Mendapati Bu Medi yang meneriakinya, Michelle sama sekali tak bergeming. Terus saja ia melahap makanan itu dengan rakus. Tak dipedulikannya wajahnya yang belepotan minyak. Juga rambutnya semakin tampak acak-acakan layaknya orang gila.
“Michelle!” seru Bu Medi lagi. Kakinya melangkah hendak mencoba menurunkan Michelle dari sana. Tapi buru-buru dicegah oleh dokter Andri. Tangannya menghalangi langkah Bu Medi.
“Jangan Bu!” bisiknya pelan, namun penuh kewaspadaan.
“Kenapa Andri? Kasihan dia.”
“Saat ini dia sama sekali tak mengenali kita. Sangat berbahaya jika Ibu langsung mendekatinya.”
“Biar Andri dulu saja yang mencobanya.”
Dokter Andri pun segera bersiap untuk mendekati Michelle. Pelan tangannya mencoba menenangkan Michelle yang tampak tak nyaman dengan kondisinya. Sesekali kami kanannya menggaruk wajahnya yang tampak berantakan oleh sisa makanan.
“Ayo Sayang. Turun dulu. Ayo…ck ck ck….”
Perlahan tangan dokter Andri menyentuh bahu Michelle yang terbuka. Mencoba untuk membetulkan letaknya.
Namun, Michelle menganggap hal itu ancaman. Dan dengan gerakan tak terduga, Michelle melompat dan langsung mencengkeram baju dokter Andri tepat di bahunya. Dan dengan berpegangan pada bahu itu juga, berkali-kali kuku tajam Michelle menghajar wajah dokter Andri berkali-kali hingga tampak darah mengalir membasahi kuku-kuku tajam Michelle. Juga lelehan darah itu membasahi sekujur tubuh dokter Andri.
“Michelle! Jangan kau sakiti putraku!” ujar Bu Medi keras seraya menghampiri Michelle yang masih sibuk dengan wajah dokter Andri yang layaknya mainan saja. Terpental kesana kemari seperti mainan benang anak kucing.
“Jangan ibu! Jangan mendekat!” seru dokter Andri mendapati Bu Medi mau membelanya.
Namun terlambat, belum juga selesai dokter Andri berkata, Bu Medi sudah melangkah maju dan langsung menarik tangan Michelle dengan keras.
Nahas, Michelle yang saat itu dalam pengaruh mahluk lain, begitu mendapati ada orang yang berusaha mengusiknya, sontak terpancing emosinya.
“Hghghghhhrrrrr….”
Gereng Michelle memamerkan taring-taringnya yang panjang dan runcing, membuat Bu Medi tersurut mundur.
“Ayo turun Michelle! Ayo turun!” hardik Bu Medi lagi, mencoba bernegosiasi. Sementara tangan lainnya memegang gagang sapu.
Namun, bukannya menuruti apa kata Bu Medi, justru emosi mahluk berujud Michelle itu makin meradang. Dihempaskannya tubuh dokter Andri hibgga kepalanya menghantam pibggiran tembok.
“Ahkhkhkh!” seru dokter Andri sesaat, kemudian pingsan. Darah tampak mengalir dari luka cakar dan benturan tembok.
“Andri!” seru Bu Medi seraya terisak. Disongsongnya tubuh dokter Andri yang tergeletak duduk dengan muka tertekuk di lantai.
Namun Michelle terlanjur marah. Dengan tangannya yang kuat, didorongnya tubuh Bu Medi dengan sigap, membuat tubuh tua itu terpelanting ke lantai. Dan belum lagi tubuh itu berhasil menguasai diri, kembali diterjang nya dengan lompatan bak singa betina.
Bu Medi terpelanting kembali. Tak ingin tubuhnya tercabik-cabik oleh kuku tajam Michelle dan taring runcingnya, segera dijauhkannya tubuh itu dengan berlari.
Namun, Michelle bukanlah lagi gadis yang cantik dan penurut. Kini ia tak ubahnya singa betina yang ganas. Berulangkali disautkannya kuku tajam itu, hingga beberapa kali sempat mengenai kulit tubuh dan baju Bu Medi, mengakibatkan wanita setengah tua itu gemetar ketakutan. Bajunya sobek sana-sini. Dia tak tahu lagi harus lari kemana. Posisinya terpojok. Dia meringkuk di sela-sela lemari dan meja makan.
“Ampuuun…ampuuun!” serunya memelas seraya tangannya menutupi wajahnya.
“Hghghghhhrrrrr…..”
Pelan tubuh seksi Michelle melangkah. Ia melangkah dengan keempat kakinya, dengan tangan depan menapak tanah. Pinggulnya bergoyang-goyang laksana singa betina yang menggoda mangsanya.
“Khhhaaaaauuu…..manghshaaaakhhuuuuu…”
Pelan melangkah mendekati Bu Medi yang gemetar ketakutan, karena sesaat lagi pasti taring Michelle akan berhasil merobek kerongkongannya.
