Pelet Hitam Pembantu episode 35

Chapter 35

Waktu baru menunjukkan pukul sepuluh pagi. Yati pun belum juga lama membuka warung mie ayamnya, ketika tiba-tiba datang serombongan orang, laki-laki dan perempuan, tampak berteriak-teriak dengan bengis di jalanan. Terdengar ungkapan kemarahan membahana, bersamaan dengan dipukul-pukulkannya balok kayu yang mereka bawa pada apapun yang ada di sekitarnya.

“Robohkan!”

“Usir mereka dari sini!”

“Dasar penjual biadab. Kalian telah meracuni kami!”

“Jangan mentang-mentang cantik, maka kami akan berbelas kasihan!”

“Dasar Pelakor!”

Dan berbagai ungkapan lain yang sangat tak layak untuk disebut dan didengarkan. Apalagi, mereka yang datang tak sedikit yang berpenampilan seperti orang ‘bener’; berbaju gamis, berkerudung, serta bagi yang laki-lakinya tampak berbaju koko yang sopan dan enak dilihat.

Kata-kata mereka tak mencerminkan tingginya budi pekerti. Dan mirisnya, mereka meneriakkan kata-kata yang sama sekali tak pantas untuk didengar siapapun.

Pagi itu suasana seketika heboh. Rombongan itu terus saja berteriak-teriak sembari memukul-mukulkan balok-balok kayu.

Tak kurang dari tiga puluh orang itu terus-menerus berteriak-teriak dan memaki. Bahkan seolah sengaja memancing kerumunan massa, yang terbukti semakin lama terlihat semakin banyak kumpulan orang berkerumun.

Sementara di sana, terlihat beberapa juru berita tampak sibuk mengabadikan keadaan itu dengan gawainya. Lampu blits berkelap-kelip ramai mengambil gambar para pendemo yang memadati jalanan.

“Hancurkan!” teriak salah seorang pendemo, seorang pria berbadan kekar dan hitam. Ditangannya tergenggam sebuah balok kayu. Tangannya mengepal ke atas pertanda semangatnya yang kuat.

Mendapati kerumunan orang sebanyak itu, Yati tergopoh-gopoh keluar dan menemui mereka. Begitupun beberapa pengunjung yang sedang bersantap disana, buru-buru meninggalkan warung. Bahkan beberapa pergi begitu saja tanpa sempat menghabiskan atau membayar hidangannya. Rona ketakutan membayangi mereka.

“Maaf, bapak-bapak, ibu-ibu. Ada apa ini? Kenapa ramai-ramai kesini?” tanya Yati yang kebingungan dengan kedatangan sebegitu banyaknya orang. Apalagi tak ada satupun yang dikenalnya.

“Hei wanita cantik!” seru seorang ibu-ibu gemas. Tangannya diangkat keatas dengan geram. Sesekali digaruknya lengan tertutup baju panjangnya.

“Kami minta pertanggungjawaban kalian!” serunya lagi.

“Pertanggungjawaban apa Bu? Siapa yang hamil?” seru Yati kebingungan.

“Ah, nggak usah banyak bawel. Kalau kalian tidak mau bertanggung jawab, biar kami bakar warung ini berikut penghuninya sekalian.” seru seorang pemuda hitam bertato dan berambut keriting.

“Maaf Mas. Maaf. Bisa minta tolong dijelaskan apa masalahnya?” seru Yati lagi. Ia takut juga melihat wajah-wajah beringas didepannya.

“Apa masih kurang jelas bagimu? Kami keracunan makananmu. Lihat!” ujar ibu itu seraya membuka lengannya yang terlihat bercak-bercak merah menutupi hampir seluruh kulitnya.

“Lihat! Bahkan bukan hanya dia saja. Kami semua disini terkena racun yang kau berikan di mie ayam daganganmu.” seru si pemuda keriting tadi berteriak lantang, diiyakan oleh rekan-rekan nya yang lain.

Yati mendatangi dan mencoba memperhatikan lebih teliti. Namun dihalangi pemuda keriting tadi.

“Hei! Ibu. Jangan kasih tunjuk itu penjual pada kulitmu. Sebentar kau diracunin, tau rasa nanti!” ujar si pemuda keriting menghalau kedatangan Yati.

Merasa tidak mendapatkan keadilan, Yati kembali berteriak,

“Lalu, apa yang harus kutanggungjawabkan? Memegang pun tak boleh. Melihat pun tak dikasih. Lalu, aku harus bagaimana?” seru Yati kebingungan.

“Kami minta keadilan!”

“Kami minta keadilan!”

Terus saja mereka berteriak-teriak histeris. Bahkan beberapa ibu tampak kelelahan dan hampir pingsan, namun segera ditolong oleh yang lainnya.

“Hei! Tak nampak kah olehmu? Ibu ini hampir saja pingsan. Pasti ini karena ulahmu.”

“Pasti makanan sudah kau olesi racun.”

“Kau mau meracuni kami!” seru yang lainnnya tak mau kalah.

“Ya . Kami minta pertanggungjawabanmu.” seru yang lain lagi tak kalah seru.

Akhirnya, dengan berputus asa, Yati menerima tawaran mereka.

“Baiklah Ibu ibu, bapak-bapak. Saya mau tanggung jawab. Ayo kita bawa ke Puskesmas terdekat.” ucap Yati seraya bersiap-siap. Diambilnya tasnya dari dalam warung dan siap membawa korban-korban itu ke Puskesmas.

