Entah kenapa dokter Andri sedari kecil dulu memang sangat mempunyai kebiasaan berlama-lama di kamar mandi. Tak heran jika kulit tubuhnya benar-benar halus terawat laksana bayi.
“Ehm …. anak ini.” ujar Bu Medi geleng-geleng kepala mengetahui sudah lebih dari tiga puluh menit tak juga dokter Andri keluar dari sana.
“Ah, entah sampai kapan kebiasaanya itu berubah.” gumamnya seraya memperhatikan hujan yang mulai turun mengguyur di pagi hari.
“Eh, Laras. Michelle mana? Ajak turun dulu buat sarapan! Udah siap semua nih.”
“Kali ini Mbok Minah memasak masakan tradisional. Urap kangkung plus ikan teri. Ibu yakin dia pasti belum pernah merasakannya.” ucap Bu Medi pada Laras yang sedari tadi masih sibuk dengan gawainya.
“Iya Bu.” ujar Laras bergegas menyusul Michelle di lantai dua rumahnya.
Namun, baru saja dia naik, tiba-tiba saja ia kembali dengan terburu-buru.
“Bu! Bu! Cepat sini Bu!” ucap Laras cepat. Wajahnya memancarkan kecemasan.
Melihat ekspresi Laras, sontak Bu Medi bangun dan setengah berlari menuju Laras.
“Ada apa Ras?”
“Ada apa dengan Michelle?!”
“Sini Bu.”
Segera dituntunnya tangan ibunya dan mereka berdua bergegas ke loteng. Dengan tergesa kedua anak beranak itu naik tangga hingga terdengar langkah kakinya seperti lomba lari.
“Tok, Tok, Tok!” digedornya pintu kayu itu.
“Michelle! Michelle!” seru Bu Medi dan Laras saling bersahutan.
Tak ada jawaban.
Laras dan Bu Medi saling pandang.
“Ras? Ada apa dengan Michelle?” tanya Bu Medi yang hanya ditanggapi dengan gelengan oleh Laras anaknya.
“Kita coba sekali lagi!”
“Kak Michelle! Kak!”
“Tak ada jawaban Bu.”
Disaat yang sama, muncul dokter Andri yang baru selesai berpakaian. Tampak wangi dan tampan dengan rambut disisir rapi.
“Ada apa Bu?” tanyanya seraya merapikan gulungan kemejanya. Sementara aroma parfumnya menguar harum.
“Ini lho Michelle. Dari tadi dipanggil-panggil nggak keluar juga. Ibu khawatir ada apa-apa dengannya.” ujar Bu Medi cemas.
“Oh ya, coba Andri lihat lagi.” ujar Andri mendekat ke arah pintu.
“Tok tok tok!”
“Michelle! Michelle!” seru dokter Andri keras.
Lama ditunggu tetap tak terdengar jawaban. Sementara Laras dan Bu Medi tampak semakin khawatir. Maklum, dengan kondisinya sekarang, Michelle rentan sekali mengalami depresi.
“Michelle!” ujar dokter Andri semakin keras. Begitu pula pukulannya yang semakin dikuatkan agar terdengar penghuninya.
“Tetap tak ada jawaban Bu.”
“Bagaimana kalau didobrak saja?” ujar Andri meminta persetujuan.
“Bismillah…. Satu, dua, ti…ga!”
“Brakkkk!”
Sontak saja pintu itu terbuka lebar terkena dorongan dari tubuh Andri yang tinggi.
Dan sesaat tampak mereka terpana akan keadaan didalam kamar itu. Karena saat itu dalam kamar Michelle ….
Aroma apek dan busuk menyeruak dari dalam kamar gelap itu. Entah sudah berapa lama kamar itu tak dibersihkan. Hanya setitik cahaya kecil menerangi. Itupun hanya berasal dari lilin yang hampir habis dimakan api. Sementara sampah begitu banyak bertebaran. Sampah dari tumpukan dedaunan kering yang sepertinya masuk melalui jendela besar di dinding itu.
“Michelle…” seru Andri pelan. Dilangkahkannya kaki perlahan, diikuti Laras dan Bu Medi. Ia khawatir kalau saja ada mahluk melata yang nyasar ke tempat ini.
“Srekk, srekk.”
“Bu….” ujar Laras seraya menatap mata ibunya yang tampak ragu melangkah.
“Kita maju perlahan.” kata dokter Andri mengomando.
Dengan langkah perlahan disusurinya kamar. Dicari keberadaan Michelle yang tak tahu dimana rimbanya.
“Michelle!…Michelle…!” seru Bu Medi pelan. Tangannya merayapi sekitar, sementara tangan satunya mencengkeram erat lengan putrinya.
“Tenang bu! Biar Andri cari tombol lampunya dulu.”
Dia pun segera berpencar mencari tombol lampu. Namun, saat tangannya meraba dinding untuk menemukan sakelar lampu, tiba-tiba dirasakannya sebuah benda dingin dan basah berlendir tersentuh olehnya.
“Ahkhkhkh!” serunya tertahan.
Dokter Andri tak berani buru-buru menarik tangannya. Ia khawatir jika yang tersentuh olehnya adalah mahluk yang berbahaya. Ditariknya perlahan-lahan tangan itu.
