“Entahlah Bu. Yang bisa kita lakukan sekarang hanya menunggu saja.”
Pandangan Laras berkeliling, hingga berhenti di sosok dokter Andri yang tergolek pingsan.
Didekatinya kakaknya, dipegangnya urat nadi.
“Bagaimana kondisinya?” tanya Bu Medi seraya memperhatikan tubuh anaknya yang tampak berlumuran darah. Sungguh, kali ini Michelle tlah berubah menjadi monster haus darah. Tubuh Andri yang begitu kuat saja tak mampu menghadapi keganasan Michelle.
“Sepertinya nggak papa Bu. Istirahat sebentar nanti juga sembuh.”
Dipapahnya tubuh Andri bersama Bu Medi ibunya.
“Bu, tolong air hangat untuk membersihkan lukanya.” ucap Laras melihat sekujur tubuh kakaknya banyak luka baret dan lebam.
Diusapnya tubuh Andri dengan air hangat untuk mencegah infeksi pada kulitnya. Tak lupa ditambahkan sedikit garam dapur untuk ati oksidan, mencegah luka itu infeksi.
Selang beberapa menit, tampak dokter Andri menggeliat lemah.
“Aaaaaaah…”
Direntangkan tangannya sesaat, namun langsung ditarik kembali begitu terasa luka pada kulitnya mengeluarkan rasa sakit dan perih yang tak tertahankan.
“Aisssssshhh….”
Tampak bibirnya mendesis-desis kesakitan.
“Alhamdulillah sudah siuman kamu Nak.”
Tampak dokter Andri mengucek-ngucek matanya pelan.
“Apa yang terjadi padaku Bu?” ujarnya mendapati tubuhnya tak lagi tergeletak di lantai, namun sudah berada di kamarnya yang sejuk, dengan lampu kristal yang indah.
“Kamu pingsan Nak. Serangan Michelle yang ganas membuatmu tak bisa melawannya.”
Diedarkannya pandang.
“Lalu, Bagaimana Michelle sekarang Bu? Bagaimana kondisinya?”
Lalu Bu Medi bercerita, bagaimana tadi anak perempuannya berhasil menyelamatkan hidupnya.
“Sungguh beruntung ibu mempunyai Laras. Terima kasih ya Nak!” ucap Bu Medi seraya memeluk Laras bangga.
“Lalu, bagaimana kondisinya sekarang?”
“Untuk sementara aman kak. Tapi Laras tak tahu persis sampai berapa lama kekuatan mantra kuncian yang tadi kupasang.”
Sesaat tampak dokter Andri termenung.
“Bagaimana kalau kita meminta bantuan Kong Bitun lagi?”
Sesaat tampak Bu Medi dan Laras tampak berpandangan, lalu,
“Sepertinya tak mungkin Kak. Kaka tahu kan kalau saat ini masih tengah malam?”
Diliriknya jam dinding. Tepat pukul tiga dini hari. Tak mungkin baginya untuk mendatangi ataupun menghubungi Kong Bitun di malam buta begini.
“Setidaknya kita harus bisa menahannya barang tiga empat jam ke depan.”
Sesaat dokter Andri bangkit dari tidurnya. Dengan langkah pelan didatanginya kamar tempat Michelle berada. Terlihat hanya nafasnya naik turun dengan teratur. Sesekali tampak tersedak.
Diulurkannya tangan kanan untuk mengecek kondisi Michelle. Ia khawatir terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Ia menyentuhkan ujung jari pada pangkal leher Michelle,
“Jangan Kakak!”
“Jangan kau sentuh!” ucap Laras sambil berlari mencegah tangan dokter Andri menyentuh tubuh Michelle.
Namun terlambat, tangan itu telah menyentuhnya. Dan bagaikan mendapat energi baru, tiba-tiba saja tubuh Michelle melompat tinggi dan meluncur turun dengan cepat.
“Tap!”
Terdengar langkah kakinya ringan menapak pada ujung meja.
“Mundur Kak!” seru Laras pada dokter Andri.
Sementara dokter Andri yang terkejut tak bisa lepas dari keterpanaannya. Ia masih terdiam di tempatnya. Akal sehatnya masih belum bisa menerima bagaimana Michelle bisa bertindak seekstrim itu.
Belum hilang rasa herannya, tiba-tiba saja tubuh Michelle telah berputar-putar laksana baling-baling dan langsung saja menyapu tubuh dokter Andri hingga kembali terpental jauh.
“Brakkkk!”
Kembali tubuh tinggi itu menghantam tembok dengan keras, hingga berdebum keras.
“Uhuk, uhuk, uhuk!”
Terdengar batuk dokter Andri. Dan sesaat kemudian tampak cairan merah keluar deras dari mulutnya yang berlumuran darah.
“Andri!” seru Bu Medi memburu sosok anaknya yang tampak terluka.
