Ya. Tanpa disadari olehnya, janin Michelle sudah merasuk ke dalam tubuh Wisnu melalui anjing liar yang dibunuh oleh Wisnu. Janin itu berubah menjadi darah yang dengan mudah menempel pada kulit dan permukaan tubuh Wisnu. Mahluk itu merasa puas pada kekuatan tubuh Wisnu yang besar dan kuat, menjadikannya cocok dijadikan inang.
Diantara sadar dan tidak, terucap kata lirih dari bibir Wisnu,
“Ahkhkhkh… phanashhh….phanashhh…”
Dipegangnya keningnya dengan kepayahan menahan sakit. Sakit yang mendera hampir seluruh tubuhnya. Sakit yang hampir saja membuat saraf-sarafnya menjadi kacau dan melumpuhkannya.
Dahinya berdenyut-denyut, seperti ada yang menjalar di bawah lapisan kulitnya. Sesuatu yang tampak mengakar dan membelit. Sesuatu yang entah apa, namun memiliki energi yang begitu hebat untuk mendominasinya.
Begitu juga di tangan dan kakinya yang kini dipenuhi oleh tumbuhnya bulu-bulu halus dan hitam. Terlihat lebih gemuk berisi, dan berotot. Terasa begitu berdenyut-denyut. Sesuatu yang panjang, licin dan berdesir. Terasa merayap melalui pembuluh darahnya. Sesuatu yang nyata terasa, namun tak bisa dinetra karena berada jauh di bawah lapisan kulitnya.
“Arghghgh…” ujarnya seraya menggelengkan kepala, memamerkan mulutnya yang sekarang tampak sedikit menonjol, dengan hiasan taring dan barisan giginya yang tajam dan terlihat kuat.
“Arghghgh…”
Terlihat mulutnya terbuka lebar, memamerkan barisan gigi geligi putih kekuningan, dengan hiasan taring tajam di kanan kirinya. Menguarkan aroma panas binatang buruan dan nafsu membunuh yang kuat.
Tiba-tiba, terlihat tangannya memegangi dahinya yang dirasakan sakit dan panas luar biasa. Panas yang berkali-kali lipat dibanding ukuran normal. Panas yang berhasil membakar otaknya, hingga menyisakan sedikit saja kesadaran disana.
“Phanashhhh…phanashhh….”
Terus saja dipegang dan dipijitnya keningnya, yang semakin lama terasa semakin panas dan nyeri hebat.
“Brukkkk!”
Tubuh itu jatuh dan bergulingan di lantai untuk mengusir panas dari dalam tubuhnya. Panas yang semakin lama dirasakan semakin mendera.
“Grekk…grekkk…. Krakkk!”
Terdengar suara retakan layaknya tulang patah dari punggung Wisnu. Dan dari balik punggungnya muncul satu gumpalan kecil, serupa punuk tapi keras layaknya batu.
“Ahkhkhkh….. Ahkhkhkh….”
Tiba-tiba, dari dahi yang terasa sakit mendera hebat itu, tampak menonjol sebongkah tulang keras seumpama bisul yang cukup besar, dengan diameter lima sentimeter.
“Bretttt!”
Sebongkah tulang keras menonjol tepat di kanan dan kiri dahinya, merobek kulit kepalanya, meninggalkan luka berdarah. Tulang itu kering dan keras serupa tanduk saja. Hanya saja panjangnya tak lebih dari tiga sentimeter.
Kembali tubuh itu bergulingan ke kanan dan ke kiri di lantai. Penuh sudah seluruh lantai oleh darah yang menempel dan menggenang.
Tiba-tiba, sesaat tampak tubuhnya mengejang, bangkit dan disusul dengan teriakan hebat dari mulutnya yang menganga lebar.
“Aaaaaaaaaargh!”
Dan seketika…..
“Brukkkk!”
Tubuh itu jatuh pingsan. Dan secara perlahan berubah ke bentuk semula. Menjadi Wisnu dengan penampilan laki-laki normal.
—
“Brummmmm!”
Cepat dilajukannya kendaraan oleh dokter Andri demi mendengar kondisi Isma yang semakin mengkhawatirkan. Untung saat itu ada dokter Joko, salah satu dokter senior yang selalu menjadi andalan para junior.
‘Pasien itu harus diselamatkan,’ batinnya seraya menghidupkan kendaraannya. Tak lupa sebuah helm warna merah tampak gagah menghiasi kepalanya.
Tak dipakainya mobilnya. Kali ini ia sengaja menggunakan sepeda motor saja. Motor sport berwarna merah yang sudah sekian lama teronggok begitu saja dibsudut ruangan.
Motor sport yang didapatnya dari salah satu pasiennya yang berhasil sembuh dari sakit menahunnya sebagai ucapan terima kasih.
Sebenarnya ia sendiri tak terlalu mahir menggunakan sepeda motor. Larangan bu Medi ditambah banyaknya kejahatan di jalan raya membuatnya khawatir untuk menggunakan kendaraan ini. Namun karena dipikirnya ini malam hari dan suasana jalanan tak seberapa ramai, apalagi jarak yang ditempuhnya tak terlalu jauh, maka diputuskan menggunakan sepeda motor demi mengejar waktu.
