“Sama sekali tak ada kemajuan. Dia kehilangan terlalu banyak darah. Tubuhnya lemah. Tekanan darahnya menurun drastis. Detak jantungnya pun meningkat.” ujar suster Sherlina memperhatikan kondisi Isma yang belum juga menampakkan perubahan. Bahkan cenderung menurun.
“Penanggung jawabnya?” tanya dokter Andri lagi seraya menengok sekeliling.
Suster Sherlina mendengus kesal.
“Laki-laki tak bertanggungjawab itu? Sama sekali tak ada kabarnya. Mati kali!”
“Huss! Nggak boleh ngomong begitu.” ujar dokter Andri lembut, membuat suster tambun itu tersipu malu.
Sesaat diperhatikannya kondisi Isma yang terbaring lemah. Ditekannya nadi.
“Bahaya sus!”
“Jika tak cepat mendapat pasokan darah, saya khawatir ia akan mengalami koma.”
“Dan itu bisa berakibat fatal. Gagal jantung dan lain-lain.”
Sesaat suster Sherlina dan Suster Naya saling pandang.
“Lalu, apa yang bisa kita lakukan?” tanya mereka serempak.
“Sebenarnya yang kita butuhkan saat ini adalah keluarganya. Kita tak bisa bertindak sendiri. Keluarganya harus memaklumi apapun kondisinya.”
“Jangan sampai kita bertindak sendiri, sehingga nanti ada celah bagi pihak luar menyalahkan kinerja kita; mall praktek dan lain-lain. Sebisa mungkin itu kita hindari.”
“Dan keluarga juga harus kita kasih pengertian tentang resiko atas prosedur yang akan kita terapkan padanya.”
“Termasuk dengan kemungkinan terburuk?”
“Ya. Termasuk hal itu.” jawab dokter Andri tegas.
“Tapi dok…”
Dokter Andri menoleh.
“Darah pasien ini susah sekali didapatkan…” ujar suster Naya menengahi.
“Iya dok. Darahnya Rh-null…”
Dokter Andri tertawa, membuat kedua suster itu saling pandang dengan heran.
“Kenapa dok?” tanya mereka kemudian.
“Aku tahu itu. Dan insyaallah untuk urusan satu ini saya bisa menyediakan.”
Kedua suster itu terbelalak kaget.
“Dokter bisa? Benar?”
“Ya. Kenapa tidak? Toh, itu darahku sendiri.”
Tampak kedua suster itu bersorak bersama, dan mengucapkan,
“Alhamdulillah….. akhirnya ya.” ucap mereka berdua seraya meraupkan tangan di wajah.
“Jadi, untuk soal itu jangan khawatir. Memang, golongan darah ini susah sekali didapatkan. Tapi bukan berarti tak ada kan?”
“Dan aku bisa mendonorkannya…” ucapnya lagi dengan kalem.
“Dokteeer…..” ucap suster Sherlina, dengan tatapan haru penuh cinta.
“Ya sudah. Cepat telpon keluarganya lagi!” ucap dokter Andri cepat, yang segera dilakukan oleh suster Sherlina. Sedangkan suster Naya tampak sibuk mempersiapkan berkas.
—
“Dokter yakin?” ujar perawat itu menegaskan. Karena yang dibutuhkan pasien kali ini tak sedikit. Sedangkan stok darah bisa dibilang nol.
“Nggak apa-apa. Lakukan saja sus.” ucap dokter Andri seraya merebahkan tubuhnya di tempat tidur.
“Tapi sebanyak itu?” kembali suster itu menegaskan. Karena dokter Andri menuturkan akan menyumbangkan seribu mili darahnya untuk kesembuhan pasien kali ini.
“Itu jumlah yang terlalu banyak dok. Saya khawatir dengan keselamatan Anda.” ucap suster itu ragu.
Sesaat tampak dokter Andri berpikir keras, hibgga akhirnya memutuskan.
“Baiklah. Ambil lima ratus dulu saja. Jika memang nanti masih kurang, nanti bisa diambil lagi.”
“Tapi, itu pun masih terlalu banyak dok. Umumnya, orang akan menyumbangkan hanya sekitar duaratus hingga tiga ratus mili saja dok…”
“Nggak papa. Insyaallah saya kuat.” ucap dokter Andri lagi seraya tersenyum.
“Baiklah.”
Tampak sesaat suster itu mempersiapkan alat-alatnya di meja kecil di samping tempat tidur dokter Andri.
“Bagaimana dok? Sudah siap?” ujar perawat yang bertugas dibagian pengambilan darah bertanya pada dokter Andri.
Dokter Andri mengiyakan tanpa menjawab. Hanya anggukannya menandakan bahwa ia telah benar-benar siap.
“Maaf ya dok.” ujar perawat itu dan segera menancapkan jarum untuk mengambil darah yang dibutuhkan.
