Pelet Hitam Pembantu episode 45

Chapter 45

“Sungguh tega sekali istrinya…” ucap Wisnu lagi seraya memegangi dadanya yang tiba-tiba terasa sesak.

Yati diam. Ia sama sekali tak berusaha membela diri. Biarlah kali ini ia difitnah sedemikian rupa. Akan tetapi satu saat nanti kebenaran pasti akan terungkap.

Disaat mereka sama-sama terdiam, tiba-tiba keluar seorang pria berbaju operasi. Pelan langkahnya keluar dari ruangan itu.

“Keluarga pasien bapak Arman?” tanya dokter berbaju hijau itu.

“Iya dok. Bagaimana kondisinya?” ucap mereka hampir berbarengan.

Sesaat terlihat Wisnu bingung dengan jawaban Yati, namun kembali diacuhkannya.

“Saat ini sudah kami tangani.”

“Bagaimana kondisinya?” lanjut Wisnu.

“Pasien sedang tidur. Tapi sedari tadi bibirnya tak henti-hentinya memanggil seseorang. Kalau boleh tahu siapa itu Yati?” ucap dokter itu penasaran.

“Dia mantan istrinya dok.” ucap Wisnu.

Tapi disaat yang sama terdengar Yati pun mengucap kata yang sama.

“Itu saya.” ucap Yati membuat Wisnu seakan hilang kata. Ia tak enak hati karena tadi sudah mengucapkan hal yang tidak baik padanya.

Wisnu memandang Yati, yang ditanggapi dengan senyum datar saja.

“Nggak papa. Itu sudah biasa buat saya dicap buruk. Gak masalah!” ucap Yati tegas, membuat Wisnu mati kutu.

“Jadi, bisa saya menemuinya dok?” tanya Yati pelan.

“Bisa. Silakan!” ucap dokter yang langsung meninggalkan mereka.

“Bret!” dibuangnya sarung tangan penuh darah di tempat sampah medis, dan berlalu pergi.

Sepeninggal dokter itu, Yati dan Wisnu segera bergegas menemui Arman.

“Silakan!” ujar Wisnu lagi.

Yati masuk, diikuti oleh Arman.

Terlihat pria kurus tergeletak di atas meja perawatan. Beberapa selang tampak terpasang sempurna. Nafasnya terlihat terengah-engah dengan sebuah selang menutupi mulut dan hidungnya.

Yati mendekat dengan muka muram. Ia khawatir apakah Arman masih bisa mengenalinya? Karena setahunya saat ini Arman dalam keadaan kurang ingatan.

Memang setahunya, ada beberapa orang yang hilang ingatan, namun dalam beberapa kesempatan ia masih bisa mengingat dengan baik. Tapi untuk kondisi Arman saat ini ia tak tahu, apakah dalam kondisi ingat atau lupa ingatan.

“Srek, srek, srek,” pelan dilangkahkannya kakinya menuju tempat Arman terbaring. Ia tak ingin mengganggu istirahat pria yang dulu pernah menjadi imamnya.

Melihat kedatangan Yati, Arman tampak membuka mata. Seakan ia tahu bahwa Yati sungguh akan datang. Bidadarinya sungguh datang.

“Yati…. Apakah kau Yati?” ucap Arman lemah melihat kedatangan Yati. Sesekali ia terbatuk-batuk pelan.

“Ahkhkhkh!”

Terlibat rona kesakitan dari nada bicaranya.

Yati menatap sedih mantan suaminya itu. Yang bahkan tak pernah menceraikannya secara hukum. Ia tahu saat itu ia hanya terbawa emosi saja.

“Iya Mas. Ini aku, Yati.”

Melihat Yati sungguh datang, tak dapat ditahan rasa sedih dan harunya. Bahkan disaat begini, Yati masih bisa mengunjunginya? Setelah semua kelakuan kasarnya pada mantan istrinya itu? Sungguh ia wanita berhati malaikat.

“Maafkan aku Yati. Aku sudah berbuat terlalu buruk padamu.” ucap Arman di sela-sela nafasnya, yang tampak naik turun tak beraturan.

Yati hanya diam. Sungguh ingin ia berbicara panjang lebar. Namun terhalang oleh kesedihan hatinya. Tak tega jika dal keadaan begini pun ia masih menuntut Arman untuk membuka luka lama. Biarlah Arman akan tahu dengan sendirinya.

