Pelet Hitam Pembantu episode 15

Chapter 15

“Apa kamu bilang Mbak?” ucap dokter muda itu menegaskan.

“Iya. Aku siap.” ucap Yati tak kalah tegas.

“Siap apa?” ujarnya seraya tertawa.

“Siap mematahkan sihir itu. Aku yakin, kita pasti bisa!”

“Aku siap menikah denganmu. Apapun resikonya.”

“Hah! Mbak Yati ini ngomong apa sih? Hati-hati Mbak kalau berbicara.”

Sesaat tampak dokter Ardi memicingkan mata. Mencari kebenaran atas ucapan wanita didepannya.

“Dokter jangan berpikir aku mau menikah dengan dokter karena ketampanan dan kekayaan. Aku tak butuh itu semua.” ucapnya lagi.

“Jadi? Untuk apa Mbak menikah denganku? Dengan resiko sebesar itu? Itu pemikiran gila.” ucap dokter muda itu dengan mata terpicing.

“Ingat Mbak! Pernikahan itu resiko besar. Mbak baru tinggal di rumahku saja sudah begini. Bagaimana kalau sampai kita menikah?”

“Tak masalah. Aku siap. Hitung-hitung balas budi. Toh selama ini aku sudah banyak berhutang budi denganmu dok. Dan aku rasa, kematianku toh nggak bakalan merubah apapun di dunia ini.” ucap Yati dengan mata menerawang. Terlihat tatap mata keputusasaan disana.

Dokter Andri berdiri. Sesaat didatanginya jendela.

“Itulah yang kumaksud Mbak. Mbak Yati ini mau menjadi pengantin saya hanya karena putus asa. Hanya karena patah hati.”

“Padahal bukan itu yang ku cari Mbak. Aku mencari orang yang benar-benar bisa menerimaku apa adanya. Dan akupun akan mencintai dirinya apa adanya.”

“Bukan sekedar orang yang memang tidak punya harapan hidup. Dan menikah dengan saya hanya buat pelarian saja.”

“Aku tak mau hal itu terjadi. Aku mau di pernikahanku nanti, hanya dengan orang yang mencintaiku. Dan akupun mencintainya.”

“Ya sudah Mbak ya. Mbak istirahat dulu saja. Mungkin dengan sedikit istirahat lagi, bisa membuat pikiran Mbak normal lagi.” ucapnya tertawa seraya berlalu. Membiarkan Yati termangu memahami ucapannya.

Sementara itu, jauh disudut kota, tampak sepasang suami istri yang tampaknya pengantin baru, sedang bercengkerama di senja yang indah. Keduanya berpelukan mesra di balkon seraya menikmati siraman cahaya mentari yang mulai surup di cakrawala.

“Mas….” ucap wanita itu, yang tak lain adalah Isma.

“Apa sayang? Kamu kangen kakakmu ya?” Vida suaminya, Arman.

“Hih. Najis! Sudah seneng begini ngapain mikirin perempuan itu. Nggak ada gunanya juga Mas.” ucap Isma dengan menggelayut manja pada suaminya.

“Ngomong-ngomong, Mas bisa nggak sih beliin hape baru buat aku?” rajuk Isma.

“Lho, bukannya hape kamu masih bagus ya? Aku lihat juga nggak ada masalah apa-apa kayaknya?” ucap Arman seraya mengambil hape yang tergeletak di atas meja.

“Bukannya gitu Mas. Ini kan hape lama. Hape jadul. Ini aja dulu dibeliin sama Mbak Yati waktu belum nikah sama Mas Arman. Berarti udah dua tahunan Mas. Memangnya Mas Arman tega lihat istrimu yang cantik ini pakai hape yang jadul begini? Aku aja suka malu loh Mas kalau ketemu tetangga.”

“Oh, gitu. Ya udah. Mau hape apa sih sayang?” ucap Arman sambil mencubit dagu istrinya manja.

“Ya apa aja. Yang penting kekinian Mas. Rencananya aku mau daftar jadi model nanti. Nah, kalau ketemu manajer hapeku jadul kan Mas yang malu juga. Iya kan?”

“Oh, gitu. Ya sudah nanti Mas beliin. Kebetulan masih ada sisa emas peninggalan mbakmu. Nanti Mas juak saja buat beli hape buat kamu.”

Isma pun tersenyum senang.

“Makasih ya Mas. Isma sayang deh sama Mas Arman.”

“Iya, iya. Tapi, ada syaratnya.” ucap Arman nakal.

“Kok pakai syarat segala sih Mas? Kan ini istrimu.”

“Tenang, syaratnya nggak bakalan bikin kamu susah kok. Malah enak.” ucap Arman lagi seraya mengerlingkan mata kanan.

“Apa Mas?”

“Ituuuu….” ucap Arman seraya menunjuk dengan ujung bibirnya.

“Ih, Mas Arman nakal ya.”

“Yuklah.”

Masuklah dua sejoli itu ke kamarnya dan mulai memadamkan lampu.

“Mbak, kok masih melamun saja sih. Sabar aja Mbak. Setiap penyakit pasti ada obatnya kok.” ujar Mbok Minah pada Yati yang masih termenung sambil memandang kejauhan.

“Mbok. Kadang aku berpikir hidup ini nggak adil ya?”

“Huss! Istighfar Mbak. Nggak adil bagaimana? Setiap orang itu sudah sesuai ketentuannya. Sudah ada jalannya masing-masing.” ucap Mbok Minah seraya mengurut-urut kaki Yati supaya darah tidak beku akibat lama tidak digerakkan.

“Tapi, kok ada orang yang seumur hidupnya susah terus seperti saya?”

