“Mas! Mas Wisnu!” gumam Isma seraya bersembunyi dibalik bahunya.
Sekilas Wisnu melirik, lalu kembali fokus pada gawainya seraya berujar.
“Apa sih beib? Udah ih, aku lagi seneng ini. Sebentar lagi semua uangku bakal kembali. Hahahaha….”
Namun, begitu melihat Isma yang berkeringat dingin dengan muka pucat, Wisnu langsung paham apa yang terjadi.
“Isma? Kamu kenapa? Sakit?”
Isma menggelengkan kepala. Ditatapnya kembali mahluk buruk didepannya seraya berujar.
“Anjing itu Mas. Anjing itu….”
Wisnu menatap anjing kampung yang penyakitan itu. Dihardiknya keras.
“Hussss! Pergi! Hussss!” hasilnya keras dengan melambaikan tangan.
Melihat hardikan Wisnu, bukannya lari menjauh, justru anjing itu tampak semakin ganas. Is mengambil sikap ancang-ancang. Badan bagian depannya ditundukkan sedikit. Sedangkan mulutnya terus saja menggereng liar. Tampak air liurnya menetes mengaliri gigi tajamnya.
“Awas Mas! Sepertinya anjing itu cukup berbahaya. Aku takut Mas.” ucap Isma seraya bersembunyi makin dalam di belakang tubuh Wisnu.
“Kamu minggir saja Isma. Biar urusan anjing ini aku yang tangani.”
Isma segera berlari menjauh. Jauh hingga masuk ke dalam restoran.
Mendapati mangsanya kabur, seketika anjing itu berusaha memburunya. Tubuhnya melesat jauh dan cepat. Gigitannya mengarah pada rok Isma yang tampak melambai-lambai lebar.
“Gukkk, gukkkk…”
Isma semakin ketakutan. Is berlari terbirit-birit dengan kecepatan tinggi. Sementara si anjing mendapati buruannya berlari cepat ikut pula meningkatkan kecepatannya. Hingga hampir saja gigi itu bersarang di paha wanita cantik itu.
Untung, disaat yang tepat, kurang sejengkal lagi gigi itu mengenai paha Isma, mendadak Wisnu berhasil menyarangkan satu tendangan telak pada iga mahluk malang itu.
“Bukkkkk!”
“Kaing, kaing, kaing!”
Mendapat serangan tak diduga itu, anjing itu terlambat mengelak, hingga tubuh kurus anjing itu terpental jauh hingga menabrak pagar.
“Hosssshh, hosssshhh…” tampak anjing itu kembali duduk dengan penuh waspada. Gerengannya masih terdengar di sela-sela nafasnya yang terengah-engah.
“Iya Mas. Terus Mas. Habisi saja dia!” ujar Isma yang tersenyum puas melihat arjunanya berhasil memblokir serangan mahluk rendah itu.
“Tenang saja. Urusan dunia peranjingan itu adalah duniaku. Serahkan padaku!” ujar Wisnu congkak dengan sikap siap melakukan serangan balasan.
Tubuhnya meloncat-loncat tinggi, dengan sikap layaknya seorang jagoan menunggu musuhnya bangkit.
“Kau takut kan ANJING? Huahahahaha… Aku ini rajanya anjing. Anjing kampung, minggir!” ujarnya lagi seraya mengibaskan tangan.
Sesaat nampak anjing itu melemah. Sikapnya berubah jauh lebih kalem. Matanya pun tak lagi nanar. Hanya menatap biasa saja. Namun tetap waspada. Sementara mulutnya tak henti menggereng lirih.
“Nah sekarang anjing. Daripada kau hidup tak berguna begitu, lebih baik kau ku akhiri saja dengan cepat.” ujar Wisnu seraya menyerang mahluk itu dengan tendangan supernya.
Namun, mendapati Wisnu menyerang, bukannya dia menghindar, justru malah balas menyerang.
“Wutttts!”
“Brukkkk!”
Kembali tubuh kurus itu terpelanting jauh hingga melabrak dinding kaca, yang seketika bergetar hebat.
“Hosh, hosh!” terdengar nafas terengah-engah dari anjing itu semakin payah. Tubuhnya pun seolah tak lagi menapak tanah. Terhuyung-huyung seolah hampir tumbang. Tak kuat menahan tubuhnya yang semakin oleng.
Mendapati lawannya begitu payah, semakin pongah Wisnu menghadapinya. Tawanya terdengar makin membahana.
“Huahahahaha… Dasar mahluk lemah!” umpatnya.
“Kau tak ada apa-apa nya denganku.” ujarnya dengan kembali menghajar iga kiri mahluk malang itu.
“Wuttts!”
“Krakkkk!”
Keras terdengar tulang mahluk malang itu bergemeretakan. Mungkin iganya patah. Nampak dari ekspresi oleng mahluk itu yang semakin sempoyongan menahan beban tubuhnya.
Akan tetapi satu yang tak dipahaminya, bahwa mahluk itu, separah apapun lukanya, tidak menunjukkan nyalinya yang semakin menciut. Justru tampak makin bersemangat. Tatapnya tetap nyalang, walaupun tenaganya tak lagi sanggup menahan beban tubuhnya dengan benar. Sementara luka-luka di koreng tubuhnya tampak semakin parah. Darah merembes dari luka yang menganga itu, membawa belatung-belatung kecil berkelejot-kelejot riang.
“Hmmm….” gumam Wisnu seraya mengelap ujung bibirnya yang tampak basah oleh peluh.
“Mas. Habisi saja Mas!” ujar Isma seraya menyodorkan sebilah batang besi untuk menghabisi nyawa anjing Malang itu.
“Tenang saja Isma. Aku masih mau bermain-main dulu dengannya.” ujar Wisnu seraya mengambil benda itu, tapi tak segera digunakannya untuk memukul anjing itu, yang tampak kewalahan dengan beban tubuhnya.
Berkali-kali tubuh kecil itu jatuh bangun untuk berjalan menuju Wisnu.
“Hmmmm… rupa-rupanya kau masih membandel juga ya?”
“Sekarang, terimalah tendangan kerasku kali ini. Hiatttt!” ujar Wisnu lagi seraya melayangkan tendangan kanan mengarah kepala mahluk malang itu.
Namun nahas, belum juga sampai kaki itu melabrak kepala musuhnya, tiba-tiba kakinya tergelincir batang besi yang tadi diberikan Isma, sehingga tak ayal tubuhnya terjatuh menimpa batang besi itu, membuat sekujur tubuhnya sakit tidak terkira.
“Brukkkk!”
“Wadawwww!”
Mendapati tubuh Wisnu yang terjatuh, seketika Isma memburu hendak menolongnya. Namun nahas, belum juga tangannya menyentuh Wisnu, sekonyong-konyong mulut anjing budukan itu sudah lebih dulu berhasil menyarangkan gigi tajamnya pada tangan Isma yang putih mulus, membuatnya berteriak histeris ketakutan.
“Waaaaaaa….aduuuuh! Aduuuuh!”
Sekujur tangannya berlumuran darah. Ditarik-tariknya tangannya yang seolah tak akan pernah dilepaskan oleh anjing itu. Gigitannya begitu kuat, membuat tangan Isma nyaris putus karena giginya yang tertancap erat.
“Isma! Isma!”
Wisnu bangkit dan memburu tubuh kekasihnya. Ditariknya tangan kekasihnya yang berlumuran darah itu. Namun nahas, Isma keburu pingsan. Ia tak kuat dengan sakitnya gigitan anjing liar itu.
“Isma! Isma!” ujar Wisnu lagi.
Disingkirkan nya tubuh kekasihnya sedikit menepi. Lalu, dengan mata nanar, ia menatap mahluk kecil itu dengan pandangan tajam menusuk.
“Kau benar-benar cari mati rupanya!”
“Srekk!”
Tangannya segera meraih batang besi itu. Ia berniat akan segera menghabisi nyawa mahluk rendah itu.
“Kurang ajar! Kau memang harus segera dilenyapkan sekarang juga.” ujarnya geram.
Segera diangkatnya tinggi-tinggi batang besi itu. Nyata sekali amarah menyelimuti rona wajahnya.
“Brakkk!”
Tepat sekali pukulan Wisnu mengenai kepala anjing dengan koreng membusuk itu. Darah bercipratan kesana kemari. Seluruh lantai basah oleh darah. Sesaat mahluk itu terlihat menggelepar-gelepar kesakitan, hingga beberapa detik kemudian terdiam tanpa nyawa.
“Huh! Merepotkan. Benar-benar merepotkan!”
Ditendangnya bangkai anjing itu begitu saja, hingga bangkai itu terpelanting jauh ke depan. Ke jalan raya. Darah menggenangi jalanan.
“Isma!”
Wisnu segera teringat akan kekasihnya. Ia khawatir jika terjadi apa-apa dengannya. Tangannya yang terluka tampak mengkhawatirkan.
“Tolong! Tolong!” ujarnya keras meminta pertolongan, membuat beberapa orang berkerumun hendak menolongnya.
“Kenapa Mas! Kenapa Mas?” tanya orang-orang itu penasaran. Apalagi dilihatnya kondisi tangan Isma yang parah. Kulitnya mengelupas dengan bekas gigitan yang membuat semua orang bergidik ketakutan.
“Tolong Mas! Tolong kami!” ujar Wisnu lemah. Matanya menatap memelas.
“Ambulans! Telpon ambulans!” ujar seseorang terdengar lirih.