“Aku tak tahu kalau kamu difitnah oleh adikmu itu. Sungguh aku tak tahu itu Yati.” ucap Arman dengan mata mulai sembab.

Arman terdiam lagi. Tak mudah dalam kondisinya berbicara panjang lebar.

“Adikmu itu, Isma. Sungguh keterlaluan. Ia tega memfitnahmu, kakaknya sendiri. Padahal kau begitu baik padanya.”

“Dia memfitnahmu. Dikatakannya kau telah berselingkuh. Dia tunjukan foto itu, yang belakangan hanya foto editan semata. Itu aku tahu setelah diapun menghianatiku.”

“Ia berselingkuh di belakangku dengan temanku sendiri. Wisnu. Kau ingat Yati?”

Yati menatap tajam Wisnu, yang tampak menunduk tanpa pembelaan.

“Maafkan aku Arman. Sungguh aku khilaf atas segala kelakuanku. Aku sungguh tak berharap persahabatan kita putus begitu saja. Aku khilaf Arman.” ujar Wisnu seraya menekuri diri.

Tampak sesaat Arman terdiam. Nafasnya tampak memburu. Sesekali ia terbatuk-batuk keras.

“Uhuk, uhuk,…”

Terus saja Arman terbatuk seolah tak akan segera berhenti.

Yati dan Wisnu ketakutan. Ia takut terjadi apa-apa dengan jiwa Arman.

“Uhuk, uhuk, uhuk….”

Terdengar semakin keras saja batuk Arman. Bahkan kali ini diiringi dengan darah yang tampak terpancar dari mulutnya.

“Suster, suster!” seru Yati pada suster jaga, yang tergopoh-gopoh datang menghampiri.

“Tolong dia suster! Kasihan dia!” ucap Wisnu lagi dengan keras. Ia tak ingin lagi merasa bersalah pada sahabatnya itu.

“Cepat sus!”

Tampak suster itu datang berdua dengan temannya. Tampak cekatan dan terampil.

“Maaf bapak, ibu. Silakan tunggu diluar saja!” ujar seorang suster mempersilakan Yati dan Wisnu menunggu di luar.

“Nanti kami kabari lagi ya Pak, Bu. Mohon maaf ya.” ujar suster satunya seraya membukakan pintu bagi mereka berdua.

“Mas!”

Yati menatap pilu seraya air matanya berhamburan menetes membasahi bajunya. Ia sungguh khawatir akan keadaan Arman.

“Srek, srek, srek,”

Terlihat langkah dokter Andri tenang melewati lorong. Sesekali dilihatnya gawai untuk memastikan kondisi pasien yang membutuhkan darahnya itu.

“Hmmmm….. ternyata ada juga pasien yang sama denganku. Aku harus bergegas agar tak terlambat. Kasihan jika dia harus menderita lebih lama lagi.”

Tak lama kemudian, sampailah ia di ruang arsip rumah sakit itu. Sebuah ruangan yang tak terlalu luas, namun penataannya yang apik menjadikannya tampak rapi dan nyaman.

“Malam sus!” ujar dokter Andri ramah seraya mengulaskan senyum.

“Malam dok!”

Dokter Andri membetulkan letak kacamatanya, mengelap wajahnya yang sedikit kotor oleh debu seraya berkata,

“Sus, pasien yang membutuhkan golden blood ada di bangsal mana ya?”

Terlihat suster itu mengernyitkan kening. Mencoba berpikir untuk mencerna kata-kata dokter Andri.

“Pasien….butuh darah…” gumamnya seraya mengambil keyboard dan mencoba mengetikkan beberapa kata disana.

Tampak beberapa saat ia berjibaku dengan ribuan data digital.

“Oh iya dok. Ada. Satu pasien bernama Isma. Alamat Cengkareng Barat. Dia pasien yang baru masuk tadi pagi.”

“Hmmmm… baik. Ada di bangsal mana pasien itu?” tanya dokter Andri lagi.

“Saat ini ada di bangsal Melati empat, dengan suster jaga Suster Sherlina dan Suster Naya.”

‘Ah! Tadi aku kan dari sana. Bodoh sekali tadi aku tak sekalian mengecek data pasien itu lebih banyak.’ rutuk dokter Andri dalam hati.