Namun, lagi-lagi, mereka tetap tak bergeming.

“Ayo! Ibu, bapak. Kita ke puskesmas sekarang!” seru Yati menunggu.

Terlihat sebagian mereka kasak-kusuk. Hingga akhirnya ibu tadi dan si pemuda keriting maju menghampiri.

“Kami tolak tawaran Nona!” kata si pemuda.

“Ya. Kami tolak tawaranmu. Tak sebanding dengan sakit kami.”

“Lalu, kalian minta apa?” tanya Yati kembali heran.

“Kami minta uang saja. Kami lebih membutuhkan itu. Kami bisa berobat sendiri!” kata si pemuda seraya kembali masuk ke barisannya.

Yati, kembali garuk-garuk kepala. Bingung ia dengan pola pikir para pendemo itu.

“Lalu, berapa yang kalian minta?”

“Empat juta.”

Sesaat Yati terbengong. Bagaimana mungkin mereka butuh empat juta untuk pengobatan sesederhana itu. Padahal kan, beberapa tablet anti alergi sudah cukup untuk mengobatinya.

“Baiklah. Tunggu sebentar. Nanti akan ku ambilkan uangnya.”

Terdengar sekali lagi mereka berasal kusuk seraya berbisik-bisik tak jelas.

“Iya Nona. Kami minta uang saja. Empat juta.”

“Untuk masing-masing orang?”

Yati terpekik mendengar permintaan rombongan itu. Ia kebingungan dengan besarnya permintaan mereka.

“Empat juta? Kali sekian banyak orang?”

Si Pemuda keriting paham kebingungan Yati.

“Ya. Empat dikali tiga puluh orang. Seratus dua puluh empat juta. Sanggup?” ucap si pemuda garang. Dimajukannya badannya beberapa langkah.

“Seratus dua puluh juta? Gila! Bagaimana cara mendapatkannya?” gumam Yati sembari berhitung.

Bagaimana aku bisa mencari yang sebanyak itu dalam tempo singkat? Sungguh permintaan yang tak masuk akal. Pusing kepala Yati dengan permintaan pemuda preman itu.

“Bagaimana? Bisa?” seru si pemuda seraya mengangkat obor. Siap menghancurkan warung itu dengan api ditangannya.

“Atau biarkan kami bakar saja warung ini beserta dirimu.” ujarnya seraya terus melemparkan nyala api itu pada warung yang terbuat dari papan.

Seketika api menyala lebar, dengan jilatan-jilatan api yang tajam ke angkasa.

Yati seketika menangis histeris. Usaha hasil jerih payahnya dihancurkan begitu saja. Ia sangat terpukul dengan kenyataan itu.

“Kalian kejam. Kalian telah merusak warungku. Bahkan tanpa bukti apapun kalian telah tega menghancurkan usahaku.”

Tak dihiraukannya teriakan dan tangisan Yati. Mereka terus saja melempari dan memukulkan balok kayu pada warung itu. Piring, mangkok dan meja kursi diobrak-abrik sedemikian rupa.

Kuah dan mie serta berbagai bumbunya telah membanjiri jalanan. Begitupun meja, kursi dan gerobak serta warung telah perlahan-lahan dimakan api dan berubah menjadi arang hitam. Warung yang semula ramai oleh pelanggan kini tersisa nyala api saja yang berkobar-kobar, menyisakan kepulan asap menghitam.

Hingga tak sampai dua puluh menit api telah berkobar-kobar melalap warungnya.

“Hei kawan-kawan. Ayo kita bakar sekalian saja dia!”

“Dia yang telah meracuni kita. Jangan sampai ada orang lain lagi yang terluka.” seru si pemuda yang langsung saja diamini teman-temannya.

Dengan tanpa ampun, serombongan pria itu kembali memegangi tangan dan kaki Yati dan bersiap melemparkan tubuh wanita itu ke nyalanya api yang berkobar tinggi.

“Ampuuun. Ampuuun.” ucap Yati seraya menangis ketakutan. Ia tak ingin nasibnya berakhir di sini. Ia masih belum siap jika menghadapi kematian saat ini. Ia masih ingin mengenal sedikit kebahagiaan.

Tiba-tiba, tanpa diduga siapapun, terdengar meraung-raung mobil patroli polisi dari arah Cengkareng, yang langsung berhenti tepat di rombongan itu.

“Stop! Jangan lakukan tindakan hukum sendiri! Semua ada aturannya.” tegas suara dibalik megaphone menghadapi rombongan pendemo yang berteriak-teriak histeris.

“Turunkan dia!”

Terlihat beberapa perwira polisi turun dan langsung mengamankan Yati yang hampir tewas dimakan si jago merah.


Pelet Hitam Pembantu

Pelet Hitam Pembantu

Status: Completed Tipe: Author: Dirilis: 2021 Native Language: Indonesia
Sekonyong-konyong sebuah tas pakaian besar sarat isi menimpa tubuh mungil wanita berambut sebahu itu. Tak dikancingkannya retsleting dengan benar, hingga sebagian isinya berhamburan keluar."Aduh!"Wanita itu urung menutup wajah dan tubuhnya dari lemparan tas besar, hingga sempat mengenainya dan membuat tubuhnya tampak sesaat limbung, dan kemudian terjatuh duduk dengan lutut menghantam aspal jalanan.Penasaran dengan kelanjutannya? yuk segera simak cerita dibawah ini.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset