Bu Medi dan Andri saling bersitatap heran, karena baru sekitar sepuluh menit yang lalu dia masih tampak bersama Laras.
“Coba kamu cari ke kamar belakang itu? Atau didapur?” ujar Andri pada adiknya.
“Nggak ada Kak. Sudah dicari ke seluruh ruangan yang ada di rumah ini. Hasilnya nihil.”
Degh!
Dokter Andri merasa ada yang tak beres. Dia khawatir jangan-jangan sihir itu telah kembali lagi.
Tapi, lagi-lagi ditepisnya perasaan itu. Ia yakin Michelle hanya pergi sesaat.
Sebagai seorang yang lahir dan besar di luar negeri, tentu melihat pemandangan di Jakarta adalah satu hal yang sama sekali baru baginya. Dan seperti biasanya, para pendatang baru akan sangat suka bereksplorasi disini.
“Mungkin dia pergi keluar. Kita tunggu saja ya.” ujar dokter Medi sesaat kemudian seraya menatap jam di tangan kirinya.
—
Satu jam menunggu, masih belum tampak tanda-tanda kehadirannya. Begitu juga kabar. Terasa nihil saja. Padahal ini kali pertama ia menjejakkan kaki disini. Laras dan Bu Medi saling berpandangan dengan cemas.
“Ndri?!” ujar Bu Medi.
“Sudah tiga jam. Coba kamu telpon dia!”
“Jangan-jangan…” lanjutnya tertahan.
Dokter Andri meraih gawai dari sakunya. Sesaat dicari kontak Michelle.
“Tak ada jawaban Bu.” ucapnya pelan.
“Coba lagi Ndri! Ini sudah tiga jam lho. Ibu khawatir terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Dia itu bule. Masih asing disini. Tentu menjadi sasaran empuk bagi para preman.” ujar Bu Medi lagi seraya menatap keluar jendela.
“Baik Bu. Biar Andri cari keluar. Mudah-mudahan dia tidak jauh.” ujar Andri kemudian seraya mengambil payung. Suasana diluar hujan gerimis. Ditambah udara dingin menjadikan Andri agak malas-malasan menuruti perintahnya.
Namun, baru juga Andri beberapa langkah keluar, tiba-tiba sudah ada Laras di belakangnya.
“Kak!”
“Ya Ras. Kakak mau mencari Michelle dulu. Sudah tiga jam dia tak nampak.”
“Aku ikut Kak!”
Keduanya pun melangkah keluar dengan dipayungi Andri. Sesaat mereka teringat masa kanak-kanak dulu. Dimana mereka terbiasa kemana-mana jalan kaki. Dan acap kali mereka pun akan merasakan kedinginan setelah bermain hujan-hujanan.
“Kak. Tunggu sebentar!”
Laras membuka gawainya.
“Lihat Kak. Seharusnya Michelle masih ada disini. Coba lihat ini!” ujar Laras kemudian.
Diangsurkannya gawai pada Andri, yang menatap penuh konsentrasi pada map online. Terlihat satu titik menyala merah. Tampak berkedip-kedip.
“Aneh!”
“Aneh kenapa Kak?!”
“Coba kau lihat ini.”
“Seharusnya Michelle masih ada disini. Lihat!” ujarnya seraya menunjukkan posisi sinyal.
Terlihat disana posisi gawai Michelle masih ada dirumah ini. Sama sekali tak berpindah tempat. Namun anehnya saat tadi di rumah tak terlihat sama sekali sinyalnya.
“Dari jarak kita sekarang berdiri, tak sampai sepuluh meter bukan?”
“Iya kak. Berarti seharusnya posisi Michelle masih disini. Masih dirumah ini.”
“Tapi dimana?”
Seketika keduanya saling berpandangan. Dan,…
“Gudang!” keduanya bersorak gembira, dan segera berlari menuju tempat yang dimaksud. Sebuah ruangan di lantai dua. Satu-satunya ruangan yang memang jarang sekali dibuka jika tidak ada kepentingan sama sekali.
“Brakkkk!” pintu gudang dibuka dengan cepat.
“Lampu!” ujar Andri pada Laras adiknya.
“Tap!”
Lampu pun menyala terang.
Dan seketika, saat dinyalakan lampu, tampaklah pemandangan yang sungguh diluar dugaan. Laras dan dokter Andri terpekik kaget, karena disana…
Disanalah Michelle berada…
Dalam keadaan yang tak terduga oleh mereka berdua.
Terlihat Michelle dalam keadaan yang nyaris tak berpakaian sama sekali. Pakaiannya terlempar begitu saja di lantai yang kotor dan berdebu. Hanya selembar tipis kain menutupi tubuhnya yang putih dan seksi. Dan dia bergerak-gerak aneh. Seolah sedang berhubungan suami istri. Hanya saja tak tampak siapa yang menjadi pasangannya.
“Ahhh…ahhhh….!”
