“Mbak. Sudah menjelang malam. Mbak mau diantar pulang?” tanya dokter Andri.
Terlihat Yati diam. Wajahnya menunduk. Tanpa jawaban.
“Kenapa Mbak?”
Yati masih diam. Tak menjawab apapun. Hanya wajahnya tertunduk lesu.
“Ada apa lagi?”
“Astaga! Maaf Mbak saya lupa.” ucap dokter Andri seraya mengusap keningnya.
“Maaf. Apa Mbak Yati selama ini tinggal di warung itu?” tanyanya lagi dengan hati-hati, yang dijawab dengan anggukan lemah Yati.
“Apa…Mbak mau tinggal di rumahku lagi?” tanya dokter Andri dengan hati-hati. Bagaimanapun ia berusaha menjaga agar Yati tak tersinggung dengan ucapannya.
Yati masih diam.
“Bagaimana Mbak?”
“Nggak mungkin kan Mbak hidup di jalanan. Mbak masih muda. Sangat berbahaya bagi seorang wanita seperti Mbak dalam kondisi begini.”
Tanpa sadar tangan dokter Andri menyentuh ujung jari Yati, yang membuatnya tergagap sadar.
“Oh, maaf Mbak. Maaf. Bukannya bermaksud tidak sopan.”
Yati menyadari hal itu. Tidak mungkin dokter Andri bersikap tak sopan padanya. Namun sesungguhnya bukan hal itu yang ditakutkan.
“Ibu dan Michelle sudah kembali ke Amerika. Saat ini dirumah hanya ada aku, Laras adikku dan Mbok Minah.”
“Mereka berdua tentu tak akan keberatan jika Mbak mau tinggal lagi bersama kami.”
Yati kembali menatap dokter tampan itu. Sungguh ia tahu bahwa dokter itu memang baik padanya. Tapi justru itu yang ia takutkan. Ia takut akan sakit lagi karena berharap terlalu tinggi bagi hidupnya. Ia cukup sadar oleh keadaannya. Ia tak lebih baik dari seorang gelandangan, yang tak tentu arah dan tujuannya. Bahkan tak tahu kemana harus mengadu setiap kali masalah baru menderanya.
“Mbak. Sungguh. Berbahaya bagi Mbak untuk hidup di jalanan. Di luar sana berbahaya Mbak. Aku tak ingin mendengar bahaya mengintip Mbak lagi.” ucap dokter itu lagi. Kali ini lebih lembut.
“Ap-appa tak apa-apa?” ucap Yati kemudian.
“Nggak apa-apa Mbak. Toh kamar Mbak tempo hari juga masih kosong. Tak ada yang mengisinya. Mbak bisa tinggal disana lagi.”
Yati masih terdiam. Berbagai takut dan ragu menghinggapinya. Ia masih trauma dengan ucapan Bu Medi.
“Oh iya. Kebetulan Laras juga mau buka butik. Nanti Mbak Yati bisa bekerja sama dengannya. Mau kan?”
“Dan soal ibu, nanti biar saya yang bicara.”
“Gimana Mbak? Mau ya?” ucap dokter tampan itu lagi.
Sesaat kemudian Yati tampak mengangguk, membuat dokter Andri tersenyum senang.
“Tapi….” ucap Yati lagi.
“Apa lagi Mbak?” ucap dokter Andri.
“Bisa nggak nanti biar aku tidur dengan Mbok Minah saja?” ucap Yati lirih.
“Oh, bisa. Bisa. Nanti bisa dibicarakan dengan beliau.”
“Yuk kita pulang!” ajak dokter Andri seraya tersenyum manis, membuat Yati seolah kembali menjadi gadis remaja. Namun segera disingkirkan nya perasaan itu jauh-jauh.
“Ingat dirimu Yati!” ujar Yati keras dalam hati.
—
Segera setelah dibereskan tagihan rumah makan itu, melakukan kembali mereka menuju kediaman dokter Andri.
Sepanjang jalan mereka hanya terdiam kembali. Memang sudah menjadi kebiasaan dokter tampan itu untuk tidak banyak bicara, kecuali yang dianggapnya penting saja.
Lima belas menit berlalu, mereka sudah kembali tiba di jalan Daan Mogot, namun tiba-tiba terdengar bunyi gawai.
“Ya hallo!” ujar dokter Andri.
Sesaat terdengar percakapan mereka yang tampaknya penting. Beberapa kali terdengar dokter Andri menarik nafas dalam. Hingga akhirnya panggilan terputus.
“Ada apa dok?” ujar Yati peduli.
“Aku harus kembali ke rumah sakit. Ada pasien gawat.” ujar dokter Andri tanpa menoleh.
“Mbak Yati mau diantar dulu atau gimana?” tanya dokter Andri.
“Nggak usah dok. Biar nanti aku ikut ke rumah sakit saja. Biar aku tunggu saja disana.”
“Baiklah Mbak. Terima kasih ya.” ucap dokter Andri lagi.
Terima kasih? Untuk apa?