‘Itung-itung cari angin,’ ujarnya seraya menaiki kendaraannya.
Dilajukannya sepeda motor dengan kecepatan tinggi. Terlalu nyaman dia berkendara hingga tak disadarinya angka spedometer sudah menunjukkan angka jauh diatas seratus. Namun karena jiwa mudanya bergejolak, tak ditahannya kecepatan itu, namun semakin ditambahnya, sehingga sesekali kendaraannya terasa ringan seolah terbang.
Malam ini memang malam yang cerah. Bulan pun tampak indah bertengger disana. Ditambah nuansa malam Minggu membuat banyak anak muda pun memanfaatkan lengangnya jalanan untuk kebut-kebutan. Dan sialnya, dokter Andri sama sekali tak mengetahui perihal itu.
Dan nahas, tepat di salah satu pertigaan, tanpa diketahui olehnya muncul beberapa pengendara lain yang melajukan motornya dengan ugal-ugalan. Sementara di ujung sana terlihat beberapa pemotor berbaris rapi untuk memulai ritual balapan liar.
Dokter Andri tak bisa menguasai kendaraannya saat tiba-tiba salah seorang pemotor menghajar bagian belakang motornya dengan kecepatan tinggi.
“Brakkk!”
Sesaat tampak kedua motor itu oleng. Dan belum sempat dikuasainya lagi kendaraan itu, dari arah yang lain muncul pengendara yang juga turut terlibat dalam tabrakan beruntun itu, menjadikan kedua orang sbelumnya semakin tak bisa mengendalikan kendaraan, dan seketika,
“Brakkkk!”
Sepeda motor mereka terlibat adu banteng dengan kendaraan lain dari arah sebaliknya, mengakibatkan keduanya terpelanting jauh ke tepi jalan.
“Ahkhkhkh!” ujar dokter Andri sesaat sebelum pingsan.
—
“Jadi begitu Mbak ceritanya?” ujar Mbok Minah mendengar cerita lengkap Yati.
“Yah. Begitulah Mbok. Akhirnya dia mendapatkan hasil dari apa yang diperbuatnya.” ujar Yati seraya meminum segelas teh hangat yang disiapkan oleh Mbok Minah sebelumnya.
“Memang Mbak ya. Yang namanya orang jahat itu, dimana-mana nggak bakalan tenang hidupnya.” ujar Mbok Minah seraya terkekeh.
“Tapi, biar bagaimanapun dia adik tiri saya Mbok….” kembali Yati menatap jauh ke luar jendela.
“Kami pernah dibesarkan bersama. Dan saya tahu persis kenapa dia berbuat begitu.”
“Dulu kehidupan kami memang bisa dibilang amat miskin. Seringkali dalam sehari hanya bisa makan satu kali. Itupun belum tentu ketemu nasi.”
“Saya dan Isma dulu sama-sama sering kali bekerja upahan di salah satu rumah warga. Apapun kami jalani asal ada imbalannya. Kadang beberapa ribu rupiah. Atau kadang kalau pas ketemu orang baik kami akan mendapatkan uang plus seplastik besar makanan.”
“Waktu itu memang karena saya yang lebih besar, maka lebih baik tetangga yang membutuhkan jasa tenaga saya. Dan otomatis Isma menjadi iri.”
“Semakin lama semakin tampak keiriannya. Tak hanya soal pekerjaan, bahkan soal pribadi pun Isma tak mau kalah dari saya.”
“Beberapa kali teman lelaki yang awalnya menyukai saya pada akhirnya jatuh ke pelukan Isma, dan bagi saya itu tak mengapa Mbok.”
“Hingga akhirnya saya mengalah. Saya pergi meninggalkan rumah setelah ayah meninggal dunia. Dan saya diterima di salah satu warung makan Tegal.”
“Kebetulan bapak pemiliknya baik. Sehingga selain bekerja, ada waktu buat saya melanjutkan pendidikan. Dan akhirnya saya dipertemukan dengan Mas Arman. Dan begitulah….”
“Pada akhirnya Mas Arman diambil oleh Isma. Namun pada akhirnya Mas Arman pun dikhianati olehnya.”
“Dan kini, Isma terbaring tak sadarkan diri dengan lelaki bernama Wisnu sebagai penjaminnya. Mungkin suami barunya Mbok…”
Mbok Minah tampak diam mendengarkan penuturan Yati. Sesekali dihirupnya teh panas seraya menghirup nafas dalam.
“Yah. Begitulah jalan hidup Mbak. Kadang kita tidak ada yang tahu. Tugas kita hanyalah menjalaninya dengan kesungguhan hati.”
Yati tersenyum.
“Iya Mbok.”
“Mbok mau tehnya lagi?” ujar Yati seraya mengambil teko untuk menuangkannya pada gelasnya dan Mbok Minah.
Namun, belum juga gelas itu berisi penuh, tiba-tiba tanpa disengaja gelas berisi air yang baru sepertiganya itu jatuh berantakan ke lantai.
“Mbok?!” ujar Yati heran, bersitatap dengan Mbok Minah yang sempat terpana tidak percaya.
Disaat yang sama tiba-tiba terdengar bunyi dering telepon.
“Kriiiing!”