“Dokter…Andri…Khauuuu….shekshiii…shekhalllhiii…”
“Cup….cup…” ucapnya lagi dengan gerakan seolah-olah sedang mencumbui seseorang.
Terdengar desahan Michelle panjang pendek. Matanya terpejam. Dan tak hanya itu saja, Michelle pun sepertinya sangat menikmati perbuatannya itu. Terbukti dari tak dipedulikannya sama sekali tatapan Andri dan Laras yang menatapnya penuh heran padanya.
“Kak!”
Laras dan dokter Andri saling berpandangan. Diambilnya selembar kain yang cukup lebar, dan dalam hitungan ketiga keduanya menubruk Michelle dan membawanya menjauh dari ruangan itu.
“Hup!”
“Hei! Lepaskan aku! Lepaskan Aku! Siapa kalian?!” hardik Michelle keras. Sekuat tenaga dilawannya Andri dan Laras yang mencoba menyeretnya turun dari gudang atas dan menurunkannya ke ruang tengah. Ia sama sekali tak peduli dengan keadaanya yang nyaris tak tertutup apapun. Ia hanya tahu berontak dan lepas dari jeratan keduanya.
“Lepaskan! Lepaskan!”
Sementara itu, tanpa mereka sadari, sekelebat bayangan pergi menjauh, dan kembali bersembunyi pada sudut gelap ruangan. Bayangan sosok hitam, tinggi, berambut panjang awut-awutan, dengan mata merah dan kuku-kuku runcing dan tajam.
“Hghghghhhrrrrr….” terrdengar gorengan pelan dari mahluk itu dari tempat persembunyiannya.
—
“Bu. Tolong Bu. Tolong!” ucap Andri dan Laras seraya terus mencoba menarik tubuh Michelle turun. Tenaga Michelle luar biasa. Baru kali ini Andri menghadapi wanita dengan kekuatan seperti ini.
‘Michelle? Ya Allah Michelle? Ada apa denganmu nak?” ucap Bu Medi dengan tangan menekap mulut.
Ia sama sekali tak mampu melakukan apapun. Hanya berdiri kebingungan dengan lutut lemas, menyaksikan ketiga orang itu saling berjibaku. Ia tak tahu harus membela siapa.
“Kenapa dia Nak? Kenapa dia?” ucapnya pada doktet Andri dengan berurai air mata. Cemas akan keadaan mereka.
“Bu. Cepat telpon Kong Bitun! Minta tolong beliau untuk segera kesini. Atau suruh sopir menjemput beliau!” seru Andri cepat. Ia tahu ada yang tak beres pada diri Michelle. Dan obatnya hanya satu. Kong Bitun harus turun tangan.
“Hmphhh….hmmph..thlwolwong…lhwephwaskhwan akhwuuu…” seru Michelle lagi. Badannya digoyang-goyang kan dengan keras. Mulutnya yang mencoba menggigit sudah dibereskan sedari tadi. Selembar kain syal berhasil menutupnya. Sedangkan tubuhnya yang telanjang kini telah dibungkus dengan selembar selimut bunga-bunga.
“Ikat dia Laras! Ikat yang kencang. Jangan sampai kita kehilangan dia lagi!” ucap Andri lagi pada Laras yang dengan cekatan mengikat tubuh dan tangan Michelle menggunakan selembar kain tipis.
—
“Gimana keadaanya Kong?” tanya dokter Andri pada Kong Bitun sesaat setelah lelaki tua itu memeriksa kondisinya.
“Hhhhhhhhhh…..”
Kong Bitun menarik nafas panjang.
“Apa yang terjadi dengannya Kong?”
“Seperti yang sudah-sudah. Gadis ini tak diinginkan disini. Jiwanya tertolak disini.”
“Jadi, bagaimana Kong?”
“Ia harus segera pergi dari sini. Atau ia akan selalu menjadi pelampiasan nafsu mahluk itu.”
Dokter Andri mengernyitkan kening.
“Kong!”
“Bukankah yang ada disini hanya arwah penasaran Bi War dan Melati?”
Kong Bitun menyeruput minumannya sedikit Sebelu. melanjutkan.
“Nah, Ndri, Bu. Sebelum mulai melanjutkan, saya mau bertanya dulu. Siapa yang dulu sering membersihkan atau beraktivitas di ruangan itu?”
Tampak Bu Medi berpikir. keningnya mengernyit.
“Setahu saya, ruangan itu dari dulu tetap gudang.”
“Benar tak ada siapapun yang beraktivitas disana?” tanya Kong Bitun lagi.
“Benar. Memang ruangan itu sesekali dibersihkan. Tapi tak pernah terpakai untuk apapun.”
Tiba-tiba, Kong Bitun mengeluarkan beberapa benda dan meletakkannya di atas meja.
“Lalu, siapa pemilik benda-benda ini?”
Mereka bertiga terperangah dengan benda-benda gaib yang ditemukan di ruangan tempat tadi Michelle ditemukan.