Pelet Hitam Pembantu episode 41

Chapter 41

[Saya ada di rumah sakit Jakarta Hospital ya. Ini nomor WA saya. 0838********, atas nama Wisnu]

[Berapapun akan saya bayar] tulis Wisnu lagi.

[Maaf. Untuk semua layanan dari Giveblood sama sekali tidak dipungut biaya. Tapi jika saudara berniat berderma, nanti akan kami kirimkan List khusus untuk itu. Terima kasih]

[Oh, iya. Maafkan kesalahpahaman saya. Ini semua karena begitu senangnya saya hari ini. Terima kasih banyak] tulisnya lagi dengan emot minta maaf.

Wisnu melompat dengan girang karena saat ini ada setitik harapan untuk mendapatkan darah yang betul-betul diperlukan bagi kelangsungan hidup kekasihnya.

[Terima kasih ya. Saya tunggu kabar selanjutnya] tulisnya lagi.

[Sama-sama.]

Namun, seketika ia sadar bahwa sungguh tak sopan sikapnya kali ini. Karena pada saat ini ia masih berada di masjid, tempat tadi ia bersimpuh memohon bantuanNya. Terlihat beberapa pasang mata menatap aneh padanya. Seketika ia perbaiki sikapnya. Disujudkannya badannya dalam-dalam seraya memuji kebesaran Illahi.

“Sungguh besar kuasamu Ya Allah.” ucapnya lagi seraya bersujud dalam-dalam. Diam-diam menetes air matanya dengan perasaan haru biru.

“Hekhkhkhkh!!”

Tiba-tiba, dirasakannya sakit yang teramat sangat menerpa jantungnya.

“Astaga! Ada apa ini?” gumamnya seraya mengurut-urut dadanya yang terasa sangat sesak dan sakit.

Nafasnya mulai tak beraturan. Terengah-engah dan memburu. Peluh mulai menetes membasahi keningnya. Sekujur badan terasa lemas dan tak bertenaga.

Ia heran, karena selama ini ia tak pernah bermasalah dengan kesehatannya. Jantung, paru, darah semua bagus. Ia tahu benar, karena sebagai mantan pelaut ia memang dituntut harus rutin check up demi kepentingan profesi.

“Ah, apa yang terjadi denganku?” gumamnya sembari terus menekan dadanya agar berkurang rasa sakit yang terus saja menerpa rongga dadanya.

Untung, disaat yang sama, tampak melintas seorang pria berbaju koko, berpeci dan bersarung. Rupa-rupanya waktu sudah menjelang Maghrib. Kedatangan pria itu diiringi beberapa pria lain dengan pakaian hampir serupa. Rupa-rupanya sudah menjelang Maghrib.

“Pak, tolong pak!” ujar Wisnu seraya melambaikan tangan meminta pertolongan. Saat itu, tak bisa lagi tubuhnya dibangkitkan. Ia hanya melambai-lambaikan tangan saja meminta bantuan.

Melihat seseorang membutuhkan pertolongan, sontak para jamaah segera berkumpul. Memang sudah menjadi adat istiadat dilingkungan ini jika ada orang yang membutuhkan bantuan, maka tak segan-segan mereka akan datang membantu.

“Ada apa pak? Ada apa?” ujar salah seorang segera menghampiri Wisnu, memegang tengkuknya dengan punggung tangan dan berseru,

“Badannya panas sekali. Hei! Abdul” teriaknya pada seorang jamaah.

“Iya Bang!” jawab seseorang diujung sana.

“Tolong ambilkan kotak obat di ruang marbot!”

Tak harus menunggu lama, jamaah tersebut datang dengan kotak obat yang langsung di terima oleh Wisnu.

“Minum obat dulu pak! Cepat minum!” ujar jamaah lagi seraya menyodorkan sebutir obat dan air putih.

“Gluk, gluk, gluk!”

Tanpa pikir panjang, segera diminumnya obat itu. Tak peduli ia obat apa yang diminumnya. Saat ini, tugasnya lebih penting. Isma harus sehat kembali seperti sediakala kala.

Beberapa saat Wisnu beristirahat, hingga badannya kembali menjadi segar dan bertenaga. Lama dia beristirahat hingga tak sempat ikut sholat berjamaah.

“Sudah lebih baik pak?” tanya seorang jamaah mendapati Wisnu sudah sedikit baik. Saat ini ia dalam keadaan duduk berselonjor.

“Alhamdulillah. Tubuh saya mulai segar. Bahkan tak pernah terasa segar dibanding ini. Terimakasih ya pak!” ucap Wisnu lagi seraya tersenyum.

“Oh iya pak. Saya mau sholat dulu. Permisi.” ujar Wisnu sembari bangkit dan menuju tempat wudhu. Dan orang itupun kembali pada kesibukannya. Mempersiapkan tempat mengaji untuk anak-anak.

Selesai sholat Maghrib dan berdoa sekedarnya, ia berniat akan menuju rumah sakit. Sudah seharian penuh ia meninggalkan Isma sendirian. Tak ada siapapun yang menemaninya.

Namun, baru saja dilangkahkan kakinya menuju mobilnya, yang terparkir rapi di tepi jalan, tiba-tiba terdengar bunyi gawainya,

“Halo!” ujar Wisnu cepat, begitu mendapati nomor yang menelponnya adalah dari pihak rumah sakit. ”

“Ya. Halo Pak Wisnu. Sudah mendapat darahnya pak?” tanya seseorang diujung sana. Kelihatannya seorang suster. Terdengar tegas dan cemas dari nada suara wanita itu.

