“Sialan!” umpatnya seraya mengepalkan tangan dan memukulkannya pada kasur.
Tangannya terus saja sibuk menscroll layar gawainya. Sepertinya memang ia sedang berkonsentrasi mencari sesuatu. Hingga tak disadarinya Isma datang dan memeluk punggung pria kesayangannya yang masih sibuk menunduk.
“Mas. Cari apa sih dari tadi? Sepertinya tak ada habis-habisnya. Sudah berjam-jam loh Mas Wisnu berkutat dengan itu.” ujar Isma seraya mengecup punggung pria itu. Diambilnya gawai itu dari Wisnu. Namun tak seperti biasanya yang akan langsung tergoda dengan penampilan Isma yang hanya mengenakan handuk mandi, kali ini tetap diambilnya gawai itu seraya berkata tegas.
“Ini bukan waktunya untuk ‘itu’. Ada masalah serius.”
Wisnu kembali sibuk. Tak sedikitpun dialihkannya perhatian dari layar kotak di tangannya. Sesekali mulutnya bergumam kasar. Sepertinya ada hal serius terjadi disana. Sementara Isma memilih mundur. Ia tahu akan perangai Wisnu yang agak sedikit temperamen.
Ia memilih mendekati meja rias dan mulai menyiapkan perlengkapan make upnya.
“Dek.” ujar Wisnu akhirnya setelah beberapa saat berkonsentrasi.
“Apa Masku yang ganteng?” jawab Isma menoleh dari meja rias. Tampak wajah itu sudah mulai dipoles make up tipis. Terlihat lebih cantik dan segar.
“Sepertinya bisnisku kali ini gagal lagi.” ujar pria itu kesal.
“Loh. Bukannya bidang itu sudah biasa Mas Wisnu kerjakan? Kenapa sampai gagal?”
“Kalah saing.” jawabnya singkat.
“Kalah saing bagaimana?” tanya Isma sambil meneruskan make upnya.
“Itu loh. Masa restoran Mas Wisnu yang terletak di Cengkareng, harus gulung tikar gara-gara kalah bersaing dengan mie ayam jalanan.”
“Maksudnya gimana sih Mas? Coba cerita lebih detail lagi!” ujar Isma seraya mendekat ke arah Wisnu. Penasaran dengan informasi yang baru disampaikan.
Maka dimulailah cerita Wisnu.
Beberapa bulan yang lalu, selepas Wisnu selesai kontrak dengan salah satu perusahaan perkapalan, bekerja sama dengan beberapa teman, mulailah ia tertarik untuk mendirikan usaha. Kesepakatan yang didapat, Wisnu sebagai pengelola, sedangkan ia dan empat rekan lainnya sebagai pemodal.
Karena saat itu menurutnya usaha kuliner adalah yang paling menjanjikan, maka dipilihlah usaha mie ayam sebagai induk usahanya, dan beberapa menu mie lain menjadi pilihannya.
Sengaja ia memilih frenchise mie ayam dari kota Solo yang terkenal akan resep warisan leluhurnya. Juga segala pelayanan dan dekorasi ruangan dibuat semirip mungkin dengan aslinya. Bahkan ia tak segan-segan mendatangkan pegawai langsung dari sana agar nuansa aslinya tak kecolongan.
Mula-mula, omzet yang didapatkan sangatlah manis. Ratusan porsi habis setiap malam. Pelanggan datang hilir mudik. Jutaan rupiah ia hasilkan dalam satu malam.
Suatu kali, karena sedikit salah paham dengan keempat rekan bisnisnya, maka terjadi keributan hingga mereka memutuskan untuk pecah kongsi. Dengan yakin Wisnu mengatakan akan mengambil sendiri bisnis yang dijalankan itu, dan keempat rekannya boleh mundur saat itu juga. Tak disangka, gertakannya bersambut. Keempat rekannya mundur dan meminta pergantian modalnya saat itu juga. Akhirnya dengan berat hati Wisnu mengambil seluruh tabungan yang ada, bahkan sebagian mengambil dari bank dengan rumah Isma sebagai penjaminnya.
“Jadi….rumah ini…?!” ujar Isma terpekik.
“Iya sayang. Maafkan Mas Wisnu. Tanpa sepengetahuanmu sudah menjadikan rumah ini sebagai penjamin.” ucap Wisnu seraya menatap mata Isma memelas.
Saat itu ia yakin benar bahwa usahanya itu cukup menjanjikan, sehingga dengan pongah ia memutuskan mengambil alih usaha sepenuhnya menjadi milik pribadi. Ditambah lagi kondisi emosinya sedikit kacau akibat perseteruan diantara mereka.
Apalagi sampai saat itu ia yakin sudah cukup mumpuni dalam proses pembuatan mie ayam dan berbagai turunannya. Karyawan pun sudah cukup mahir dalam segala pelayanan dan produksi.
Namun ternyata, baru berjalan satu bulan lebih sedikit, tiba-tiba omzet menurun drastis. Dari omzet beberapa juta per malam, dalam waktu tak sampai dua minggu anjlok hingga hampir setengahnya. Dan semakin lama semakin menurun saja omzet yang dihasilkannya.
