Sementara di sisi lain, tampak Wisnu menangis meratapi kekasihnya yang tergeletak pingsan.
—
“Gruduk, gruduk gruduk!” brankar bergerak tergesa-gesa sepanjang lorong rumah sakit membawa tubuh Isma yang berlumur darah. Gigitan anjing liar itu membuat sekujur tubuh Isma mengalami infeksi. Demam tinggi, dengan sesekali mulutnya meracau.
Beruntung tadi, di saat yang tepat tiba-tiba muncul seorang paramedis yang dengan sigap berhasil memberikan pengobatan pertama.
“Panas….panas….” hanya itu kata yang bisa terucap dari bibirnya yang membiru. Wajahnya pucat membiru.
Wisnu mengikuti brankar itu dengan setengah berlari. Tak dipedulikannya tubuh dan bajunya yang berlumuran darah. Juga tak lagi dirasakannya tubuhnya yang terasa remuk akibat jatuh menimpa barang logam tadi. Saat ini yang lebih dipikirkannya adalah kondisi Isma.
“Isma, tenangkan dirimu Isma.” demikian ucap Wisnu berkali-kali seraya memegang jemari Isma yang panas tinggi akibat infeksi yang mulai menjalari seluruh tubuhnya.
Tak berapa lama, sampailah mereka di ruangan Unit Gawat Darurat.
“Maaf bapak. Silakan bapak mengurus administrasi dulu!” ucap seorang perawat ramah, dengan senyum yang tak terlihat akibat wajahnya tertutup masker.
Dengan tergopoh-gopoh Wisnu berlari menuju bagian administrasi. Tak dipikirkan lagi harus dengan perawatan apa Isma ditangani. Saat ini yang terpenting adalah keselamatan kekasihnya itu.
“Berikan pengobatan yang terbaik! Berapapun biayanya!” ujarnya tegas pada petugas yang melayaninya.
“Baik Bapak.”
Terlihat petugas cantik itu menuliskan beberapa tulisan yang tak seberapa dipahaminya.
“Baik bapak. Silakan!” ujar petugas segera memberikan selembar kertas untuk ditandatangani.
Segera setelah urusan administrasi selesai, Wisnu kembali menuju Isma yang masih tergolek tak sadarkan diri. Suntikan anestesi dari dokter membuat tubuhnya pingsan sementara.
“Sudah beres pak?” tanya perawat yang langsung diiyakan olehnya, dan kembali membawa Isma ke ruang penanganan. ICU.
—
Hampir satu jam lamanya Wisnu menunggu dengan cemas. Berkali-kali diliriknya jam tangan untuk memastikan bahwa ia tak terlambat untuk mengetahui kondisi terkini Isma.
“Huh!” dengusnya kesal seraya mencengkeram rambut kepalanya yang tak seberapa.
Diam-diam ia menyesal kenapa tadi tak buru-buru menghabis anjing sialan itu. Dan kini Isma menjadi korban.
“Aku benar-benar bodoh!” ucapnya lagi seraya menjambak rambutnya sendiri.
“Selamat sore pak!” ujar seseorang berpakaian jubah panjang, yang tiba-tiba keluar dari ruang ICU.
“I-iya pak!” ujar Wisnu tergagap. Segera berdiri penuh harap.
“Anda penanggung pasien? Keluarga?” tanya orang tersebut.
“I-iya pak.” ucap Wisnu lagi.
Tampak dokter itu duduk di bangku panjang, mempersilakan Wisnu duduk di sampingnya.
“Bagaimana kondisinya dokter?” tanya Wisnu tak sabar.
Terlibat dokter itu menarik nafas panjang.
“Apakah dia baik-baik saja dok?”
“Ya. Dia tentu akan baik-baik saja. Kalau saja…” ucap dokter itu tertahan.
“Kalau saja apa dokter? Tolong katakan dokter! Berapapun biayanya pasti akan saya bayar.” jelas Wisnu setengah memaksa.
Sepintas dokter itu melepas masker di wajahnya, membuangnya dalam kotak sampah, lalu berujar.
“Sayangnya bukan soal biaya. Tapi ada yang jauh lebih penting.”
“Apa itu? Katakan dokter! Saya pasti menyediakannya. Asal nyawanya bisa diselamatkan.” ucap Wisnu cepat.
“Kalau saja ada donor darah yang tepat. Darah terlalu banyak keluar. Kalau tidak segera mendapatkan dengan cepat, saya khawatir kondisinya akan terus menurun.”
“Apa golongan darahnya dokter?” tanya Wisnu penasaran.
“Emas. Golden Blood.”
Wisnu terperanjat kaget, lalu tersenyum kecut.
“Golden blood? Darah emas?”
“Apa golongan darah Anda?” lanjut dokter itu lagi.
“Emas? Isma berdarah emas? Anda sedang tidak bercanda kan dokter?”