“Belum Bu. Tapi sedang diusahakan.” ucap Wisnu lagi tak kalah tegas.

“Jadi gimana ini? Mau diamputasi saja atau gimana?”

Wisnu pucat mendengar kata-kata itu. Sungguh tak dibayangkan jika Isma harus kehilangan salah satu tangannya. Pasti akan hancur hidupnya jika hal itu menimpa kekasihnya.

“Jangan sus! Jangan! Saya masih usahakan ini. Tolong sus. Jangan lakukan itu!” ucap Wisnu memelas.

“Bapak ini bagaimana sih? Jadi suami yang tanggung jawab dong. Istri lagi sekarat kok ditinggal-tinggal?”

“Bapak kembali ke istri tua ya?” ujar suara itu kembali.

Wisnu tersinggung. Amarahnya memuncak.

“Hei! Sembarangan ka…….”

“Tuuut, tuuut, tuut”

Panggilan terputus.

“Kurang ajar! Siapa sih suster itu? Ingin rasanya kumaki dia nanti saat ketemu.” Wisnu mendengus kesal.

Sementara itu di sisi lain, tampak suster Sherlina tampak kesal seraya meletakkan telpon di mejanya dengan gusar.

“Brakkk!”

Sepintas rekannya melihat dengan ujung mata, namun sama sekali tak menanggapi. Ia terlalu asik dengan gawainya. Dan baginya melihat suster itu marah-marah adalah bagian dari hidupnya sehari-hari.

“Aish! Suami tak bertanggung jawab. Tahu istrinya sekarat disini, dia malah enak-enakan pergi. Dipikirnya aku babunya apa?”

“Aku kan perawat disini. Bukan babu. Atau dia pikir aku baby sitternya?”

Terlihat gusar dari raut mukanya.

“Iya aja kalau dia sehat. Bisa makan sendiri. Bisa mandi sendiri. Lah ini, gerakin tangan aja nggak bisa. Suami macam apa itu?”

Terus saja suster Sherlina mengomel panjang pendek.

Rekannya yang sedari terdiam, tampak senyum-senyum saja di pojokan itu.

“Heh! Kamu. Orang lagi kesal kok kamu malah senyum-senyum? Seneng ya lihat orang susah?” hardiknya seraya bergegas pergi menuju ruang perawatan Isma, yang masih belum membaik keadaanya.

Bekas gigitan anjing liar itu benar-benar parah. Darah memang berhasil dihentikan. Namun infeksi akibat gigitan itu menimbulkan luka teramat parah. Terlihat biru dan bengkak. Serta menimbulkan gejala infeksi yang tak main-main. Sekujur tubuhnya panas tinggi.

“Hhhh….masih tinggi sekali. Harus cepat-cepat ditangani. Kalau sampai terlambat bisa fatal akibatnya.” gumam suster Sherlina seraya membelai wajah pasien yang tampak masih tak sadarkan diri itu.

Ditatapnya wajah Isma seraya bergumam,

“Kasihan sekali kalau gadis secantik ini harus kehilangan sebelah tangannya…”

Tiba-tiba, terlihat ranjang itu bergoyang-goyang lemah.

“Krek krek, krek krek!”

Suster bertubuh besar itu menengok.

“Ah, sudah sadarkah dia?” gumam suster Sherlina mendapati tubuh Isma bergerak. Ia berharap pasiennya kali ini cepat melalui masa kritisnya.

“Krek krek! Krek krek!”

Didekatinya tubuh Isma yang masih tergolek di ranjang. Diperhatikannya sesaat. Memang tubuh itu tampak bergerak. Tapi itu bukan pertanda baik.

Karena saat inipun tubuh itu bukan hanya bergerak. Tapi kejang. Terjadi sesuatu yang buruk padanya. Infeksi itu telah merusak sensor motorik di otaknya, sehingga mengakibatkan gerakan dibawah kesadarannya.

“Astaga!”

Dia segera keluar dan berseru pada rekannya, suster Naya.

“Nay! Tolong Nay!” ucapnya gugup. Tak sempat dipakainya masker yang dikalungkannya di leher.

“Iya kak. Tunggu!” jawab suster Naya, yang segera mengemasi gawainya, dan setengah berlari menuju ruang perawatan.

“Astaga! Apa yang terjadi? Apa yang harus dilakukan Kak?!”

Tubuh Isma mengejang hebat. Pun tak jua kejang itu tak berhenti walaupun sudah beberapa lama.

“Apa yang harus kita lakukan Kak?” ujar suster Naya gugup. Ia kaget melihat kondisi Isma yang kejang hebat. Seluruh badannya bergetar menghentak-hentak. Jari jemarinya tergenggam keras.

“Panggil dokter! panggil dokter!” ucap suster Sherlina lagi seraya menjaga agar jarum infus di tangan Isma tak ikut loncat keluar, yang bisa mengakibatkan kondisinya lebih parah.


Pelet Hitam Pembantu

Pelet Hitam Pembantu

Status: Completed Tipe: Author: Dirilis: 2021 Native Language: Indonesia
Sekonyong-konyong sebuah tas pakaian besar sarat isi menimpa tubuh mungil wanita berambut sebahu itu. Tak dikancingkannya retsleting dengan benar, hingga sebagian isinya berhamburan keluar. "Aduh!" Wanita itu urung menutup wajah dan tubuhnya dari lemparan tas besar, hingga sempat mengenainya dan membuat tubuhnya tampak sesaat limbung, dan kemudian terjatuh duduk dengan lutut menghantam aspal jalanan. Penasaran dengan kelanjutannya? yuk segera simak cerita dibawah ini.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset