“Kriiiing!”
Tak henti-hentinya telepon itu terus saja berdering, seolah menyampaikan kabar maha penting.
Dengan tergopoh-gopoh Mbok Minah datang dan mendekat, mengambil gagang telepon seraya berseru,
“Hallo! Selamat malam!” ujar Mbok Minah.
Terdengar beberapa saat mereka berbincang-bincang, sebelum akhirnya gagang telepon itu tergantung dengan nafas Mbok Minah tersengal-sengal. Sepertinya Mbok Minah menangis terlihat dari nada bicaranya yang gugup dan terbata-bata. Ada apa gerangan?
“Ada apa Mbok?” tanya Yati penasaran serta meraih gagang telepon itu dari tangan Mbok Minah.
“Halo! Selamat malam!” ujar Yati pada seseorang diseberang sana.
“Malam. Benar ini rumah keluarga dokter Andri?”
“Iya Bu. Kami keluarganya. Ada yang bisa kami bantu?”
“Begini Bu. Kami mau memberitahukan, bahwa saat ini dokter Andri dalam perawatan di rumah sakit Jakarta Hospital…”
Degh! Jantung Yati berdesir. Pikirannya kacau.
“Ada apa Bu? Apa yang terjadi?”
“Beliau mengalami kecelakaan. Kondisinya masih tak sadarkan diri. Bisa minta tolong keluarganya datang?” balas orang itu mengharap.
“Baik Bu! Kami akan segera kesana.”
—
Wisnu terbangun setelah seorang OB yang hendak membersihkan ruangan itu mendapatinya tengah tergeletak tak sadarkan diri. Rupa-rupanya keberadaan mahluk itu dalam tubuh Wisnu cukup menguras tenaga. Hampir satu jam lamanya Wisnu tergeletak pingsan akibat tak mampu menahan beban tersebut.
“Pak. Bangun Pak!” ujar OB seraya menggoyang-goyang punggung Wisnu dengan tangannya.
“Hmhmhmmm…..”
Terlihat tubuh itu menggeliat-geliat sebentar. Tampak tersadar dari pingsannya, dan membuka matanya pelan.
Namun, begitu melihat penampakan mata Wisnu yang sangat jauh berbeda dengan orang kebanyakan, seketika si OB tersentak kaget dan tersurut mundur. Karena, mata itu….adalah mata termerah dan terjahat yang pernah ada. Mata yang begitu haus darah.
“Astaghfirullah!” ucapnya seraya melompat mundur. Cepat disusutnya peralatan kebersihan itu, dan secepat kilat kabur, meninggalkan Wisnu yang terbengong kaget dengan reaksi OB yang menjerit ketakutan.
“Ada apa dengannya? Aneh?” gumamnya seraya mengikuti arah lari OB tersebut dengan anak matanya.
“Krieeeet!”
Terbuka pintu ruang perawatan dengan Isma di dalamnya.
Tampak seorang dokter dengan baju putih-putih keluar dari ruang perawatan. Sesaat tampak tangannya melepaskan sarung tangan karet dan mengambil nafas dalam, sebelum akhirnya berseru pada Wisnu yang tampak terduduk di bangku tunggu.
“Keluarga Ibu Isma?” ujar dokter itu pada Wisnu.
Wisnu yang baru menyadari kehadirannya sontak terlonjak, dan berseru,
“Ya dok. Saya suaminya.”
“Dokter! Bagaimana kondisi istri saya? Apakah sudah baik-baik saja?” tanya Wisnu tak sabaran.
Kembali dokter itu menarik nafas panjang. Terlihat seperti sedang mempersiapkan sebuah jawaban.
“Bagaimana kondisinya dok?” ujarnya lagi penuh kekhawatiran.
“Maaf pak. Kami sudah berusaha sekuat tenaga. Namun akhirnya Tuhan berkehendak lain. Darah terlalu banyak keluar dari tubuhnya. Tubuhnya terlalu lama mengalami kekurangan darah. Dia kehilangan sampai empat puluh persen lebih.”
“Sedangkan donor yang didapatkan hanya baru lima ratus mili. Sangat jauh dari yang seharusnya.”
“Mungkin akan lain halnya jika darah yang masuk bisa mencapai seribu mili. Setidaknya itu akan bisa membantu menetralisir racun yang masuk dan beredar dalam aliran darahnya dengan lebih cepat.”
“Kondisi ini diperparah dengan racun mematikan dari luka gigitan di tangan kirinya. Kalau boleh tahu, binatang apa yang sudah menggigit tangan Ibu Isma itu?” ujar dokter Joko memastikan.
“Anjing Dok. Anjing gila. Namun sekarang sudah saya bunuh dia Dok.” ujar Wisnu berapi-api. Merasa puas sudah memenangkan pertarungan itu.
Sesaat terlihat dokter Joko menatap Wisnu tajam. Lalu terlihat tangannya menggulirkan layar gawai.
“Apakah seperti ini penampilannya?” ujar dokter Joko memperlihatkan sesuatu digawainya.
“Ya pak. Ya. Persis itu. Hanya saja bulunya coklat penuh dari ujung ke ujung.”
“Hmmm….jadi benar kalau mahluk itu memang ada…”
“Pelik sudah ini….”
Sesaat kemudian…..
“Dengan apa Bapak membunuhnya?”