—
Wisnu berjalan tergopoh-gopoh dengan wajah sembab. Dia datang dengan Yati disampingnya. Keadaanya pun tak jauh lebih baik. Wajahnya terlihat murung dan bermuram durja.
“Nah, datang juga akhirnya Bapak ini.” ujar suster Sherlina berkacak pinggang.
“Oh, eh, …” ujar Wisnu gugup. Ia tahu karakter suster Sherlina. Ketus dan galak tak pandang bulu.
“Oh eh, oh eh!”
“Bapak ini ya. Istri sekarat bapak enak-enakan pergi jalan-jalan.” ujar suster Sherlina ketus.
“Maaf sus. Maaf. Teman saya baru meninggal tadi.”
“Itu bukan urusan saya. Urusan saya adalah bapak datang dan bertanggung jawab atas pasien ini.” ujarnya lagi dengan tatapan geram.
“Sekarang, mana darahnya?!” tagih suster lagi.
Tampak Wisnu kebingungan. Tadi terlalu sibuk menyesali Arman hingga sesaat terlupa pada apa yang dicarinya. Dan kini kembali ia tersadarkan atas tugasnya mencari donor darah bagi Isma.
Dengan gugup diambilnya gawai, dan ditelpon nomor yang tadi diberikan oleh admin aplikasi Giveblood.
“Ruhut, tuuuut, tuuut!”
“…..”
“Nggak diangkat sus.” ucapnya lemah.
“Lalu? Mau bapak biarkan saja istri bapak itu mati tanpa tertolong? Benar-benar suami tak berguna. Huh!” tukasnya lagi.
“Lantas bagaimana lagi?” ujar Wisnu pasrah.
Diliriknya sosok Yati yang diam membatu di samping Wisnu.
“Nah, apa aku bilang kan? Bapak ini memang benar-benar suami tidak bertanggung jawab. Istri sekarat, eh, malah enak-enakan pergi sama perempuan lain.” cibir suster tambun itu dengan bibir mencebik.
“Udah gitu, tanpa hasil lagi.”
Wisnu mati kutu. Tak bisa lagi ia berkata.
“Sudah! Tanda tangani saja surat ini!” tukas suster Sherlina lagi dengan galak.
“Ap-apa ini sus?” tanya Wisnu minta penjelasan.
“Pak, bisa baca kan?”
“Iy…iya…”
“Tuh baca. Sudah ada yang menjadi donor nya. Nggak harus menunggu bapak lagi.”
Sesaat tampak Wisnu melotot tak percaya.
“Be…benarkah ini sus? Suster tidak bohong kan?” sesaat tampak binar di matanya.
“Saya tidak sedang bermimpi kan?” ujar Wisnu meraih tangan suster Sherlina, yang langsung ditepisnya.
“Ah, apa apaan sih bapak ini? Nggak usah banyak drama deh pak. Tanda tangani saja di sini!” ucap suster itu lagi menunjukkan kolom di kertas itu.
Tampak Yati maju. Ingin juga ia melihat siapa dewa penolong adiknya itu.
“Eh, kamu! Ngapain kamu maju kesini? Kamu selingkuhannya si bapak ini kan?”
“Sayang. Cantik-cantik kok pelakor!” dengusnya kesal.
Sesaat Yati akan marah. Terpancing juga emosinya mendengar ucapan suster Sherlina yang tak ada remnya. Hingga terpikir untuk mendampratnya. Namun, belum juga niat itu terlaksana, tiba-tiba muncul dokter Andri yang berjalan lemah menuju mereka dari arah berlawanan.
“Hentikan itu sus!” ucap dokter Andri lembut. Tapi tegas.
“Dia calon istri saya.”
Degh!
Seketika suster Sherlina diam membatu. Matanya melotot, bibirnya melongo. Sungguh tak disangkanya jika dokter tampan incarannya itu ternyata sudah mempunyai kekasih. Dan itu artinya, hilang sudah rencananya menggaet si tampan itu.
Ditatapnya dokter Andri untuk memastikan.
“Ya. Sini Sayang!” ucap dokter Andri seraya menggandeng tangan Yati menjauh, meninggalkan tatapan heran suster Sherlina dan rekannya.
Bukan hanya suster Sherlina yang tercekat dan kaget dengan ucapan dokter Andri. Namun Yati dan Wisnu juga.
Sesaat mereka saling pandang.
“Dokter?!” ucap Yati pelan. Ditangkupkannya kedua tangannya pada mulutnya.
“Biarin saja. Biar dia nggak galak sama Mbak Yati lagi.” bisik dokter Andri seraya menarik Yati menjauh seraya tertawa-tawa.
“Jadi, siapa malaikat yang sudah menyelamatkan jiwa istri saya sus?” ujar Wisnu memotong lamunan suster Sherlina.
“Dia….” tunjuk suster Sherlina pada dokter Andri dan Yati yang tampak berjalan menjauh.