Arman masuk. Heran dilihatnya kamar dalam keadaan berantakan. Terlebih dilihatnya baju Isma juga dalam keadaan tercecer di lantai.
“Sayang. Apa yang kamu lakukan tadi?”
“Mas kayak nggak tahu aja deh. Aku tuh….” ucap Isma tertahan dengan menggigit bibir bawah.
“Sudah nggak tahan ya? Kan Mas cuma pergi sebentar.” ucap Arman seraya menarik selimut dari tubuh istrinya, hingga terlihat pemandangan yang membuat sekujur tubuh Arman panas dingin.
Namun tak disangka, disaat yang sama, tiba-tiba terdengar sebuah bunyi. Seperti nada dering dari sebuah hape. Tapi hape siapa? Karena setahunya suara hape Isma tak seperti itu.
“Bunyi apaan sayang?” ucap Arman penasaran.
“Ah, biarin aja sih Mas. Paling juga bunyi hapeku.” ucap Isma mengalihkan perhatian. Ia tahu betul kalau bunyi itu nada dering dari pria di kolong ranjang.
“Sayang. Nggak mungkin dong hape kamu. Hape kamu kan barusan Mas tukar tambah dengan hape baru.” ujarnya dengan pandangan menyelidik.
“Ah…ah…iy…Iyya. Iya. Mana hape baru aku Mas?” ucap Isma tergesa-gesa. Ingin agar persoalan suara hape itu segera dilupakan Arman.
“Nggak! Katakan! Suara hape siapa itu?!” ucap Arman tegas. Kecurigaannya bertambah. Apalagi melihat reaksi Isma yang tak seperti biasanya.
Arman semakin penasaran. Dicari lah asal muasal bunyi tersebut.
Sekujur ruangan diperiksa. Dari lemari, kamar mandi, hingga balik hordeng. Semua diperiksa. Namun hasilnya nihil.
Sementara itu dilihatnya Isma sibuk dengan hape barunya.
“Brett!”
Tiba-tiba Arman merebut paksa gawai itu dari tangan istrinya.
“Katakan Isma! Suara hape siapa itu?” hardik Arman marah.
“Sudah aku bilang Mas. Aku nggak tahu sama sekali soal hape itu. Sungguh Mas!”
Arman kehabisan kesabaran. Diangkatnya tangan tinggi-tinggi.
“Sekali lagi Isma. Katakan terus terang! Apa kau menyimpan lelaki lain disini?” ucap Arman seraya menjambak rambut Isma.
“Aku nggak tahu Mas. Sungguh. Aku nggak tahu apapun Mas.” Isak Isma ketakutan.
“Aku tahu kamu pasti bohong. Dasar wanita sialan!”
“Plakkk!”
Sebuah tamparan telak mengenai pipi Isma hingga mengaduh kesakitan. Tampak darah menetes dari hidungnya.
“Mas! Kenapa kamu jadi jahat begitu?!”
“Kau katakan aku jahat? Katakan, siapa pemilik suara itu?! Katakan Isma!” ujar Arman dengan mata memerah. Ia tahu istrinya telah membohonginya.
“Sudah aku bilang Mas! Aku nggak tahu.”
“Brakkkk!” dilemparnya tubuh telanjang Isma ke ranjang hingga tubuhnya terpelanting.
Terlihat Isma merintih menahan sakit.
Arman segera mendekati kembali istrinya. Ditariknya batang leher wanita itu hingga mendekat dan tercekik kesakitan.
“Sekarang, katakan sekali lagi. Siapa pria itu? Atau kau akan kubunuh saat ini juga!” ucap Arman seraya bersiap untuk mencekik lsma.
“Hekhekhkh…”
“Ampuuun Maaaassss…” ucap Isma tertahan, karena cekikan kuat di lehernya.
Tiba-tiba, tepat sebelum cekikan itu menghabisi nyawa Isma, dari balik ranjang terdengar suara,
“Stop! Cukup! Lepaskan dia!”
Arman kaget. Dia menoleh pada sosok yang barusan bersuara.