“Dengan balok besi pak. Saya hajar bagian belakang kepalanya hingga tulang tengkoraknya pecah.” ujar Wisnu terkekeh.
“Berapa jauh jarak Bapak dari anjing itu?”
Sesaat Wisnu terdiam. Terlihat sesuatu mengganggu pikirannya, namun tak mau orang lain mengetahuinya.
“Saya tak yakin Dok. Tapi yang pasti anjing itu sudah mati. Tengkoraknya pecah dan darah banyak berhamburan.”
“Darah?”
“…..”
“Apakah ada darah anjing itu mengenai Bapak?” ujar dokter Joko memastikan. Pandangannya menyelidik.
Wisnu mencoba mengingat-ingat kejadian kemarin. Namun tak ditemukannya sama sekali memori soal dia menghabisi nyawa anjing itu.
“Sepertinya tidak Pak.” ujar Wisnu menenangkan.
“Ahhh…syukurlah. Karena sangat berbahaya sekali jika Bapak sampai terkena muncratan darahnya. Walaupun sedikit.”
Wisnu mulai takut. Apalagi dirasakannya memang sekujur tubuhnya terlalu berbeda dibanding sebelum-sebelumnya. Terasa sangat panas dan lebih temperamen.
“Maaf Dok. Apa yang akan terjadi jika saya terkena percikan darahnya?”
Semakin tak sabar Wisnu untuk memastikan keadaannya.
“Resiko terkecil akan selalu dihantui mimpi buruk. Dan dalam beberapa kasus mereka mengalami depresi dan berhalusinasi, yang berujung pada hilangnya kesadaran diri.
“Lalu, resiko terbesar?!” ujar Wisnu waspada. Batinnya ketakutan jika hal ini diketahui orang lain.
“Mahluk dalam wadah anjing itu sepertinya sedang mencari tumbal baru… atau biasa disebut inang baru.”
“Jadi…” ujar Wisnu tertahan.
“Ya. Resiko terbesar adalah jiwa kita terpenjara bersama jiwa mahluk gaib dalam tubuh kita.”
“Memang tak selamanya kita dalam kondisi tak sadar. Sesekali kita akan beraktivitas layaknya orang normal.”
“Namun, jangan sampai ada yang mengusik jiwa tenangnya. Karena saat kemunculannya sesungguhnya adalah yang paling berbahaya. Jiwa mahluk gaib itu akan bangkit dan siap mendominasi tubuh inang itu.”
“Dia akan bereinkarnasi dalam wujud baru.”
“Dia akan menjadi mahluk setengah siluman.”
Astaga! Seketika darah di tubuhnya berdesir.
“Oke dok. Baik. Sekarang kembali ke topik. Bagaimana kondisi istri saya?” ujar Wisnu yang masih dilanda kecemasan.
Terlihat dokter Joko mengucapkan beberapa kata yang membuat tubuh Wisnu kembali bergetar hebat. Dan disaat itulah terjadi perubahan yang baru saja mereka perbincangkan.
“Astaga! Istighfar Pak. Istighfar!” ucap dokter Joko berkali-kali.
Tak menggubris ucapan dokter Joko yang terpaku pada tempatnya, sosok Wisnu perlahan tapi pasti berubah. Hawa haus darah segera tercium.
Sekujur tubuhnya dipenuhi rambut hitam yang lebat dan kaku. Kuku-kukunya memanjang dan tampak hitam. Tangannya berubah lebih besar dan berbulu. Sedangkan wajahnya perlahan-lahan berubah jauh lebih ganas, dengan taring mencuat dan gigi-geligi hitam meruncing. Sepasang tanduk hitam menonjol pula dari dahinya yang mengalirkan darah segar.
“Arghghgh!!!” ujar Wisnu seraya menggelengkan kepala, memamerkan surainya yang terlihat panjang dan gimbal.
“Astaghfirullah…. Tobat Pak! Tobat!” ujar dokter Joko beringsut menjauh.
Mendapati mangsanya mundur, tampak semakin liar pula Wisnu mengejar. Nafsu membunuhnya meningkat cepat.
“Whapppp!”
Dalam sekali hentakan kakinya, ia telah mampu menahan laju dokter yang sedianya akan melarikan diri.
“Ampuuun! Ampuuun! Hkkhhhh…hkhhhh!” ujar dokter Joko saat tangan Wisnu menarik Batang lehernya hingga badannya terangkat. Nafasnya tampak terganggu, karena cengkeraman Wisnu yang begitu kuat pada tubuhnya.
“Arghghgh!” ujar Wisnu seraya memamerkan sepasang taring tajamnya, membuat nyali dokter Joko semakin ciut.
Dan dalam hitungan detik, tanpa perlawanan apapun yang cukup berarti, mahluk itu sudah mencabut jantung dokter Joko dari tempatnya, dan melahapnya mentah-mentah.
“Hghghghhhrrrrr…” hanya gelengan itu yang terlihat saat perlahan-lahan tubuh dokter Joko terkelupas dagingnya dan disantap dengan nikmat oleh mahluk buas yang mendominasi tubuh Wisnu.
“Arghghgh….” ujar Wisnu lagi seraya mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan menghempaskan sisa makan malamnya pada kolam di depan rumah sakit, membuat para pengunjung berlarian panik.