“Hentikan acara pernikahan ini!” seru si wanita setengah tua. Tampak pongah ia menghadapi semua yang hadir. Sementara mereka saling berpandangan dalam bingung.
“Ibu?!” ucap dokter Andri seraya bangun dan menyambut tangan ibunya, mencium dengan takzim dan berkata,
“Ibu sudah datang Bu?”
“Hemm.” jawab Bu Medi pendek.
Matanya mengedar berkeliling. Dipegangnya pundak gadis berkerudung. Tampak tersenyum manis. Senyum yang selalu mengingatkannya akan sosok yang selalu dibanggakannya, dokter Sutawijaya, ayahnya.
“Laras? Ini kau kan dek? Kakak kangen banget sama kamu dek.” ucap dokter Andri seraya memeluk adiknya. Sementara adiknya pun sama.
“Iya kak. Aku juga kangen banget sama kakak. Hanya saja jarak yang jauh tidak mudah untuk ditempuh.” ucap Laras seraya tetap tersenyum.
“Kakak baik-baik saja kan?” ucapnya tulus.
“Iya dek. Kakak mau nikah. Ayo kuperkenalkan pada calon istriku.” ucap dokter Andri seraya menuntun adiknya, sementara gadis ayu itu menuruti saja ajakan kakaknya kalau saja ibunya tak melarangnya.
“Laras! Kamu tetap disini.”
“Jangan ikuti kakakmu!” ucap Bu Medi ketus.
“Tak ada lagi pernikahan ini. Semua batal! Bubarkan!”
Semua tamu berpandangan keheranan dan bingung. Tak ada yang berani bersuara. Termasuk juga Kong Bitun. Beliau tahu, ini adalah urusan rumah tangga. Tak layak baginya untuk turut campur.
“Tapi Bu?!” dokter Andri mencoba bernegosiasi.
“Kau tak layak menikah dengannya. Nggak level! Sudah ibu bawakan siapa yang pantas mendampingimu!” seru Bu Medi lagi.
“Siapa Bu? Siapa? Ibu sudah lihat kan yang dulu-dulu? Sudah tiga Bu. Irene. Amel. Maya. Sudah tiga Bu. Dan mereka semua tak ada yang selamat.”
“Mereka semua mati mengenaskan.” ucapnya lemah.
“Iya. Jika kau menikah disini. Tapi kau akan menikah di Amerika Ndri.”
“Dengan siapa Bu?”
“Lihatlah dia. Gadis cantik anak kenalan ibu. Cantik, pintar, sukses. Michelle namanya. Saat ini sedang meniti karir di Hollywood.”
“Sini Michelle. Kenalkan dengan calon suamimu!” ucap Bu Medi pada wanita seksi berambut pirang itu, yang langsung saja melangkah maju dan tanpa malu-malu langsung saja cipika-cipiki dengan dokter Andri. Senyumnya yang manis sama sekali tak canggung berhadapan dengan orang yang bahkan sangat asing baginya.
“Hai!” ucap Michella lagi. Masih dengan senyum terkembang seraya melepaskan pelukannya.
“H…h..hai juga!” ucap dokter Andri tergagap.
Dokter Andri terbengong dengan sikapnya. Ia yang lahir dan dibesarkan dengan cara timur tentu agak kurang sepakat dengan sikap gadis cantik itu.
“Sepertinya kalian cocok.” ucap Bu Medi senang.
“Nah, gimana Andri? Kapan akan melangsungkan pernikahan?”
Dokter Andri terdiam. Belum siap dengan pertanyaan itu. Semua diluar kendalinya.
“Bu. Apa ibu yakin dengan keputusan ibu? Tak takut dengan semua kejadian yang sudah menimpa? Ingat Bu! Dia masih ada.” ucap dokter Andri kembali.
“Tapi, itu kan kalau kau menikah disini. Iya kan? Coba kalau kamu menikah di Amerika sana? Apa masih berani mengganggu arwah-arwah gentayangan itu?”
“Tapi kan aku kerja disini Bu. Tidak mungkinlah aku menikah disana. Coba ibu pikirkan sekali lagi.”
“Tak ada negosiasi! Ridho Allah adalah ridho orang tua. Kamu paham Andri?”
“Kamu hanya akan menikah dengan gadis pilihan ibu. Titik!”
“Sekarang, semua pulang. Pernikahan ini batal!” ucap Bu Medi lagi dengan ketus.
Dokter Andri hanya menunduk. Bagaimanapun ia harus menjaga wibawa orang tuanya di depan khalayak. Ia tak ingin mempermalukan beliau sebagai anak yang melawan orang tua.
Dokter Andri menatap Yati yang masih syok dengan kejadian itu. Sungguh tak ada yang menduga bahwa kejadiaannya akan berakhir sedemikian rupa.
“Mbak Yati….maafkan ibu ya…?”
Dalam air mata yang terus saja menggenang, Yati hanya mengangguk, walaupun hal itu tentu saja membuat air mata kian deras mengalir darinya.
“Pergilah dok…. itu yang terbaik untukmu…”
—
“Bu.” ucap dokter Andri lembut sesampainya di kediaman mereka.
“Apa ibu yakin dengan keputusan Ibu?” ucapnya meminta ketegasan.
Sesaat wanita setengah baya itu menarik nafas panjang, lalu berujar.