“Wi…Wisssnu? Kau Wisnu? Bagaimana kau bisa ada disini?” ujar Arman kaget. Sama sekali tak diduganya akan bertemu sobat lamanya disini. Di kamarnya. Ruang privasinya.
“Jangan kaget. Biasa saja. Iya. Ini aku. Sobat lamamu. Kamu masih ingat kan?”
“Tapi, mengapa kau ada disini? Di kamarku?”
“Jangan-jangan…. Kalian…argh!!” ujar Arman geram. Rahangnya menggembung.
“Iya. Ini aku. Dan itu istrimu bukan?” ucap Wisnu tenang.
“Dan soal kami? Ya, kami barusan ber…ehm…ehm….kau pun tentu tahu kan bagaimana tabiat istrimu?” lanjutnya lagi seraya tertawa mengejek.
“Istrimu itu hot Arman. Tak mungkinlah kau tak tahu itu bukan? Sungguh beruntung aku bisa sedikit merasakan kehebatannya. Hehehehe…” ucapnya lagi seraya melirik Isma.
Isma meradang. Tak terima dengan ucapan Wisnu.
“Mas Wisnu?! Apa yang kau katakan?!”
“Bohong dia Mas. Dia yang mengancam ku!” ujar Isma geram seraya mendekati Arman suaminya.
“Bohong apa? Kau katakan tadi kamu merindukanmu bukan? Dan harus butuh bukti apalagi? Kau lihat Arman? Tak mungkin kan dia akan sebinal itu? Melepaskan baju sendiri tanpa ada orang lain? Dia masih waras Man. Nggak gila.”
“Jangan terlalu naif kawan. Istrimu ini memang bukan cuma cantik. Tapi juga menarik. Dan….hot! Hahahaha…”
“Kurang ajar kau Wisnu!” ucap Arman seraya meninju bibir Wisnu hingga terjungkal.
Wisnu tak melawan. Ia cepat bangkit dan mengelap bibirnya yang basah oleh darah.
“Kau marah kawan? Ini kebenaran. Kau terlalu naif. Apa masih butuh bukti lagi?” ujarnya seraya mengambil gawai dan memutar video yang direkamnya tadi bersama Isma.
“Arrrrrrghhh!” geram Arman saat dilihatnya adegan Isma yang sedang memadu kasih dengan sobat lamanya itu.
“Dan aku yakin bukan hanya denganmu saja dia melakukannya. Ia terlihat sudah cukup lihai.”
“Cobalah kau tanyakan padanya. Sudah dengan berapa lelaki dia bercinta?” ujar Wisnu enteng seraya memunguti pakaiannya dari bawah ranjang.
“Benar Isma? Benar yang dikatakannya?” bentak Arman keras. Tangannya terkepal.
Isma menunduk dalam. Bibirnya bergetar.
“Jawab Isma! Sudah berapa banyak sahabatku yang kau goda? Dasar perempuan murahan! Menyesal aku menikahimu!”
“Plakkk!” kembali tangan kekar Arman menghajarnya. Namun kali ini ditahan oleh Wisnu.
“Cukup kawan! Cukup!”
“Benar kau tak lagi menginginkannya? Menginginkan kehangatan wanita secantik dia? Pikir dulu kawan!”
“Atau…. biarlah dia akan kubawa pulang. Lumayan. Hehehehe…”
“Bagaimana?” ucap Wisnu sambil mendekati Arman sahabatnya.
“Terserah kamu saja. Bawalah pergi sejauh mungkin. Aku sudah muak dengannya.” ucap Arman marah. Tak dipedulikannya lagi kondisi Isma yang tergeletak di pojokan.
“Isma! Mulai hari ini kau bukan lagi istriku. Kau kutalak saat ini juga!”
“Pergilah kau menjauh dariku! Jangan coba-coba dekati aku lagi!”
“Stop! Stop!” ujar Isma seraya bangkit dan berusaha berdiri tegak. Sesekali lututnya goyah namun ditahan agar tak sampai jatuh kembali.