Sedepa sebelum tubuh Michelle mencapai Bu Medi, dia tampak berhenti dan terduduk layaknya singa. Tangan kirinya menyangga bagian depan tubuhnya. Dan dengan tersenyum sinis, disibakkanya rambut pirangnya ke kanan dan ke kiri.
“Slurrrp!”
Dinilainya kuku-kuku tangan kanannya. Matanya menatap sinis pada tubuh tua yang meringkuk tanpa harapan.
“Ampun Michelle…. Ampuuun!” seru Bu Medi lagi dengan tatapan memelas. Air matanya turun deras.
“Hghghghhhrrrrr….”
Lagi-lagi Michelle menggereng. Tangan kanannya kembali diturunkan. Dan tubuhnya berancang-ancang mau melompat.
Dan seketika itu tubuh seksi Michelle melompat, dengan kuku tajam menyergap Batang tenggorokan Bu Medi, tiba-tiba sekelebat bayangan datang dan menendang perut Michelle keras.
“Bukkkkk!”
“Ahhkhhhh!” seru Michelle terpekik, bersamaan dengan tubuhnya yang meluncur deras menghantam meja, hingga meja itu terdorong beberapa jengkal.
Telak sekali tendangan itu menghajarnya, membuat tubuh Michelle seketika bergulingan ke lantai. Mulutnya mendesis-desis liar. Matanya terpejam dengan bibir meringis menahan sakit. Setetes darah menetes dari bibirnya yang berdarah.
“Hssssss…sssssstttt…”
Michelle terus saja mendesis-desis menahan sakit yang menerpa bagian bawah perutnya.
“Nah! Sudah cukup petualanganmu hari ini. Sekarang, kau harus menghentikan semua tindakanmu!”
Tampak anggun sosok itu berdiri disana. Kain putih yang dikenakannya melambai-lambai tertiup angin. Wajahnya yang teduh tampak menyorotkan sinar ketenangan.
Rupa-rupanya sosok itu adalah Laras, yang terbangun dari sholat malamnya karena mendengar kegaduhan. Dan mendapati kakak dan ibunya tak berdaya, maka ia segera turun tangan menyelamatkan mereka.
“La….Laras? Kkaaa…kau Laras?” ucap Bu Medi tersadar dari keterpanaannya. Matanya menatap tak percaya jika anak perempuannya itu telah berhasil menyelamatkan nyawanya.
“Iya ibu. Ini aku. Laras.” ucap Laras seraya membantu ibunya bangun. Ditatapnya ibunya dengan pandangan teduh.
“Kakak….?” ucapnya seraya melihat tubuh Andri yang tergeletak tak sadarkan diri.
“Kakakmh pingsan terkena serangannya.” ujar Bu Medi seraya menunjuk sosok Michelle yang saat itu sudah mulai bisa menguasai diri. Dan sesaat tampak bersiap-siap untuk memberikan serangan balasan.
Laras masih sibuk memeriksa kondisi ibunya. Berusaha memastikan kondisi wanita pelindungnya itu baik-baik saja.
Bersamaan dengan meluncurnya tubuh Michelle yang siap memberikan serangan balasan, seketika itu juga Bu Medi berteriak,
“Awas Laras!” seraya tangannya menutup wajahnya kembali. Tak sanggup melihat putri semata wayangnya itupun menjadi korban keganasan Michelle.
Namun, Laras ternyata bukanlah gadis yang lemah dan ceroboh.
Diminumkannya sedikit tubuhnya untuk menghindar, dan dengan sedikit gerakan tangan kembali jari-jemari lentik itu memukul iga kanan Michelle, membuat sosok Michelle lagi-lagi terpental.
“Brakkkk!”
Kembali lagi tubuh itu terjerembab menghajar meja kayu, dan seketika diam tak berkutik.
“Alhamdulillah Laras. Terimakasih Nak!” ucap Bu Medi seraya memeluk putrinya bangga. Bagaimanapun ia kini menyesal dulu sempat melarang Laras belajar ilmu Kanuragan di Amerika. Terbukti kini hasilnya ia bisa rasakan.
“Sekarang bagaimana Nak?” ujarnya seraya menatap Laras.
Sesaat Laras memperhatikan kondisi Michelle yang tergeletak di lantai.
“Untuk sementara Michelle aman. Hanya kita perlu memindahkan tubuhnya agar tak kedinginan disana.” ucapnya pelan.
“Tapi, bagaimana kalau nanti dia mengamuk lagi?” tanya Bu Medi khawatir.
“Tenang Bu. Untuk sementara aku akan memasang segel padanya agar mahluk yang terjebak dalam tubuhnya itu tak berdaya.”
“Sampai berapa lama?” tanya Bu Medi lagi.
Laras menggeleng.
“Laras tak tahu persis Bu. Tapi setidaknya sampai kita bisa memaksa mahluk itu keluar dari tubuhnya.”