Sementara itu, di satu sudut, tampak Laras memejamkan mata. Mulutnya berkomat-kamit sebentar, lalu berseru keras,
“Hei mahluk apapun yang ada dalam tubuh sahabatku. Jangan kau pikir karena ada dalam tubuh sahabatku maka aku akan mengalah dan tak bisa memukulmu keras. Saat ini tak ada pilihan lain. Kau pergi atau kupaksa kau meninggalkannya!”
Tampaknya ancaman Laras tak main-main. Sikapnya laksana singa betina yang siap mengadu nyawa. Seluruh otot-otot halusnya nampak menegang. Tak lagi nampak sosok lembut yang biasanya selalu bersahaja. Kini hanyalah sosok wanita perkasa, yang siap menghadapi siapapun yang melawannya.
“Hghghghhhrrrrr…”
Hanya itu gerengan-gerengan yang terus saja keluar dari bibir Michelle. Dan tak sampai hitungan menit, kembali tubuh Michelle yang tertutup pakaian koyak itu kembali menyerbu. Kedua tangannya yang berhiaskan kuku hitam dan runcing menerjang buas, seolah-olah siap untuk menghabisi nyawa Laras.
“Wuttts, wuttts!”
Hanya sahutannya yang keras dan cepat terdengar.
Laras mundur sedikit. Ia tak mau gegabah menghadapi lawannya kali ini. Michelle benar-benar sudah diluar kendali. Ia bisa merasakan bahwa jiwa Michelle telah terlalu dalam dikuasai.
“Wutt, wutt,”
Sementara Laras hanya berlompatan kesana kemari menghindari serangan Michelle yang tampak membabi buta. Ia benar-benar harus berhitung agar serangannya tak sia-sia. Bagaimanapun ia tahu bahwa kekuatan dan staminanya kalah jauh dibanding Michelle.
“Awas Laras!” seru Bu Medi begitu mendapati Laras yang terpojok di sudut ruangan. Sementara tangan Michelle yang berkuku runcing dan tajam tampak mengarah padanya.
Laras benar-benar terjepit. Kali ini ia tak bisa lagi menghindar jauh. Di pojokan itu ia berdiri dan terus saja waspada. Walaupun ia tahu kali ini tak bisa lagi ia menghindar. Terpaksa ia harus menunggu serangan Michelle di tempat sesempit itu.
“Hanya ada satu kesempatan. Aku harus bisa menjatuhkannya atau dia yang akan menjatuhkan ku.” batin Laras sembari tetap waspada.
Di saat yang sama, lamat-lamat terdengar alunan suara adzan Subuh dari masjid terdekat,
“Allahu Akbar Allaaaahu Akbar!”
Tiba-tiba terlihat tubuh Michelle sedikit goyah. Seakan tak nyaman dengan adanya alunan suara adzan itu. Sesekali matanya terlihat menyala-nyala merah. Nafasnya terdengar memburu, seolah-olah ingin segera mengakhiri pertarungan. Mulutnya yang bertaring tajam tampak menggerak-gerakkan menyeramkan.
“Aku yakin pasti sebentar lagi dia akan menyerang. Aku harus bersiap-siap.”
Dan benar saja, sesaat kemudian Michelle melompat cepat kearahnya. Melihat serangan berbahaya itu, tiba-tiba Laras menundukkan badannya, dan dengan satu tangan menyerang bagian rahim Michelle, tangan lainnya menghantam ulu hati.
“Satu, dua, ti……”
“Gaaaaaaa!!”
“Brakkk!”
“Dharrrrr!”
Keras serangan pukulan kedua tangan Laras tepat menghajar tubuh Michelle yang tanpa perlindungan.
Tubuh itu terlempar keras ke udara, dan menghajar plafon rumah dengan keras. Dan sesaat kemudian tampak tubuh wanita malang itu jatuh berdebum ke lantai.
Diam tak bergerak. Hanya nafasnya naik turun tak beraturan. Dan tampak segumpal darah melompat keluar dari kemaluan Michelle, membuatnya menjadi pemandangan menjijikkan. Basah, berlendir dan amis. Bu Medi sampai harus menutup hidung melihat pemandangan itu.
“Hoshh, hoshhh, hoshhh.”
Sementara itu, terdengar nafas Laras memburu. Ia benar-benar kehabisan energi. Berdirinya goyah. Matanya berkunang-kunang. Dan sesaat kemudian,
“Brukkkk!”
Tubuh Laras ambruk mencium lantai. Diam tak bergerak.
“Laras!” seru Bu Medi memburu tubuh putrinya.
Disaat yang sama, sekonyong-konyong tampak Mbok Minah datang berlari ke arah mereka,
“Non! Apa yang terjadi Non?”
“Ya Allah! Apa yang terjadi ibu?”
Tampak Mbok Minah berdiri dengan bingung. Tak tahu harus berbuat apa. Karena saat itu dilihatnya begitu banyak sosok tak berdaya. Tergeletak tanpa bergerak sama sekali.