“Pak, Bu. Hari ini saya pamit ijin dulu ya. Mau pulang kampung. Kebetulan nenek sakit.” izin Bi War dan Melati suatu pagi. Tampak mereka sudah berdandan rapi dan siap untuk beranjak pergi.
Karena mereka izin baik-baik, apalagi dengan alasan orang tua yang sakit, maka dengan segera merta diizinkannya. Bahkan tak lupa pula dibekalinya mereka dengan sejumlah uang.
“Nggak papa kan Bu? Paling juga dua hari disana. Setelah selesai langsung balik kesini lagi.” ujar Melati menambahi.
“Iya. Nggak papa. Selesaikan urusan dulu. Kesehatan orang tua lebih penting.” ujar Bu Medi ditanggapi senyum oleh pak Sutawijaya.
Selesai meminta izin, berangkatlah mereka berdua. Namun bukannya pulang kampung seperti izin sebelumnya, namun tujuan diarahkan tempat lain.
Distopnya sebuah angkutan warna ungu muda berangka nol lima tujuh. Dan segeralah naik mereka berdua. Bersebelahan dibelakang sopir angkot.
“Kemana kita Ambu?” tanya Melati keheranan. Dia memang tak tahu arah tujuan mereka.
“Udah. Ikut Ambu saja. Nanti kamu bakalan tahu sendiri.” bisik ambunya tanpa mau memberitahu.
Selang setengah jam kemudian, sampailah mereka di suatu tempat. Terletak diantara perbatasan Jakarta dan Bogor. Suatu tempat yang sunyi, dingin dan sejuk. Udara masih bisa mengalir lancar dan menyegarkan.
“Kita turun sini Ambu?” tanya Melati yang diiyakan ibunya.
Dilangkahkannya kaki menuju sebuah rumah sederhana. Terlihat cukup asri dari depan. Terdapat beberapa pohon mangga menutupi halamannya yang segar dengan rumput Jepang menutupi tanah layaknya permadani.
Langkah mereka hati-hati. Tak ingin rasanya cepat-cepat sampai rumah itu. Terasa empuk dan dingin di kaki.
“Ayo Mel!” ujar ibunya tak sabar.
“Iya Ambu.”
Namun, baru saja diangkat tangannya untuk mengetuk, tiba-tiba pintu itu sudah terbuka dengan sendirinya.
Sesosok tua tampak duduk tak jauh dari mereka. Setelah hitam dan ikat kepala batik melengkapi penampilannya. Ditambah jenggot panjang putih yang menjurai, membuat penampilannya semakin tampak horor.
“Hehehehe… Jangan takut anak manis. Masuklah! Aki sudah menunggu kedatangan kalian berdua.”
Melati kaget dan beringsut mundur. Nampak rona ketakutan dari wajahnya yang mendadak pucat pasi.
Ditatapnya Bi War disebelahnya.
“Nggak papa. Jangan heran. Memang aki Buyut ini terkenal kesaktiannya.” bisik Bi War pada putrinya.
Lalu, mereka berdua pun masuk dan menceritakan maksud kedatangannya. Sementara Aku Buyut tampak mengangguk-angguk seraya mengelus jenggotnya yang sesekali tertiup angin.
“Jadi begitu ceritanya Ki.” tutup Bi War menyudahi ceritanya.
Laki-laki tua itu tampak mengangguk-angguk saja dengan takzim sambil mendengar ceritanya. Dan setelah beberapa saat terdiam, lalu berujar.
“Ehm…..sebenarnya itu bukan perkara susah. Mudah. Mudah sekali buat aki.” ujar aki Buyut seraya menjentikkan jari kelingking.
“Jadi bisa kan aki menolong kami?” tanya Bi War penasaran.
“Jelas. Kamu itu seperti belum pernah kesini saja. Bukankah kamu sering kesini?” tanya aki Buyut yang ditanggapi dengan senyum serba salah dari Bi War.
Melati melihat gelagat aneh dari ibunya.
“Jadi, Ambu pernah kesini sebelumnya?” sergah Melati heran. Karena sama sekali tak pernah hal itu diceritakan oleh ibunya.