“Berapa kantong yang dibutuhkan sus?” tanya dokter Andri lagi seraya mengira-ngira berapa banyak yang bisa didapatkan.

“Dia kehilangan banyak darah. Setidaknya tiga puluh hingga empat puluh persennya tlah hilang.” gumam suster itu pelan.

“Mungkin seribu mililiter cukup dok.” ujar suster jaga itu lagi.

“Baik. Terima kasih sus.” ujar dokter Andri seraya bergegas pergi.

“Hhhhhhhhhh….”

Terdengar desahan gelisah Yati dan Wisnu saling bersahutan. Tak saling berkata. Diam. Hanya dalam hatinya masing-masing berkecamuk berbagai perasaan. Antara sedih, ragu, takut, juga rasa bersalah.

“Kau….kenal Isma?” ucap Wisnu membuka pembicaraan.

Tampak Yati menghela nafas pelan dan dalam, lalu berujar.

“Sayangnya, bukan hanya kenal. Tapi lebih dari itu…”

“Kau?”

“Ya. Isma adik tiriku. Anak dari ibu tiriku. Adik yang begitu kusayang hibgga tak kubiarkan satu orang pun mengganggunya….”

Wisnu terdiam. Ia seakan tak yakin apa yang diucapkan oleh Yati. Karena apa yang selama ini didengarnya jauh berbeda.

“Kau tak perlu heran. Aku tahu persis apa yang dikatakannya padamu.”

“Tapi satu yang kau perlu tahu, dia masih adikku. Bagaimanapun kelakuannya padaku.”

Wisnu kembali diam. Ia tak menyangka jika Yati ternyata tidak seburuk yang diceritakan Isma padanya.

“Lalu, Arman….” ujar Wisnu lagi.

“Dia mantan suamiku. Yang bahkan tak pernah menceraikannya secara resmi.”

“Isma mengambilnya dariku. Dari kakaknya sendiri…”

Diam-diam Wisnu benar-benar mengagumi sosok Yati ini. Sosok yang bahkan tak pernah menyimpan dendam, bahkan setelah ribuan kali disakiti oleh Isma. Tak terlihat sorot mata dendam pada matanya. Yati benar-benar sosok manusia berhati malaikat.

“Krieeeet!”

Pintu IGD terbuka, dengan seorang dokter melangkah keluar.

“Dok!” ucap Yati dan Wisnu bersamaan.

Tampak dokter itu melepas sarung tangan karet dan meletakkannya di tempat sampah medis.

“Bagaimana keadaan sahabat saya dok?” buru Wisnu yang tak sabaran mendengar nasib Arman.

Dokter itu menatap Wisnu dan Yati bergantian.

“Diantara kalian, siapa yang keluarga?”

Sesaat tampak mereka berdua saling bersitatap, lalu berucap,

“Saya!” secara serempak.

“Jadi kalian berdua saudara pasien?”

“Ehm, sebenarnya secara teknis bukan dok. Saya sahabatnya, dan dia mantan istrinya.”

“Baik. Jadi begini……”

Yati dan Wisnu menunggu dengan tidak sabar penjelasan dokter.

“Hhhh…..”

“Kami meminta maaf yang sebesar-besarnya. Bagaimanapun kami sudah berupaya maksimal. Namun, soal hidup dan mati ada di tangan Yang Maha Kuasa…”

“Jadi…”

Tak kuasa air mata sudah mengalir dari mata bening Yati. Tak perlu menunggu penjelasan dokter lebih lanjut untuknya terisak-isak. Bulir bening itu tlah tumpah ruah memenuhi ruang hatinya.

‘Selamat jalan Mas Arman!’


Pelet Hitam Pembantu

Pelet Hitam Pembantu

Status: Completed Tipe: Author: Dirilis: 2021 Native Language: Indonesia
Sekonyong-konyong sebuah tas pakaian besar sarat isi menimpa tubuh mungil wanita berambut sebahu itu. Tak dikancingkannya retsleting dengan benar, hingga sebagian isinya berhamburan keluar."Aduh!"Wanita itu urung menutup wajah dan tubuhnya dari lemparan tas besar, hingga sempat mengenainya dan membuat tubuhnya tampak sesaat limbung, dan kemudian terjatuh duduk dengan lutut menghantam aspal jalanan.Penasaran dengan kelanjutannya? yuk segera simak cerita dibawah ini.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset