maaf yah, tadi aku beli pulsa dulu sebentar,” tanya banyak bertanya Randi hanya mengangguk. Nana dengan perlahan naik ke motor Randi. “eh Ran, gimana kalau kita main dulu kemana gitu. Aku pengen deh kita main dulu sebelum pulang,” nada manja.
“Main? Hm…,” Randi berpikir sejenak. Lalu dia memutuskan untuk mengunjungi salah satu mall. Mereka berdua berangkat, Nana merangkul Randi dengan erat.
Tidak lama kemudian mereka sampai, menuju parkiran bawah tanah. “Emang kita mau ngapain di sini?” tanya Nana.
“Ya…kita refreshing aja. Terus ada tempat ice cream yang enak lho, nanti aku tunjukin.”
Mereka berdua dengan senangnya menghabiskan waktu di mall tersebut hingga malam, mereka juga sudah memakan ice cream yang tadi sempat dibicarakan oleh Randi. Hari ini merupakan hari yang istimewa untuk Randi, karena untuk pertama kalinya dia bisa menghabiskan waktu dengan perempuan yang dia suka. Diperjalanan pulang mereka masih banyak berbicara, Nana juga semakin erat memeluknya dari belakang.
“Eh ga kerasa yah, udah sampai terowongan lagi,” motorpun melaju memasuki terowongan.
“Padahal belum malem banget, tapi udah sepi yah di sini,” ucap Randi.
Ada hal aneh yang dirasakan oleh Randi, dia merasa bahwa terowongan ini tidak begitu panjang. Motornya pun dijalankan dengan kecepatan sedang, tetapi dia belum juga sampai di ujung terowongan.
“Na…ngerasa ada yang aneh ga?”
“Aneh? Apa yah?”
“Kok dari tadi kita ga keluar dari terowongan yah, padahal terowongan ini kan ga panjang lintasannya,” Nana tidak menjawab, suasana menjadi sangat sunyi. “Na?…Nana?” Randi melihat kebelakang, Nana tidak ada di jok belakang “apa dia jatoh yah?” Dia menepi, mematikan motor lalu berjalan mencari Nana. “Na?!…gelap banget sih,” dia membuka ponselnya, menyalakan fitur senter. “Na…Nana….,” Randi terus memanggilnya sambil menyoroti seisi terowongan. Tapi dia belum menemukannya hingga akhirnya dia mengambil langkah kecil untuk menelurusi terowongan, dia melihat Nana berdiri membelakanginya. “Na…dicariin ternyata kamu di sini,” Randi menghampirinya. “tapi kok kamu bisa ada di sini bukannya….,” ketika Nana hendak membalikan badannya dia mendengar suara klakson mobil yang menggema ke seluruh sisi terowongan.
“Oi! Jangan berdiri aja di sana, pindahin donk motornya! Mobil saya mau lewat!” ucap seseorang.
Randi yang reflek menoleh kebelakang melihat sebuah mini bus dengan cahaya mobilnya yang terang. Dia juga melihat motornya yang menghalangi laju mobil, di samping motornya ada Nana yang seakan-akan memintanya untuk segera datang kepadanya.
“Lho kok…Na?” Randi masih bingung dengan situasi yang dia hadapi.
“Nanti aja aku kasih tahu, sekarang naik ke motor ini mobil ngelakson melulu,” Nana memintanya untuk cepat naik.
Mereka berdua dan sebuah mobil mini bus itu pun keluar dari terowongan, setelah itu Nana baru bercerita kepada Randi. Bahwa tadi dia tiba-tiba menghentikan motornya lalu berjalan seperti orang yang tidak sadar. Nana mengaku sudah memanggilnya berkali-kali tetapi Randi terus saja berjalan meninggalkannya jauh. Keadaan depan rumah Nana sedang sepi, mungkin keluarganya sedang berada di dalam semua.
“Kamu, hati-hati yah. Jangan ngelamun,” ucap Nana merasa khawatir.
“Iya…duh maaf banget yah soal tadi,” Nana tidak mempermasalahkannya.
Sebelum pamit Randi menitipkan salam untuk keluarga Nana yang berada di dalam, lalu dia pulang menuju rumahnya.
“LAIN KALI…YAH LAIN KALI…TADI KAMU SANGAT BERUNTUNG BISA LOLOS,” gigi-gigi tajam Nana keluar semua. Matanya sangat tajam, raut wajahnya dipenuhi rasa kecewa.