“Jangan terlalu dekat dengannya, dia bukan Nana yang kita kenal,” begitu isi pesan dari Desi. Rasti yang menerima pesan ini lantas menaruh curiga kepada Desi. Tetapi dia tidak membalasnya, Rasti ingin menanyakan langsung apa maksud pesan yang dikirim oleh Desi.
Rasti tidak menjawab pesannya hingga Desi masuk sekolah kembali selang beberapa hari kemudian, berarti sudah seminggu dia tidak sekolah. Perilakunya menjadi semakin aneh dan berbeda, dia lebih sering murung dan lebih tertutup sikapnya dibandingkan sebelumnya. Rasti menjadi semakin curiga melihat tingkahnya yang seperti itu, dia belum menanyakan tentang pesan yang dia terima. Saat pulang sekolah, Rasti melihat Desi yang sedang sendiri berjalan cepat keluar dari kompleks sekolah. Saat dia merasa situasi sudah aman, dengan Nana pulang duluan dengan Randi. Rasti mengejar Desi hingga akhirnya dia berhasil menangkapnya.
“Des…Des…tunggu dulu,” pegangan tangan Rasti dilepasnya. “Des…aku…,” Desi perlahan menjauh. “aku juga ngerasa kalau Nana jadi beda!” dengan suara yang sedikit tinggi. Desi pun terdiam, dia membalikan badannya lalu menghampiri Rasti dengan cepat.
Desi memastikan bahwa tidak ada Nana disekitarnya, “Jangan di sini, kita ngobrolnya di tempat lain,” Rasti pun mengangguk tanda setuju.
Mereka berdua memutuskan untuk membicarakan hal ini di sebuah café, cuaca di luar sedikit mendung. Mereka berdua kompak memesan susu coklat hangat. Walaupun berada di dalam café, Desi masih berpenampilan seperti orang mencurigakan dengan menutup kepalanya dengan tudung dari jaketnya.
“Des, buka dong tudungnya. Liat ini orang-orang pada ngeliatin kita tahu,” Rasti memaksa.
“Iya….,” jawabnya pelan sambil membuka tudung jaketnya. Desi langsung menuju inti pembicaraan. “oh iya tadi maksud kamu apa? Kamu ngerasa Nana jadi beda?”
Rasti sedikit ragu-ragu menjelaskannya, dia memutar-mutar sendok dalam gelasnya. “Gini…hmm…gimana yah jelasinnya, aku kan sebangku sama dia, pasti taulah gimana sifat Nana tuh,” berhenti memutar-memutar sendoknya. “bisa aja sih sikap orang berubah, tapi kalau kaya Nana kok jadi aneh. Maksud aku dia ga pecicilan ke cowok, ya ke Randilah masa jadi begitu,” Rasti melanjutkan ceritanya lagi.
Banyak hal yang berubah, seperti Nana yang selalu terlihat bosan saat pelajaran berlangsung. Padahal dia sangat fokus sebelumnya, bahkan selalu mencatat hal-hal yang dikiranya bisa menambah pengetahuannya dalam pelajaran. Untuk sikapnya yang ceria dan aktif Rasti sangat senang melihatnya, Nana menjadi sosok yang mudah bergaul hanya saja dia melihat bahwa Nana yang sekarang bukanlah Nana yang selama ini dia kenal.
“Oh iya, aku masih penasaran yang waktu itu,” tanya Rasti.
“Penasaran kenapa?”
“Waktu itu, habis aku jemput Nana dari toilet. Kamu kan tiba-tiba teriak histeris waktu liat Nana. Emangnya kamu liat apa sih?” Desi tidak menjawab, dia menundukan kepalanya. Matanya juga tidak berani untuk menatap Rasti. “ayo donk kasih tau, soalnya habis kejadian itu kamu selalu menghindar dari Nana,” tambahnya.