“Lalu, apa yang terjadi?” tanya Isma seraya mengambil alih gawai dari tangan Wisnu.
Setelah diselidiki lebih lanjut, selain karena kondisi pasar yang memang sedang turun, salah satu penghalangnya adalah karena hadirnya warung mie ayam baru di pinggiran jalan. Warung sederhana bernama ‘Sarasa’ yang dikelola seorang wanita muda berusia kira-kira tiga puluhan. Dan dari kabar yang beredar diketahui pemiliknya seorang janda kembang.
Suatu ketika pernah Wisnu mencoba menyelidiki warung mie ayam tersebut, yang memang nyata-nyata sangat laris. Hampir tak ada waktu istirahat. Setiap saat selalu sibuk dengan permintaan pelanggan. Berbeda dengan Restoran Wisnu yang sepi dan lengang.
Sepintas memang tak ada bedanya dengan mie ayam lain; mie yang kenyal dan berminyak dengan siraman saus tomat dan saus sambal serta sawi hijau yang segar. Biasa saja. Namun yang membuatnya tak biasa adalah cara penyajiannya yang luar biasa. Bahkan dalam sekali datang saja Wisnu langsung merasa nyaman dengan pelayanannya. Orangnya ramah, baik, supel dan cekatan. Ditambah parasnya yang cantik dan berkulit putih membuat siapapun betah berlama-lama. Bahkan sepertinya tak sedikit yang mulai mencoba peruntungan dengan mendekatinya secara pribadi.
“Sebentar sebentar Mas. Kamu bilang pemiliknya adalah janda?” tanya Isma lagi seraya mengernyitkan kening.
“Ya. Setahuku begitu.”
Tampak sesaat Isma terdiam sebelum melanjutkan. Tampak matanya berbinar-binar.
“Mas!”
“Aku sudah mempunyai ide untuk menghancurkannya.”
“Pokoknya Mas tunggu saja. Rencanaku ini pasti berhasil.”
“Baik. Nanti biar urusan itu aku yang atur Mas. Aku yakin pasti bisa mengatasinya.” ucap Isma yakin.
“Kamu yakin?” tanya Wisnu.
“Tentu. Bukan hal berat bagi Isma mu ini Mas.”
“Baiklah. Aku serahkan urusan ini padamu.”
Isma tersenyum puas. Ia yakin akan mampu menghabisi lawannya itu.
—
Pagi-pagi buta, Isma sudah menyiapkan sebuah strategi. Ia akan menyelidiki siapa pemilik warung mie ayam itu, dan sekaligus menghancurkannya.
Tepat jam sepuluh, saat warung mie ayam itu baru buka, ia langsung mendekat. Namun alih-alih langsung masuk dan mencoba kuliner itu, ia justru menyiapkan strategi.
Ia sengaja menunggu beberapa saat di mobilnya seraya mengawasi kondisi sekitar.
Benar saja, baru hitungan menit warung tersebut dibuka, puluhan pelanggan langsung datang seperti dikomando. Dan tak lama kemudian langsung saja warung itu menjadi ramai.
“Mbak! Mie ayam satu ya!” ucapnya pada pelayan, yang tersenyum ramah dari balik etalase.
“Iya Mbak. Makan disini atau dibungkus?” jawab si pelayan seraya mendekati dan membawa kertas catatan.
“Makan disini aja. Cepetan ya!” ujarnya seraya membetulkan makeupnya yang hampir luntur.
“Baik Mbak. Mohon ditunggu ya!” ucap pelayan itu berpamitan.
Tak lama kemudian, datanglah pesanan Isma. Semangkuk penuh mie ayam, lengkap dengan toppingnya.
Namun, bukannya langsung memakannya, justru Isma hanya mengaduk-aduk mie ayam itu seraya matanya melirik kanan kiri, dan disaat yang tepat, tiba-tiba…
“Ahkhkhkh…..!” Isma berteriak keras hingga para pelanggan yang ada disana memandanginya. Dia sontak berdiri dan menyingkir menjauh serta tangannya menekap mulutnya yang seolah mau muntah. Didekapnya tas tangannya dengan bergidik.
“Ada apa Mbak? Ada apa?” tanya si pelayan gugup mendekati Isma yang berteriak ketakutan.
“Kalian ini apa-apaan sih? Masak jualan mie ayam jorok begitu gitu?” ucap seraya menunjuk mangkok di mejanya.
Pelayan yang tadi datang langsung mendekat dan mengeceknya. Dan benar saja, dari mangkuk mie ayam itu tersembul beberapa kecoa, lengkap dengan sungutnya yang panjang kecoklatan.
“Dasar jorok! Aku heran. Kok bisa-bisanya sih kalian makan di warung jorok begini?” ujarnya seraya berlalu pergi. Membiarkan pelayan itu menatap tidak percaya pada mangkuk yang ada dihadapannya.
Sementara disaat yang sama, Yati datang tergopoh-gopoh bersama Arman di belakangnya. Ia menatap heran karyawannya yang sedang terbengong-bengong dengan mangkuk berisi seekor kecoa.