—
Wisnu mendengus kesal. Sungguh baru kali ini ia dibuat keki dengan ucapan orang, yang bahkan tidak dikenalnya langsung. Ia berjanji akan memberikan pelajaran nanti saat bertemu dengannya.
“Brakk!” ditutupnya pintu mobil dengan kesal.
Ia berniat akan segera menuju rumah sakit tempat Isma dirawat.
“Oh iya. Bagaimana dengan darah itu?”
Diambilnya gawai. Dibukanya aplikasi donor darah tempat tadi dia bertanya.
[Selamat malam. Saya Wisnu, yang tadi bertanya soal darah]
“Tlung!” pesan berbalas.
[Oh iya bapak Wisnu. Ada yang bisa kami bantu?]
Wisnu mendengus kesal oleh pertanyaan retorika semacam itu. Namun terpaksa dibalasnya juga chat itu walaupun hati dongkol.
[Tadi saya sudah menanyakan soal stok golden blood. Kapan saya bisa mendapatkannya?]
“Tlung!” lagi-lagi terdengar suara notif.
[Maaf bapak Wisnu. Stok saat ini masih kosong. Coba bapak hubungi nomor ini. 0856XXXXX7112. Beliau satu-satunya pemilik golongan darah itu di daerah ini]
[Baik. Terima kasih]
Cepat disave nya nomor itu, dan dihubungi dengan tergesa-gesa.
“Hal….” ucap Wisnu senang saat mendengar panggilannya diangkat.
“Maaf. Nomor yang Anda tuju, sedang sibuk. Cobalah beberapa saat lagi.” seru suara diseberang sana, yang terdengar menyebalkan.
“Tut, tut, Tut,”
“Sialan!” gerutu Wisnu lagi seraya terus mencoba menghubungi nomor itu.
Namun, berkali-kali dicoba nya menelpon, terus saja terdengar jawaban yang sama.
“Arrrghghggh” geram Wisnu seraya meninju setir mobilnya, membuat suara klakson nyaring terdengar.
“Woy! Sabar dong Mas!” ucap seorang pemotor menggedor pintu mobilnya.
“Ma-maaf. Maaf Mas!” ucap Wisnu melambaikan tangan.
“Sial! Itu satu-satunya orang berdarah emas disini. Tak bisa dihubungi lagi. Arghghgh!” gerutunya lagi.
“Daripada pusing disini, mending aku langsung ke rumah sakit aja. Setidaknya aku bisa melihat kondisi langsung Isma. Daripada berlama-lama disini tak ada hasil. Huh!”
Dijalankannya mobil menuju Jakarta Hospital dengan hati remuk berkecamuk. Ia sangat mengkhawatirkan kondisi Isma. Tapi datang dengan tangan kosong? Sungguh hal tak masuk akal.
“Dimana harga diriku?” gumam Wisnu mendengus kesal.
Sepanjang perjalanan terus saja ia melamun, hingga tiba di suatu pertigaan, dan tanpa disangka sekonyong-konyong meluncur sesosok tubuh kurus menyeberang jalan, yang langsung tanpa bisa dihindari olehnya terpental setelah tertabrak oleh moncong mobilnya.
“Brakkk!”
Keras suara tabrakan itu, disusul tabrakan lagi dari arah belakang, membuatnya tak bisa lagi menghindar.
Mobilnya rusak. Bagian depannya penyok, sedangkan belakangnya kaca hancur.
“Hoi! Ada kecelakaan! Ada kecelakaan!” teriak seseorang, yang langsung tanpa dikomando menarik banyak massa.
Wisnu panik. Ia yang sedianya akan kabur, tak bisa lagi menghindar. Deretan massa telah siap dengan pentungan dan bongkahan batu jika saja ia berani melarikan diri.
“Hoi! Keluar dong! Jangan jadi pecunxxg!” ujar seorang pemuda sembari menggedor pintu mobilnya.
Beberapa saat Wisnu hanya bisa terbengong didalam. Ia khawatir dengan keselamatannya.
“Tanggung jawab woi! Urusi korban!” ujar seorang lagi. Tampaknya cukup bisa dipercaya. Ia mulai turun kekhawatirannya.
“Krieeeet!”
“Ini dia pelakunya. Kita hajar saja dia!” ujar seseorang ditanggapi yang lainnya.
Wisnu turun dari mobilnya. Dan sesaat tampak ia menghindar dari pukulan massa, sampai seseorang yang tadi menggedornya berujar keras,
“Jangan main hakim sendiri dong!”
“Tenang! Tenang!”
“Ampun pak! Ampun!” ujar Wisnu memelas.
“Nah, gitu dong. Tanggung jawab jadi lelaki! Urusi dulu dia!” ujar orang itu seraya menunjuk korban kecelakaan yang tadi tertabraknya.
Disana, diujung jalan sana. Sekitar dua meter dari arahnya berdiri, tampak tergolek lemah seorang lelaki kurus. Rambutnya riap-riapan hitam tak terurus. Kulitnya hitam dan kotor. Wajahnya yang tirus tampak meringis kesakitan. Dan….dari sekujur tubuhnya tampak mengalir darah tak henti-hentinya.
Wisnu tercekat,
“Kkkk….kkkkaau…..?”