“Saya O.” ujar Wisnu seraya tertawa miris. Ia sungguh tak yakin apa yang dikatakan dokter itu.
“Bercanda? Huh, sungguh beruntung jika saya masih bisa bercanda. Sudah belasan tahun saya tidak melakukan itu.” ucap dokter itu lagi seraya membetulkan letak kacamatanya yang tampak miring sebelah.
“Jadi…jadi dokter betul-betul mengatakan kalau golongan darah Isma adalah golden blood?” tanya Wisnu lagi.
“Ya. Begitulah.” ucap dokter itu lagi dengan tenang.
“Golongan darah ini sangat istimewa. Jumlahnya hanya puluhan saja di seluruh dunia. Tak mudah menemukan orang dengan golongan darah ini. Semestinya orang dengan golongan darah emas ini atau biasa disebut golden blood, atau rh-null rajin mendonorkan darahnya. Karena akan memudahkan jika sewaktu-waktu ada orang dengan golongan darah yang sama yang membutuhkannya.” dokter kembali menerangkan dengan hati-hati.
“Perlu Anda ketahui, golongan darah ini sangat sangat langka. Sehingga, menemukannya sama nilainya dengan menemukan emas.” tutupnya dengan helaan nafas panjang.
“Lalu, apa yang bisa saya lakukan dokter?”
Dokter itu bangkit, lalu sambil matanya menatap jauh, dia berkata,
“Ya, tentu dengan mencari donor yang sesuai.”
“Tapi itu susah sekali.” ujarnya seraya melangkah pergi.
Wisnu lemas. Ia tak tahu, harus kemana mencari donor yang sesuai untuk kekasihnya itu.
Diambilnya gawai. Di tanyainya beberapa kenalannya untuk memastikan dia memperoleh donor darah yang sesuai.
Namun, beberapa puluh temannya, tak satupun yang memberi jawaban memuaskan. Kebanyakan mereka memiliki darah kebanyakan orang umum; A, B, O, atau AB.
“Isma, Isma. Golongan manusia dari jenis apa sih kamu? Susah sekali mencarinya.” dengus Wisnu seraya meratap ditembok.
Tiba-tiba, tampak seseorang keluar dari ruang ICU.
“Pak Wisnu, pak Wisnu!” ujarnya tergesa-gesa.
“I-iya bu.” ucap Wisnu seraya berdiri. Ia khawatir terjadi hal-hal yang tak diinginkan.
“Pak Wisnu cepat cari darah yang sesuai ya. Kasihan istri Anda. Darah terlalu banyak keluar. Saya khawatirkan kondisinya.”
“Lalu, kemana saya harus mencarinya Bu?” ujar Wisnu kebingungan.
“Terserah bapak saja. Kemana saja boleh. Cepat ya pak!” ucap orang itu yang langsung kembali masuk ke ruangan. Membiarkan Wisnu yang berdiri kebingungan.
—
Dua jam lamanya Wisnu berputar-putar di seluruh penjuru Jakarta. Dikunjunginya rumah-rumah sakit, klinik, atau apapun juga yang sekiranya membuat dirinya mampu mendapatkan darah golongan istimewa itu. Namun, kemanapun langkahnya dijalankan, golongan darah itu benar-benar emas. Tak juga didapatkannya.
“Maaf pak. Sudah lama sekali kami tidak mendapatkan golongan darah ini.” ucap petugas PMI menanggapinya dengan rona muka kecewa.
Lunglai kaki Wisnu melangkah. Ia yakin akan bisa mendapatkannya. Tapi dimana? Hanya Tuhan yang tahu.
Astaga! Kenapa tiba-tiba ia mendadak teringat Tuhan disaat terpukul begini? Diam-diam ia merutuki hidupnya yang terlalu egois hingga melupakan peranan Tuhan dalam setiap langkah hidupnya.
Dibelokkannya mobilnya menuju masjid sederhana di pinggir jalan. Masjid yang terlihat lusuh tanpa perawatan tepat.
Pelan dia turun sembari tengok kanan kiri, jika saja ada orang yang dikenalnya. Tak apa juga jika bantuan tak didapat. Setidaknya ada teman untuk berbagi kisah sedih ini.
Diambilnya air wudhu dan mencoba menjalankan sholat. Sebuah ibadah yang entah kapan terakhir kali dijalankannya.
“Allahu Akbar!”
Pelan diucapkannya takbir dengan hati berdebar. Entah kenapa baru kali ini ia teringat Tuhannya. Tuhan yang seolah menjadi jalan terakhir baginya meminta pertolongan.
Tak dipedulikannya bacaan doanya yang mungkin tak sempurna. Ia yakin Allah Maha Tahu. Allah pasti tahu kalau memang dirinya terpojok. Ia yakin hanya Allah yang sanggup mengeluarkannya dari kesulitan ini.