“Ehm, ehem…!” terdengar Yati mendehem beberapa kali. Tapi tetap terasa sesak. Bahkan terasa semakin sesak. Nafasnya mulai memburu.
Terasa sakit mendera kerongkongannya. Peluh bercucuran. Lututnya saling beradu tak kuat menahan beban tubuhnya yang goyah akibat batinnya yang dilanda ketakutan yang sangat.
“Yatiiiiiii……” ujar sosok itu pelan.
“Iy…iyyy…iyyaaa….” jawab Yati terbata-bata.
“Jhanghan khau dhekhathi dokter Andriiiiii…..dhiaahhhh…..mhilikhuuuuh….” ujar sosok itu mengancam. Terlihat tangannya yang kurus, putih dan pucat mengacungkan jari padanya. Kuku-kukunya yang runcing dan hitam terhunus mengerikan. Dan dari jari-jari yang terulur itu, menguarkan bau yang sungguh membuat mual. Tampak kulit yang sudah setengah terkelupas menunjukkan daging dalam yang membusuk. Terlihat tulang-tulang mulai bercuatan dari sela-sela tangan yang terulur mengacung padanya.
“Jhikhaaa….khau bherhanhi mhacham…mhachammm…..thungghulhaaah bhalhasankhuuuh….hihihihihi…..hihihihiiiiii”
Seolah ada daya magis yang luar biasa, bersamaan dengan diturunkannya jemari tangan busuk pucat itu, bersamaan dengan itu pula seolah-olah tubuh Yati dilolosi tulang-tulangnya. Terasa begitu lemas tak bertenaga. Dan saat jemari itu turun sempurna, ambruklah Yati bagai tubuh tanpa nyawa. Hanya matanya saja yang tetap terjaga. Namun tak ada kendali atas tubuhnya yang tergeletak begitu saja di lantai.
Tiba-tiba terlihat sosok itu terbang tinggi. Tinggi. Tinggi sekali. Hingga akhirnya sosok itu lenyap dibalik langit-langit.
—
“Mbak! Mbak Yati! Mbak!” ucap Mbok Minah lembut.
“Kenapa tidur di lantai Mbak?”
“Puk, puk, puk!”
Seruan dan tepukan dari Mbok Minah kembali membangunkannya di pagi hari. Terlihat Mbok Minah berjongkok di depannya. Dari tangannya tercium aroma sabun lantai yang kuat. Sepertinya lagi ini Mbok Minah sedang mengepel, dan menemukan kondisinya yang tergeletak tak sadarkan diri di lantai.
“Iya Mbok.” ujar Yati seraya berniat mengucek kedua matanya. Tapi urung. Karena dirasakannya tangannya tak bisa digerakkan.
“Jam berapa ini Mbok?” tanya Yati lemah. Masih dirasakannya lemah pada tubuhnya. Mungkin akibat semalaman tidur di lantai.
“Hampir setengah tujuh Mbak.” ujar Mbok Minah seraya melihat jam dinding.
Yati kaget. Tak disangkanya ia pingsan begitu lama. Atau mimpi? Entahlah. Ia sendiri masih ragu menyatakan itu mimpi atau nyata.
“Astaghfirullah…..” ujar Yati kaget. Diliriknya jendela yang berhasil menyusupkan sinar matahari yang hangat.
“Aku belum sholat subuh Mbok.” ujarnya seraya mencoba bangkit.
Namun tak bisa. Usahanya sia-sia. Tubuhnya sama sekali tak bisa digerakkan. Dirasakannya sekujur tubuh seolah-olah lumpuh. Tidak bertenaga sama sekali. Terasa kaki dan tubuhnya tak bertenaga. Bahkan ia sama sekali tak bisa merasakan seluruh persendian nya. Terasa kebas dan tebal.
“Mbok…..aku lumpuh Mbok. Aku cacat Mbok…” ujar Yati seraya terisak-isak.
Mbok Minah penasaran. Disentuhnya tangan dan kaki Yati yang tergeletak. Dingin. Begitu dingin. Tak dirasakannya sama sekali kehangatan dari sana.
“Astaghfirullah…. Apa yang terjadi Mbak?” tanya Mbok Minah cemas.
“Coba cubit tangan saya Mbok.” ucap Yati memohon.
Diulurkannya tangan tua itu pada kulit tangan Yati. Dicubitnya pelan.
“Gimana Mbak?”
Yati Menggelengkan kepala.
“Coba bagian yang lain Mbok!” pintanya sekali lagi.
Kali ini, tangan tua itu mengarah pada pinggang Yati. Dicubitnya kuat-kuat.
“Gimana Mbak?” tanya Mbok Minah pelan. Ditatapnya cemas Yati yang masih tergeletak tanpa tenaga.
“Nggak terasa Mbok. Tetap terasa kebas. Bagaimana ini Mbok?” ucap Yati dengan terisak.
“Tunggu sebentar Mbak. Saya panggilkan dokter dulu ya!” kata Mbok Minah seraya melangkah pergi. Meninggalkan Yati setelah sebelumnya telah dipindahkan ke tempat yang lebih baik.
—
Lima menit kemudian.
“Tok, tok, tok!” terdengar bunyi sepatu dokter Andri nyaring beradu dengan licinnya lantai.
Langkah dokter muda itu begitu cepat dengan diiringkan oleh pembantunya. Terlihat rona cemas dari keduanya.
“Mbak Yati!” ucap dokter Andri terburu-buru seraya memasang stetoskop pada telinganya.