“Nak…”
“Kamu tahu kan kalau kamu kebanggan Ibu?” lembut suaranya kali ini. Rupa-rupanya sudah mulai lunak hatinya.
“Ibu tak mau kau menikah dengan orang yang tak sederajat denganmu. Kamu dokter Andri? Dokter. Masa mau menikah dengan orang yang bahkan tak jelas asal usulnya. Janda pula. Mau ditaruh dimana muka ibu Andri?”
“Kita kan punya keluarga besar. Jangan sampai nanti pernikahanmu akan menjadi gunjingan banyak orang.”
“Kamu harus menjaga nama baik keluarga kita.”
“Memang apa salahnya dengan dia Ibu?”
“Coba kamu jelaskan siapa dia? Siapa calon istrimu yang terbaring lumpuh itu?” ucap Bu Medi. Pelan tapi ketus.
Sesaat dokter Andri terdiam. Ia memang tak tahu banyak perihal Yati. Ia hanya tahu bahwa Yati seorang janda yang ditinggal selingkuh oleh suaminya. Sedangkan siapa suaminya, apakah sudah bercerai atau belum ia bahkan tak tahu. Pun tak tahu ia darimana Yati berasal. Karena ia hanya seorang yatim piatu. Yang terbiasa mandiri sejak kecil. Bahkan adik tirinya pun tega mengkhianatinya.
“Nah, sampai disini kamu paham kan? Mengapa ibu tak ijinkan kamu menikah dengannya?”
“Yang namanya menikah itu harus jelas asal-usulnya, bibit bebetnya. Siapa orang tuanya. Darimana asalnya. Bahkan kalau perlu dihitung hari lahirnya. Begitu lho.”
“Cobalah kamu pahami juga perasaan ibumu ini? Pernikahanmu akan menjadi aib bagi keluarga ibu. Dengar itu!”
“Dokter Andri. Dokter tampan anak dari almarhum Dokter Sutawijaya. Menikah dengan janda. Lumpuh lagi. Huh! Apa nggak bakalan jadi geger itu sekeluarga besar.”
“Tapi, coba kalau kamu jadi kimpoi sama si Michelle itu.”
“Kamu lihat kan? Cantik, putih, tinggi, berkelas.”
“Sekeluarga besar akan heboh dengan pernikahanmu. Semua mata akan memandang iri.”
“Dan kamu tahu Andri? Mereka bukan lagi akan nyinyir dengan kita. Tapi semua akan berkata: ‘Wah, hebat ya. Dokter Andri itu menikah dengan bule cantik. Artis lagi.'”
“Semua orang akan memandang kita Ndri. Begitu.” ujar Bu Medi lagi pada anak lelakinya.
“Tapi Bu. Sepertinya kok aku kurang sreg dengan tingkah lakunya ya Bu?”
“Kita ini kan dari keluarga terhormat. Keluarga ningrat. Masa si Michelle itu kelakuannya begitu?”
Bu Medi tertawa kecil seraya mengibaskan tangan.
“Alaaah….itu sih urusan kecil. Gampang itu. Nanti ibu training dia agar menjadi wanita seperti yang kamu inginkan.”
—
“Sudah Mbak. Sudah ya.” ucap Mbok Minah penuh kasih pada Yati yang masih tampak sembab dengan air mata.
“Jangan ditangisi lagi. Mungkin memang bukan jodoh Mbak.”
Yati menengokkan pandangan. Diusapnya matanya yang masih sembab oleh air mata.
“Aku bukan menangisi itu Mbok. Memang sudah garis takdirku selalu dipermalukan. Tapi kenapa harus saat seperti ini?”
“Setelah suamiku berselingkuh dengan adikku sendiri. Lalu aku menutup diri. Bahkan terpikir sesaat untuk bunuh diri.”
“Sesaat kemudian nasib baik membawaku pada kalian. Namun kelumpuhan kembali menghabiskan sisa bagahiaku Mbok. Aku lumpuh. Yang hanya bisa berharap sedikit iba dari orang lain.”
“Lalu datang sebuah mimpi. Derajatku akan diangkat. Dokter Andri mau menikahiku, walaupun diawal sempat kuragu Mbok.”
“Tapi kini semua kembali musnah Mbok. Aku jatuh sejauh-jauhnya Mbok.”
“Apa memang orang sepertiku tak pantas bahagia ya Mbok?”
Air mata kembali jatuh bercucuran. Melintasi pipi Yati yang terlihat lebih ciut dari biasanya. Begitu juga dengan tangan dan wajahnya. Kecil dan menciut.
Mbok Minah tersentuh dengan ucapan Yati. Diusapnya kepala wanita itu lembut.
“Sabat ya Mbak. Aku yakin asal Mbak Yati mau berdoa dan berusaha, yakinlah Allah tidak tidur Mbak.”
“Semua atas kuasaNya. Manusia hanya sebagai pelakon saja.”
“Lihat saja nanti. Pasti Mbak akan segera tahu hikmah apa yang bisa Mbak dapat dari peristiwa tadi.” ucap Mbok Minah seraya mengusap tangan Yati.
“Astaga Mbak!” seru Mbok Minah tertahan.
“Apa Mbok?!” tanya Yati tak kalah heran.
“Itu…itu….”