“Itu….,” sangat berat untuk dikatakan. “tapi jangan kasih tau yang lain yah, janji?” matanya menatap mata Rasti dengan tatapan dalam. Rasti pun setuju. “jadi dibadannya itu ada sosok…sosok perempuan, bajunya hitam panjang, mukanya ketutup semua sama rambut,” Rasti menjadi tegang. “aku sih udah biasa ngeliat hal kaya begitu, tapi…aku bener-bener takut waktu tiba-tiba ada mata yang ngintip dari balik rambutnya. Semuanya putih, besar…,” Rasti memotong saat Desi lagi bercerita.
“Tunggu, ada di badan ini maksudnya gimana Des? Dia dirasuki gitu?”
“Engga…dia nempel dipundaknya. Jadi sosok ini dibawa sama Nana kemana-mana, mungkin karena badannya cuman setengah jadi Nana kaya yang biasa aja engga berat bawanya,” Rasti tidak sanggup berkata, sedangkan Desi bercerita seolah-olah hal ini biasa dilihatnya. “tapi, kadang-kadang….,” Desi pun terdiam.
“Des?…,” tanya Rasti, muka Desi mendadak menjadi sangat pucat, matanya melotot. Tangannya menggenggam erat kedua tangan Rasti, lama kelamaan Rasti merasakan bahwa telapak tangan Desi basah. “Des? Ih kenapa sih?…,” Rasti menjadi panik.
Kemudian Desi menarik Rasti keluar dari café tersebut, dia membawanya pergi jauh. Dilihat dari belakang, terlihat jelas raut wajah Desi sangat ketakutan. Rasti tidak mengerti apa yang telah dialami oleh temannya itu. Desi pun berhenti, lalu pamit untuk pulang secara tiba-tiba. Saat Rasti ingin menanyakan yang terjadi, Desi malah berlari menjauhinya.
Orang-orang berkerumun di sekitar terowongan, asap putih mengepul dari dalam. Seorang anak sekolah mengalami kecelakaan hebat di dalam terowongan, motornya rusak parah sampai mengeluarkan asap. Bagian kepala dan leher tertutupi oleh darah. Tidak lama kemudian datang ambulans untuk membawa anak muda itu ke rumah sakit, walaupun terlihat mengenaskan tetapi anak muda ini masih hidup.
Mira yang biasanya berada di ruang tengah untuk menonton televisi sekarang berada di kamar, dia bergetar hebat sambil menutupi dirinya dengan selimut. Orang tuanya mengirim pesan bahwa mereka akan pulang sedikit telat karena ada pekerjaan yang masih dikerjakan. Kakaknya yang baru datang tadi berada di dapur, dia membuat suara yang sangat gaduh.
“Mah…Pah…cepet pulang…ade takut…,” menangis sambil bersembunyi dibalik selimut.
Sementara itu saat Rasti baru sampai rumah, dia mendapatkan pesan dari grup chat kelasnya bahwa Randi mengalami kecelakaan dan sekarang sedang dirawat di rumah sakit. Mengetahui hal ini dia langsung menghubungi Nana, untuk mengecek keadaannya sekarang. Karena hanya dia satu-satunya yang tidak merespon di grup chat kelasnya.
“Kok ga diangkat-angkat sih,” Rasti mulai khawatir. “duh ini KM juga bilangnya Randi kecelakaanya sendiri, tapi Nana ditelpon ga diangkat. Coba aku telpon adiknya,” kebetulan Rasti mempunyai kontak adiknya Nana karena pernah menghubunginya ketika memberitahu bahwa Nana berhalang masuk sekolah. “nyambung nih…,” menunggu jawaban dari Mira.
Mira mengangkat teleponnya, namun suaranya sangat lirih seperti orang habis menangis. “Ka….Ka Nana….,” mendengar jawaban seperti itu Rasti menjadi sangat khawatir.
“De…kenapa?…De Mira?” sambungan telepon langsung terputus.
“Sutttt….adik manis, kan kakak sudah bilang waktu itu. Jangan bilang-bilang yah….,” Nana tiba-tiba sudah berada di kamar Mira, dia membuka selimutnya dengan mudah lalu mematikan ponsel adiknya itu.