“Dari kecil dulu, sepertinya sedikit sekali aku tersenyum Mbok.”

“Bagaimana mau tersenyum? Ambu meninggal saat aku masih belia. Lalu Abah menikah lagi. Dan ibu tiriku sama sekali tak menaruh sedikitpun rasa sayang. Pukulan dan bentakan selalu mengisi hari-hariku. Sementara Abah, tak bisa berbuat banyak. Penyakitnya membuatnya tak bisa banyak bekerja. Dan sehari-hari hanya mengandalkanku yang bekerja sebagai buruh cuci. Itu diusia tak lebih dari sebelas tahun Mbok.”

Di usia dua belas tahun, Abah meninggal. Aku terusir dan sempat hidup di jalanan Mbok. Untung ada saudara jauh Abah yang akhirnya mau menampung ku.”

“Namun, hasutan licik ibu tiri membuatku kembali terusir Mbok. Tak kurang dari tiga bulan, kembali aku hidup dengan serabutan, hingga akhirnya berhasil bekerja di sebuah warteg.”

“Sedikit demi sedikit hasil kerja kutabung. Lalu, saat usiaku empat belas aku bersekolah kembali hingga akhirnya bisa tamat SMA. Dan karena kebaikan bapak warteg, aku masih bisa kuliah sembari tetap bekerja di warteg beliau.”

“Namun, lagi-lagi ada saja tingkah ibu tiriku. Aku dituduh mencuri sejumlah uang milik beliau. Dan hal itu dilakukan didepan orang banyak. Sepertinya sengaja ibu tiriku memperlakukanku.”

“Lalu?”

“Yah. Bapak warteg nggak mau ikut campur. Dan akhirnya aku sempat dijebloskan ke dalam penjara. Untung hal itu tak berlangsung lama Mbok. Seorang polisi muda berhasil membongkar kejahatan ibu tiriku. Hasil akhirnya, aku dibebaskan. Dan lewat polisi muda itu, aku dipekerjakan disalah satu perusahaan rekanannya.”

“Di sanalah aku bertemu suamiku, Arman. Orangnya baik, royal, dan romantis. Tiga bulan berkenalan, akhirnya kami menikah.”

“Tak lupa kuundang ibu tiriku juga untuk turut hadir.”

“Tapi disitulah timbul kebodohanku. Ibu tiriku menyuruhku untuk mengajak adik tiriku itu tinggal bersama kami, hingga akhirnya dia dan suamiku menendangku dari rumah kami. Rumah yang kubangun dengan susah payah harus kurelakan untuk suamiku dan adik tiriku Mbok.”

Tak terasa air mata menetes kembali. Mbok Minah pun terlihat berkaca-kaca.

“Ya sudah Mbak ya. Jangan diingat-ingat lagi.”

“Ingat. Gustiallah itu nggak buta. Nggak tidur. Satu saat nanti pasti akan ditunjukkan kuasanya.” ucap Mbok Minah tabah.

“Makasih ya Mbok.”

Ingin rasanya dirinya memeluk wanita tua itu. Tapi apalah daya. Jangankan untuk memeluk, menggerakkan jari-jemari saja ia tak mampu.

Tampak sesaat Mbok Minah mengusap air matanya, kemudian berkata,

“Mbak….”

“Apa Mbok?”

“Bagaimana kalau sakit Mbak ini disare’atin aja.”

“Maksudnya Mbok?”

“Ya gitu. Dibawa ke orang pintar saja. Daripada lama-lama disini tapi nggak ada perubahan.”

Sesaat Yati terdiam. Tampak menimbang-nimbang.

“Bagaimana?” ulang Mbok Minah.

“Kalau aku sih mau saja Mbok. Tapi coba Mbok bilang dulu ke dokter Andri. Barangkali beliau punya pertimbangan lain.” ucap Yati. Bagaimanapun dia tak mau dianggap lancang. Dokter Andri adalah penanggungnya saat ini.

“Justru tadi waktu Mbok berpapasan dengannya dan mengatakan hal ini, dokter bilang terserah Mbak Yati saja. Sepertinya beliau oke.” ucap Mbok Minah lagi.

“Kalau begitu, saya juga oke Mbok.”

“Baiklah. Nanti Mbok bilang ke dokter Andri untuk mengatur waktunya.” ucap Mbok Minah tersenyum senang. Terlihat tiba-tiba gembira dari wajah tuanya.

“Sudah makan belum Mbak?”

“Belum Mbok.” ucap Yati malu.

“Ya sudah. Ayo makan dulu. Kebetulan Mbok bawakan makanan dari rumah. Lebih enak daripada makanan rumah sakit yang hambar.” ucap Mbok Minah lagi.

“Makasih ya Mbok.” ucap Yati terharu. Sungguh beruntung ia dipertemukan dengan orang-orang baik seperti mereka.

Alhamdulillah ya Allah.


Pelet Hitam Pembantu

Pelet Hitam Pembantu

Status: Completed Tipe: Author: Dirilis: 2021 Native Language: Indonesia
Sekonyong-konyong sebuah tas pakaian besar sarat isi menimpa tubuh mungil wanita berambut sebahu itu. Tak dikancingkannya retsleting dengan benar, hingga sebagian isinya berhamburan keluar."Aduh!"Wanita itu urung menutup wajah dan tubuhnya dari lemparan tas besar, hingga sempat mengenainya dan membuat tubuhnya tampak sesaat limbung, dan kemudian terjatuh duduk dengan lutut menghantam aspal jalanan.Penasaran dengan kelanjutannya? yuk segera simak cerita dibawah ini.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset