Wisnu meradang. Gerahamnya terkatup erat hingga tampak urat lehernya bertonjolan mengeras.
Ia kecewa dan marah.
“Kurang ajar!”
“Brakkkk!” dipukulnya sebatang pohon beringin yang tampak berdiri kokoh di depan rumah itu hingga terlihat geroak dan seketika tumbang.
Bagaimana mungkin ular yang sedianya untuk mematuk dokter Andri malah kini berbalik tunduk di tangan kedua wanita itu. Dan yang lebih hina lagi, kedua ular itu saat ini terkurung dalam karung kain berwarna putih.
“Arghghgh! Kurang ajar!” dengusnya lagi seraya pergi menjauh. Membiarkan kedua ular kobra itu tunduk dalam kekuasaan kedua wanita berbeda usia itu.
—
“Bagaimana Mbak? Apa sudah aman?” ucap Laras berseru pada Yati yang berhasil menjauhkan ular itu dari mereka.
“Aman! Sudah ditangkap Mbak.” ujar Yati seraya membawa karung berisi ular itu.
“Hhhhhhhhhh…. untung ada Mbak Yati dan Mbok Minah, dua jagoan di keluarga ini.” ujar Laras mendekati kedua wanita itu, yang memegang kantong besar berisi ular. Tampak sesekali menggeliat-geliat keras dalam karung, untuk kemudian kembali terdiam.
“Ya sudah. Enaknya diapain nih ularnya Mbak?” ujar Yati sambil terus mengawasi kantong itu. Khawatir jika sewaktu-waktu lepas dan membahayakan mereka.
“Entahlah. Mungkin dikasih aja sama tukang jamu di Dadap sana. Pasti mereka senang.”
Namun, baru saja dirinya selesai berbicara, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh sebuah bunyi dentuman keras.
“Dummmm!”
Mereka saling berpandangan.
“Ada apa? Ada apa ini?” ujar Laras seraya memperhatikan sekeliling.
Mbok Minah dan Yati pun sama. Tampak kebingungan dengan keadaan itu. Apalagi di rumah itu sama sekali tak ada bahan berbahaya yang bisa menyebabkan ledakan.
“Srrrrrrrrrakkk!”
Terdengar bunyi pasir yang seolah dilemparkan seseorang pada atap rumahnya.
Disaat yang sama, terdengar suara ketukan pintu yang cukup keras dari pagar depan rumahnya.
“Teng teng teng!!”
Laras dan Yati saling berpandangan. Mereka heran karena tak biasanya ada tamu. Apalagi pada tengah malam begini.
“Jangan dibuka!” bisiknya pada Yati, yang dibalas dengan anggukan saja.
“Teng teng teng!”
Lagi-lagi terdengar bunyi ketukan itu. Dan lagi-lagi pula dilarang untuk dibukakan pintu baginya.
Namun setelah puluhan kali ketukan keras itu terus saja terdengar, mau tak mau geram juga Yati.
“Biar aku saja yang menghadapinya Mbok! Kalian tunggulah disini!” ujarnya pada Mbok Minah yang tampak gemetar ketakutan. Sementara Laras telah pergi entah kemana.
“Jangan Mbak. Bahaya disana. Jangan lakukan itu!” ujar dokter Andri, namun tak dihiraukannya.
“Biar saja dokter. Dia harus mendapatkan penyambutannya.”
Yati dengan sebatang logam di tangan untuk siap-siap jika ada bahaya menghadang. Rupa-rupanya dia sudah terlanjur geram dengan tingkah tamu misterius itu.
“Srek srek srek!” terdengar langkah kakinya beradu dengan kerikil halaman, diiringi dengan seretan Batang besi pada kerikil yang menimbulkan dentingan yang menyayat hati.
“Teng teng teng!”
“Siapa itu?!” serunya sekali lagi dengan tangan gemetar. Bagaimanapun ia seorang wanita, yang mempunyai rasa takut juga.
Tak ada jawaban.
Yati penasaran. Ingin rasanya langsung menghampiri pintu itu dan membuat perhitungan. Namun urung dilakukannya. Nyalinya tak cukup kuat.
Setelah terdiam beberapa saat, Yati berjalan memutar. Ia akan mengambil jalan aman. Ia ingin memastikan siapa tamu misterius itu. Ia akan mengintip dari lobang pagar dari jarak yang agak jauh di sebelah kanan. Jarak sepuluh meter tentu akan lebih aman baginya.
Pelan-pelan diintipnya melalu lubang kecil di tembok itu. Sedikit kesulitan hingga memutuskan untuk naik sedikit ke atas pagar. Dengan jarak sejauh itu tentu ia akan bisa melihat dengan jelas posisi si tamu tak diundang itu. Dan itu artinya ia dengan mudah bisa menyiapkan strategi selanjutnya.
Namun, baru saja kakinya naik ke atas pagar, tiba-tiba sebuah tangan besar dan berbulu menariknya cepat dari balik pohon besar dan memberinya sebuah pukulan keras pada tengkuknya hingga membuatnya tak sadarkan diri.
“Brakkk!”
—
“Mbak Yati kemana Kak?” tanya Laras yang baru keluar dari kara mandi dan tidak mendapati Yati ada diantara mereka.
“Tadi dia keluar. Sudah kakak larang tali dia bersikeras.” ujar dokter Andri tegang. Apalagi sampai sejauh ini belum juga tampak tanda-tanda Yati akan kembali.
Laras penasaran. Dilihatnya jam di tangan kirinya.
“Sudah lima belas menit Kak.” bisik Laras lirih.
“Dan dia belum kembali.”
Tiba-tiba terdengar bunyi keras dari arah gerbang.
“Trang!”
“Aduh!”
“Hei! Siapa itu?” ujar Laras seraya mengintip dari jendela kaca.
Disana, di pintu gerbang itu, terlihat sesosok perempuan dengan Batang besi tampak menenteng tubuh seorang laki-laki. Darah tampak menetes dari kepalanya.
“Siapa Laras?” tanya dokter Andri penasaran.
“Mbak Yati! Dia sudah berhasil membekuk penjahat itu. Dan sekarang dia membawanya kesini.”
Yati membawa sosok pria itu masuk ke depan pintu. Dibawanya dengan kasar pria itu dengan menjambak kepalanya. Dibiarkannya kepala berdarah itu meneteskan darahnya membasahi lantai.
“Tok tok tok!”
Sekonyong-konyong Mbok Minah membuka pintu dan mempersilakan Yati masuk. Laras mengikuti dibelakangnya.
Namun, berbeda dengan reaksi Laras dan Mbok Minah yang gembira dengan kedatangan Yati, dokter Andri justru mencurigainya.
“Laras! Mbok! Jangan dibukakan pintu untuknya!” seru dokter Andri keras seraya mencoba turun dari tempat tidur, namun kembali terjatuh karena lukanya yang belum lagi sembuh.
“Kakak!” ujar Laras memburu kakaknya, dan membantunya kembali ke tempat tidur.
“Katakan pada Mbok Minah. Jangan buka pintu itu. Dia bukan Yati. Hssssss……” ujar dokter Andri meringis menahan sakit dari luka di paha kanannya. Tampak mengeluarkan darah akibat terjatuh tadi.
Laras segera bangkit dan mencoba menghentikan tindakan Mbok Minah. Namun terlambat. Pintu sudah dibuka lebar, dan Yati tampak berdiri gagah dengan menenteng tubuh Wisnu yang tergeletak pingsan. Darah menetes dari keningnya.
“Mbak baik-baik saja?” ucap Mbok Minah menyambut Yati.
Namun, bukannya tersenyum seperti biasanya, kali ini reaksi Yati sangatlah aneh. Tatapan matanya kosong. Berdirinya pun tak lagi seperti Yati yang biasanya. Kali ini terlalu mirip dengan laki-laki. Gagah dan terlihat terlalu kekar untuk ukuran wanita selembut dia.
“Mbak….Mbak Yati….”
Mbok Minah mencoba mendekat dan menatap mata Yati lebih dekat. Namun segera ditariknya mundur kakinya demi didapatinya mata Yati bukanlah matanya. Ada sorot mata merah penuh kebencian tersimpan disana. Tampak begitu merah menyala-nyala.
“Mbak Yati…istighfar Mbak….” ucapnya lagi. Kali ini dengan menjaga jarak.
Sesaat terlihat Yati melirik dengan ujung matanya. Bibirnya tersungging seulas senyum sinis.
“Srek srek!”
Dilangkahkan kakinya maju beberapa tindak, dan kembali berhenti. Tangan tua Mbok Minah menghalangi langkahnya.
“Istighfar Mbak….istighfar!” serunya dengan mata berlinang. Sungguh ia tak tega melihat kondisi Yati yang bagaikan mayat hidup begitu. Pandangannya kosong dengan muka pucat.
Diliriknya lagi sosok wanita tua itu, dan di detik selanjutnya,
“Brakkkk!”
Tubuh tua itu terlempar beberapa tombak menghajar dinding. Tangan Yati yang biasanya lembut kali ini benar-benar berbeda. Kuat dan bertenaga. Tubuh Mbok Minah yang tak kurang dari lima puluh kilo itu berhasil dilemparkannya hanya dengan sedikit tenaganya saja.
“Ahkhkhkh!” pekik dokter Andri tak percaya. Bibirnya ternganga seketika.
“Mbak Yati…istighfar Mbak…” gumam Mbok Minah seraya berusaha bangkit dari jatuhnya.
Terlihat ia akan bangkit dan mencoba menghalangi jalannya Yati, namun urung dilakukannya. Lemparan keras itu menyebabkan sekujur tubuhnya terasa remuk. Hancur dan tak bertenaga.
“Mbak……tol…long….henthi….khannn….itttuuu…h” ucapnya sebelum jatuh terkulai.
Mendapati wanita tua itu tergeletak tak sadarkan diri, kembali Yati maju dan mencoba mendekati dokter Andri yang terbaring tanpa daya di tempat tidur.
“Hmmmm…. sekarang saatnya kau mati.” gumam Yati pelan seraya matanya menatap tajam pada sosok didepannya.