Sehebat-hebatnya warga perumahan Nana menutup-nutupi kejadian itu, akhirnya rumor semakin kencang berhembus bahwa terowongan yang seringkali dilewati warga itu angker dan sering mengakibatkan kecelakaan. Padahal kejadiannya hanya terjadi dua kali, namun terowongan itu sudah dicap angker. Untuk mencegah terjadinya kejadian selanjutnya, para warga sepakat untuk menambahkan dua lampu berukuran besar di atas lorong. Dan mengganti lampu kecil berwarna kuning yang sudah terpasang sebelumnya.
Belum lagi ada kabar burung yang menyebutkan di terowongan itu ada sebuah siluman yang suka meminta tumbal manusia, warga pun semakin enggan untuk melewati terowongan itu pada malam hari. Pengerjaan pemasangan lampu dikebut dalam waktu satu hari, kini orang yang ingin melewati terowongan dapat dengan jelas melihat isi terowongan tersebut. Hanya sedikit bagian yang gelap.
Siang itu waktu istirahat di sekolah, kini Nana lebih suka berkumpul dengan kakak kelasnya yang terkenal gaul disekolahnya. Dia pun jarang sekali terlibat pembicaraan dengan Rasti, padahal dia adalah teman sebangkunya.
“Duh…gimana nih Des, Nana makin parah aja,” gelisah melihat tingkah laku temannya.
“Aku juga bingung Ras, dia semakin terbuka gitu. Ga takut apa kalau rahasianya aku bongkar,” ucap Desi.
“Emang kamu berani?” Desi pun menggelengkan kepalanya. “Hmmmm…., tapi makasih yah kamu akhirnya mau bantu aku buat ngusir sosok yang nempel di badan Nana.”
“Dia juga kan temen aku Ras, aku juga ga bisa ngebiarin kamu bertindak sendiri gitu. Kalau ada apa-apa gimana?” Desi mengambil sebuah buku kecil dari saku jaketnya. “daripada kita bingung mulai dari mana, coba kita inget-inget lagi. Kapan Nana mulai berubah.”
Kejadian pertama tepat sebulan lalu ketika secara tiba-tiba Desi berteriak di dalam kelas saat melihat Nana masuk dari toilet. Dari situlah Nana mulai bersikap aneh, menjadi pribadi yang supel bahkan centil kepada teman laki-laki dikelasnya terutama ke Randi. Lalu mereka juga mengamati kebiasaan Nana yang sebelumnya memakai earphone untuk mendengarkan musik sebelum masuk kelas dan saat pulang sekolah. Walaupun sepertinya tidak ada efek yang signifikan tetapi kebiasaan Nana yang paling terlihat itu mereka catat. Desi juga menambahkan perkataan Nana yang menyebutkan tidak suka bau perempuan, lalu mereka mengaitkan dengan kecelakaan Randi di terowongan.
“Apa jangan-jangan?” mereka saling menatap.
“Jangan-jangan apa?” terdengar suara Nana dibelakang mereka.
“Na….,” Rasti buru-buru menutup buku kecil yang berisi catatan-catatan. Nana tidak sendiri, dia bersama temannya. “engga kok, ini aku sama Desi…,” Nana memotongnya.
“Ya…aku tau kok, palingan obrolan ga penting. Udah yah aku tinggal dulu,” teman-temannya pun tersenyum sinis melihat Rasti dan Desi. Diantaranya kumpulan temannya ternyata ada seorang laki-laki.
Mereka pun khawatir kalau laki-laki itu akan menjadi korban selanjutnya, mereka ingin sekali memberitahu tetapi ada daya mereka tidak bisa. Kemungkinan besar orang-orang tidak percaya dengan apa yang mereka katakan, belum lagi tidak adanya bukti. Walaupun Desi pernah menyaksikan Nana mengancamnya namun semuanya belum cukup.
“Kita ga punya waktu banyak nih, gimana kalau dia jadi….,” Rasti mulai panik.
“Tenang Ras, dia ga akan ceroboh kaya gitu. Liat aja Randi…,” keadaan mulai tenang. “soal terowongan, gimana kalau kamu anter aku ke sana. Aku mau lihat ada apa aja di sana,” Rasti pun setuju. Mereka akan melakukannya sepulang sekolah.
Suasana sekolah masih ramai, banyak murid yang baru keluar kelasnya. Sedangkan Rasti dan Desi berdiam dulu di kantin sekolah, menunggu sekolah sepi. Menurut penglihatan Rasti sekilas, dia melihat Nana pulang bersama teman-temannya yang baru. Namun Rasti belum yakin apakah Nana langsung pulang atau pergi ke tempat lain terlebih dahulu.
“Udah sepi nih, ayo berangkat,” ajak Desi.
Mereka menaiki angkutan umum, dan berhenti tempat dipersimpangan. Jika jalan sebentar maka sebuah terowongan besar akan terlihat dari jauh. Rasti sempat terkejut karena terowongannya kini menjadi sangat terang. Lalu mereka mulai berjalan mendekati terowongan, saat di ujung Desi mulai gemetaran. Keringat deras meluncur dari kepalanya, dia memegang erat lengan Rasti.
“Kamu ga apa-apa Des?”
“Iya, tenang aja. Aura negatifnya kenceng banget di dalem,” tubuhnya masih gemetaran.