“Apalagi Isma? Kau sudah kuceraikan. Pergilah kau. Kau bukan lagi istriku.” ucap Arman mengibaskan tangan. Terasa dingin dan datar.
“Oke. Oke. Aku terima jika kau ceraikan. Itu sama sekali tidak masalah buatku.”
“Tapi apa kamu lupa hai lelaki tua?” seru Isma nanar. Tangannya berkacak pinggang.
“Lupa apa?” ucap Arman tak menghiraukan ucapan Isma. Pandangan matanya jauh menerawang di balik jendela yang terbuka lebar.
“Kau lupa kalau rumah ini milikku?” ujar Isma lagi. Diambilnya sertifikat rumah dari lemari baju dan ditunjukkan pada Arman dan Wisnu.
“Ingat! Seluruh rumah dan harta yang ada disini adalah milikku. Kau tak punya apa-apa lagi. Ingat?!”
“Ini sertifikat rumahnya. Dan ini surat hibahnya. Masih kurang bukti?”
Arman tersudut mundur. Isma punya semua bukti yang menguatkan ucapannya.
“Kau mau pura-pura lupa kan? Ingat! Seluruh rumah ini adalah milikku. Catat itu!”
Ya. Tanpa sadar, seluruh aset yang ada telah dipindahtangankan pada Isma. Begitu besarnya cintanya pada Isma hingga apapun yang diminta telah diluluskannya. Dan kini…
“Nah Arman. Karena kau bukan lagi suamiku, silakan angkat kaki dari sini!” ujar Isma tegas.
“Dasar Bodoh!” rutuk Arman dalam hati. Dipukulkannya keras-keras dinding batu didepannya.
“Hai! Jangan marah-marah dong. Jangan sampai nanti kamu aku tuntut karena kasus pengrusakan ya.”
Arman bangkit dengan lesu. Dilangkahkannya kaki menuju lemari baju.
“Hei? Mau kemana kau wahai lelaki tua?!”
“Mau ambil baju.” jawab Arman lemah.
“Ingat! Seluruh rumah dan isinya adalah milikku. Termasuk semua isi lemarimu. Paham?”
Arman tak menjawab. Dia berhenti melangkah dan membalikkan badan.
“Nanti kau boleh ambil di tempat sampah depan jika berminat. Paham?”
“Ingat! Jam lima sore jadwal pengangkutan sampah. Jangan sampai terlambat!”
“Sekarang, pergi kau dari sini!” hardik Isma pada suaminya, yang ditanggapi tawa mengejek dari Wisnu.
Arman pun melangkah gontai keluar dari rumahnya. Rumah yang dibangun susah payah dengan Yati, kini harus diserahkan kepada orang lain dengan sukarela. Semua akibat kebodohannya.
—
Arman berjalan terseok-seok ditengah gelapnya malam. Tak disangkanya Isma akan tega mengusirnya dari rumahnya sendiri. Dan kini ia berjalan di tengah gelapnya malam. Tanpa bekal apapun. Dia pergi hanya dengan baju yang melekat di badan.
Tiba-tiba, disadarinya kelakuannya dua bulan lalu. Saat ia mengusir Yati dari rumahnya. Saat itupun ia tak pernah memikirkan kondisi Yati. Diusir sedemikian rupa hanya dengan bekal baju yang melekat di badan.
Dan ajaibnya, kini iapun terusir dari rumah yang sama. Dengan cara yang hampir sama.
“Yati…..bagaimana ya kini kabarnya?” gumam Arman seraya duduk di bangku taman.
Sempat didengarnya berita tentang seorang perempuan yang kecelakaan. Namun itu tak bisa mengusik hatinya untuk mencoba mencari tahu apakah saat itu Yati yang mengalaminya. Hatinya telah dibutakan oleh cinta semu Isma.
“Maafkan aku Yati…..” Isak Arman di tengah-tengah galaunya.
Lelah telah menguasai tubuhnya. Ditambah kesalnya hati membuat badannya berkali-kali lebih lemah dari seharusnya. Tak lama kemudian, ia pun tertidur pulas di taman.