“Iya dok. Maaf ya selalu merepotkan.”
“Nggak papa Mbak. Sudah tugas kami untuk membantu sesama.” ucap dokter Andri lugas.
Sesaat tampak dipandanginya tubuh Yati yang lemas tanpa tenaga. Keningnya berkerut.
“Maaf mbak ya. Saya buka sedikit. Nggak papa kan?” ujar dokter Andri seraya tersenyum, hingga sesaat tampak Yati tak lagi canggung.
Dia hanya mengangguk seraya mempersilakan dokter melaksanakan tugasnya.
Tangannya mulai memeriksa kondisi Yati yang dingin dan lemas. Dibukanya beberapa kancing baju Yati, hingga sesaat tampak rona merah menutupi wajah cantik itu.
“Dingin. Juga lemas. Tapi masih ada detak jantungnya. Ada apa dengannya?” gumam dokter Andri.
“Bagaimana dok? Apa yang terjadi?” tanya Mbok Minah cemas.
“Belum tahu persis Mbok. Sepertinya butuh pemeriksaan lebih lengkap. Pasti ada yang salah dengannya.” ucap dokter Andri seraya memeriksa bagian tubuh yang lain.
“Apakah ini penyakit serius dok?” tanya Yati cemas.
Sesaat tampak dokter Andri terdiam. Terlihat dia berpikir keras.
“Sepertinya tak bisa kalau ditangani sendiri.” gumamnya.
“Mbok. Siapkan beberapa baju untuk ganti. Kita bawa Mbak Yati ini ke rumah sakit. Mbak Yati mungkin harus menginap beberapa malam disana.”
“Sekarang Mas dokter?” tanya Mbok Minah perlahan.
“Iya Mbok. Bawa beberapa saja. Nanti biar ditangani dengan lebih baik. Peralatan disana tentu lebih lengkap dan lebih baik.” ucap dokter Andri tegas, seraya kembali menutup kemeja Yati yang tampak terbuka. Sementara Yati hanya pasrah saja pada apa yang akan mereka lakukan padanya.
—
Tak butuh waktu lama untuk persiapan. Apalagi memenag Yati kan sama sekali tak mempunyai apapun yang harus disiapkan. Akhirnya Mbok Minah hanya mengambil beberapa potong baju tidur di lemari besar sebelum akhirnya menyusul Yati dan dokter di mobil yang sudah menunggunya.
“Kita berangkat Mbok!”
“Bismillah.”
Mobil dilajukan begitu cepat. Beberapa kali dia menyalip kendaraan lain yang searah dengannya, hingga terdengar beberapa makian dari pengendara lain.
“Hoi! Bawa mobil yang bener dong!” seru seorang pengemudi.
“Hei! Pake otak dong kalo nyetir!” jerit seorang sopir angkot yang hampir terserempet kendaraannya.
Dan beberapa makian lain yang tak pantas didengarnya.
Dua puluh menit kemudian, setelah melalui beberapa makian dan teriakan, sampailah mereka di lobi rumah sakit tempat dokter Andri bertugas.
—
“Jadi, bagaimana dok?” tanya Andri pada rekan sesama dokter.
“Sepertinya kalau melihat dari hasil scan tad ada yang bermasalah. Semuanya bagus. Begitu juga dengan tekanan darah dan lain sebagainya. Tak menunjukkan gejala serius.” ujar dokter Sunyoto, salah satu dokter senior disana.
“Lalu, apa yang harus kita lakukan dok?” tanya dokter Andri cemas.
“Ya, kita tunggu saja. Sepertinya memang masih harus dilakukan sejumlah uji lab lagi.”
“Apa ada gangguan sarafnya?” ujar dokter Andri lagi.
“Bisa jadi juga. Yang penting sekarang kita usahakan semaksimal mungkin saja. Soalnya sepertinya ada yang aneh dengannya?” ujar dokter Sunyoto lagi, kali ini dengan senyum simpul.
“Ehm….aneh bagaimana maksudnya dok?” tanya dokter Andri tak paham.
“Ehm…ya…begitu. Sepertinya pasien kali ini benar-benar spesial. Ehm…apakah dokter merasakan sesuatu padanya?”
“Ah…perasaan seperti apa?”
“Ya…kan dokter Andri ini sudah sekian lama menjomblo. Terakhir calon istri dokter Andri mengalami sakit kan? Kalau tak salah tiga tahun lalu. Dan sejak saat itu seolah-olah hati dokter tlah mati. Tak ada tempat bagi wanita lain.”
“Tapi, sepertinya tidak dengan wanita satu ini.” lanjut dokter Sunyoto.
Dokter Andri sadar. Memang dirasakannya ada sesuatu yang lain didasar hatinya. Bahkan sejak pertemuan pertamanya saat kecelakaan itu. Dua bulan lalu. Dan rasa itu semakin lama terasa semakin besar saja. Apalagi jika pulang kerja. Harinya tak lagi sepi, karena kerap kali Yati menjadi teman ngobrol yang asik baginya. Entah sudah berapa lama dia tak mendapatkan teman ngobrol yang mengasikkan.
“Ehm…ngomong-ngomong, bukankah ini wanita yang tempo hari dokter bawa pulang setelah dirawat disini?”
“Iya dok. Benar.”
“Ctak!” bunyi ketukan jari tengah dan jempol dari dokter Sunyoto.
“Sudah kuduga!” ujar dokter setengah baya itu menegaskan, seraya tersenyum simpul penuh arti.