Dengan langkah kecil mereka mulai masuk, Desi melirik tanpa menggerakan kepalanya. Matanya membesar, mungkin dia melihat sesuatu yang menyeramkan. Kemudian Desi terdiam, sama sekali tidak bisa melangkahkan kakinya.
“Des…des kenapa?” tanya Rasti takut.
“Bawa…bawa aku keluar Ras,” tiba-tiba saja Desi bergelagat seperti orang yang ingin muntah, dengan cepat Rasti menarik Desi keluar. Saat sudah di luar Desi pun muntah, air matanya pun tidak terasa keluar deras.
“Des…des…kamu kenapa sih? Jangan buat aku takut….,” Rasti semakin panik.
“Eng…engga Ras, ga apa-apa. Di dalem tadi emang nyeremin banget, aku liat banyak potongan-potongan tubuh sama….,” Desi kembali muntah.
Aksi mereka berdua menarik perhatian pak Jamal, yang memang suka berdiam diri di sana mengatur lalu lintas.
“Neng kenapa? Sakit? kok muntah-muntah begitu?” Rasti menjelaskan bahwa temannya kecapean saja dan kurang istirahat.
“Oh iya pak, kok terowongannya jadi terang begini?” tanya Rasti penasaran.
“Oh ini….,” pak Jamal diam sebentar. “ya biar terang aja neng, sama kalau malem kan gelap banget takutnya dipakai yang engga-engga sama orang,” tertawa tapi memaksa agar terlihat sedang tertawa. “neng itu temennya bawa pulang, takut pingsan nanti,” mengalihkan pembicaraan.
“Tenang aja pak, ini kami berdua mau ke rumah Nana kok, iya kan Des?” Desi hanya mengangguk.
Sebenarnya tidak ada rencana untuk ke rumah Nana, ditakutkan Nana sudah pulang ke rumah. Dan mereka nantinya gerak-gerik mereka akan menimbulkan kecurigaan, tapi karena melihat kondisi Desi yang tiba-tiba sakit maka mau tidak mau Rasti harus membawanya ke rumah Nana. Dia berharap jika istirahat sebentar di rumah Nana maka kondisi tubuh Desi dapat membaik.
Suasana di depan rumah Nana sepi, namun terdengar suara televisi di dalam yang berarti sudah ada orang di rumah. Rasti pun memanggil Nana, beberapa saat kemudian adiknya yang bernama Mira keluar. Dia mengatakan bahwa kakaknya belum pulang, dengan begini tidak ada alasan untuk berdiam diri di rumah Nana jika orang rumah saja tidak tahu kapan pastinya Nana pulang. Sebelum Rasti pergi Mira meminta mereka untuk masuk sebentar, ada yang ingin dia bicarakan.
“Ras…adiknya Nana kok cuman sendirian di sini? Orang tua nya mana?” karena Nana jarang sekali bercerita soal keluarga maka Desi tidak mengetahui bahwa kedua orang tua Nana bekerja. Adiknya sudah terbiasa tinggal sendiri, lagipula ada tetangga yang siap membantunya.
“Mira mau ngomongin apa? Kok kaya yang takut begitu mau ngomongnya…,” air putih sudah disediakan di depan mereka. “ga apa-apa kok, cerita aja yah,” mencoba meyakinkan Mira.
“Kak….Ka Nana….,” tiba-tiba Mira menangis, Rasti langsung memeluknya. “ka Nana kak….dia bukan kakak aku…,” sontak penyataan ini membuat Rasti dan Desi bingung.
Ternyata setelah Mira sudah agak tenang, yang dia maksudkan adalah Nana menjadi pribadi yang sangat berbeda. Bahkan Mira pun sampai tidak mengenali kakaknya lagi. Mira juga memberitahu bahwa di suatu malam dia melihat mulut kakaknya bermuluran darah, dan masih ada sisa-sisa daging yang menempel dimulutnya. Baru saja Rasti ingin mengetahui cerita lainnya, tiba-tiba Nana datang. Mereka bertiga tidak menyadarinya.
“Ade! Kamu kan masih kecil, kok ngobrolnya sama temen kaka. Udah sana!” dengan nada yang agak tinggi. Mira pergi dari ruang tamu sambil menunduk, dia tidak berani menatap wajah kakaknya. Lalu Nana duduk, menanyakan maksud kedatangan dua temannya kerumahnya. “kalian, kok ga bilang-bilang sih mau ke rumah? Oh iya mau ngapain yah?” suasana menjadi tegang.
“Na, jadi….,” Nana menunduk, lalu dia tertawa dengan keras.
Saat dia menaikan kepalanya, kedua matanya sudah memutih, kulitnya sangat pucat, urat berwarna biru terlihat jelas dilehernya. “Ya…aku sudah tahu maksud kedatangan kalian berdua di sini,” Rasti dan Desi sangat kaget, apalagi Rasti. Dia belum pernah melihat Nana seperti ini. “harusnya aku membereskan kalian berdua terlebih dahulu,” Nana tersenyum lebar, giginya sangat tajam. Rasti dan Desi masih belum bisa berbicara, mulut mereka seakan-akan terkunci. Tubuh Rasti semuanya bergetar, air mata turun dari kedua matanya. “ah….jangan menangis…aku belum melakukan apa-apa…,” karena waktu sudah malam terdengar kedua orang tua Nana datang. “untuk kali ini aku biarkan kalian, namun jika sekali lagi kalian berani mencampuri urusanku. Maka tempat kalian berada akan lebih buruk dari Randi!”