Namun, baru sejengkal tangan itu tertarik, dirasakannya benda itu seolah mengikutinya. Dan perlahan-lahan merayapi tangan, berlanjut ke badan dan wajahnya. Andri gemetar ketakutan.
“Hghghghhhrrrrr…..”
Terdengar erangan lirih dari sesuatu yang terasa hangat dan dekat.
Dokter Andri terpaku di tempat. Tak mampu tangan dan kakinya bergeming. Terlebih dirasakannya benda dingin dan berlendir itu layaknya sebuah lidah panjang layaknya ular, bergerak naik turun merayapi seluruh permukaan kulitnya.
“hghghghhhrrrrr….”
Lagi-lagi terdengar erangan mahluk itu perlahan. Sementara di belakangnya terdengar Bu Medi dan Laras merinding ketakutan.
“Ssss….ssiiiaaapppa khhaaauuuu…?” tanya dokter Andri pelan seperti berbisik saja.
Tanpa jawaban, terus saja mahluk dingin berlendir itu menjilati kulit dan tubuh dokter Andri. Sementara dokter Andri hanya bisa diam tanpa mampu melangkah mundur. Nafasnya tertahan setiap kali mahluk itu menyentuh kulit tubuhnya.
Akhirnya, dengan dikuatkannya hati, secara perlahan tangan dokter Andri berhasil meraih saklar lampu, dan…
“Tap!”
Nyala seketika menerangi ruangan empat kali empat itu. Dan alangkah terkejutnya mereka saat menyaksikan pemandangan di depan mata. Karena saat itu yang terlihat adalah sesosok wanita berambut riap-riapan, warna rambutnya yang kuning keemasan tampak kontras dengan wajah pucat dengan mata menghitam. Sedangkan jari-jarinya yang terulur memamerkan kuku-kuku panjang dan menghitam.
“Hghghghhhrrrrr….”
Terus saja mahluk itu menjilati tubuh dokter Andri yang hanya bisa diam membeku. Lututnya goyah gemetaran, sementara gigi-geliginya bergemeletukan.
“Astaga! Michelle?!” jerit Bu Medi histeris. Air matanya berhamburan menyaksikan kondisi Michelle saat ini.
Tangannya menarik dokter Andri yang masih terpaku di tempatnya.
“Hghghghhhrrrrr…..”
Hanya erangannya saja terdengar bersahutan dengan nafasnya yang memburu. Sesekali disibakkannya rambutnya yang kusut masai.
“Ya Allah Michelle? Kenapa kamu jadi seperti ini Nak?”
Ditubruknya tubuh Michelle dengan baju yang berantakan disana-sini. Tak ada lagi wajah cantiknya. Kini tersisa wajah kusam dengan rambut kusut masai.
“Kak Michelle. Apa yang terjadi kak?” seru Laras terisak. Ia merasa sedih menyaksikan nasib yang menimpa sahabatnya.
Diusapnya wajah Michelle yang berantakan dan kotor. Dibenahinya bajunya yang robek sana sini.
Sementara Michelle sendiri masih tampak belum sadar. Ia benar-benar hilang kendali atas dirinya. Matanya menatap kosong. Tak dipedulikannya tingkah heboh Bu Medi dan Laras yang sibuk membersihkan dirinya.
Sesekali tampak bibirnya menggereng pelan, lalu disusul tawa cekikikan, yang membuat Bu Medi dan kedua anaknya hanya bisa menatap prihatin. Hingga akhirnya ia terjatuh pingsan setelah sebuah tepukan mengenai bahu kanannya. Pelan.
—
Beberapa saat kemudian, saat dokter Andri selesai membersihkan dirinya kembali, dan Michelle sudah kembali tertidur pulas di kamarnya, tampak Bu Medi dan kedua anaknya berdiskusi.
“Bu. Terus terang aku prihatin dengan keadaanya. Jiwanya benar-benar terganggu.” ucap dokter Andri pelan.
“Aku khawatir keadaanya akan bertambah buruk jika tidak cepat-cepat diatasi.”
“Iya Bu. Kasihan sekali Kak Michelle. Dia benar-benar terganggu jiwanya. Kita harus cepat menyelamatkannya.”
Bu Medi sesaat menghela nafas panjang sebelum berkata.
“Ibu tahu itu Nak. Tapi ini bukan hal mudah baginya. Kalian pasti tahu kan?”
Sesaat mereka saling berpandangan.
“Pengaruhnya baru hilang setelah jabang bayi yang dikandungnya keluar dari rahimnya.”
“Itu menurut petunjuk orang pintar itu kan?”
“Tapi, apa kita tega terus membiarkannya dalam keadaan seperti ini?”
“Sebentar Bu.” ucap Laras menengahi.
“Ada apa Nak?”
“Menurut informasi yang pernah kubaca, konon pengaruh ilmu hitam bisa hilang jika kita menyeberang laut. Apa itu benar kak?” tanyanya pada dokter Andri.
“Ehm…pernah sih dengar yang begitu. Tapi sampai sejauh ini itu masih terdengar seperti kabar burung. Belum pernah ada yang membuktikannya.”
“Apa akan kita coba saja?” tanya dokter Andri berharap.
“Membawa Michelle terbang dalam keadaan seperti ini?”
“Sepertinya itu terlalu beresiko.”