“Ah, itu sudah lama sekali. Iya kan Ki?” jawab Bi War seraya mengerlingkan mata pada aki Buyut. Dan tampak aki Buyut menganggukkan kepala.
“Hmmmmm… jadi, siapa ini yang mau aki tolong lebih dulu? Kamu atau anakmu?” tanya aki Buyut seraya menatap keduanya.
“Bagaimana kalau saya terlebih dulu saja aki?” ujar Bi War menatap penuh harap pada laki-laki tua itu.
“Hmmmm…. rupa-rupanya sudah tak sabar kau Warsinah?” ujar aki Buyut seraya terkekeh.
“Baiklah. Nah, kau Melati. Pergilah keluar dulu. Ada sesuatu yang harus aku kerjakan bersama ibumu.”
“Iya Melati. Kamu tunggulah dulu sebentar di luar. Nanti Ambu panggil kamu kesini kalau ritual oleh aki Buyut sudah selesai.”
“Baik Ambu.” ujar Melati seraya melangkahkan kaki keluar.
Dia duduk di teras menghadap ke luar. Udara kampung yang segar. Sudah lama tak dirasakannya udara sesegar ini. Paling hanya enam bulan sekali. Saat dia dan ibunya menengok Kakek dan nenek di Bogor. Juga ayahnya.
Lama menunggu, terasa angin semilir membuatnya terasa sedikit mengantuk. Ditambah perjalanannya yang cukup menyita waktu membuat badannya terasa lelah dan kaku. Tapi ditahannya kantuk seraya memperhatikan capung-capung yang beterbangan kian kemari.
Lama menunggu, ditengoknya jam di tangan kirinya.
“Hmmmm…. sudah setengah jam. Lama juga ya?” gumam Melati seraya bangkit meluruskan pinggang.
“Ngapain aja sih mereka? Ritualnya kayak gimana?” ujar Melati penasaran.
Lalu dilangkahkannya kaki menuju pintu masuk. Namun, alangkah terkejutnya saat didengarnya suara ibunya. Terdengar merintih-rintih. Seperti orang kesakitan.
“Ah, apa yang terjadi dengan Ambu?” batinnya cemas.
“Jangan-jangan Ambu disiksa oleh aki Buyut.”
Seketika melintas bayangan-bayangan ketakutan yang seringkali dibacanya di media sosial; tentang dukun yang membunuh pasiennya, dengan cara dimutilasi kemudian dikubur dalam adonan semen.
Melati cemas. Dan semakin cemas saat berkali-kali didengarnya suara ibunya yang merintih kesakitan. Juga terdengar beberapa pukulan. Fiks, Ambu disiksa.
“Ambu…..” batin Melati cemas.
Melati tak mau jika ibunya diperlakukan dibunuh. Ia masih menginginkan ibunya. Ia masih butuh Ambu.
“Ambu harus tetap hidup.” batin Melati dengan muka menegang. Digenggamnya erat kepalan tangannya. Ia siap menolong ibunya jika laki-laki itu benar berencana jahat pada ibunya.
“Satu, dua ti….”
Dan dengan sekuat tenaganya, didorongnya pintu untuk menyelamatkan ibunya.
“Brakkk!”
Pintu terbuka lebar.
Namun, bukan adegan pembunuhan yang dilihatnya. Namun keadaan yang sangat jauh diluar perkiraan. Tampak ibunya dan laki-laki tua itu dalam keadaan tanpa busana sama sekali. Dan….mereka….mereka sedang bercinta. Ibunya bercinta dengan seorang laki-laki tua.
“Ambu?!” seru Melati melihat keadaan ibunya.
Seketika kegiatan sepasang laki-laki dan perempuan dewasa itu berhenti. Keduanya menatap nanar padanya.
Aki Buyut segera menghentikan kegiatannya. Ia mundur seraya berujar,
“Hei! Kau lupa menutup pintunya?” tanya aki Buyut pada Warsinah, sementara ibunya masih tampak bengong. Ia sama sekali tak siap akan dipergoki anaknya dalam keadaan begitu rupa.
“Brakkk!” keras Melati menghantam daun pintu.
“Apa yang kalian lakukan? Perbuatan apa? Sungguh tak tahu malu!”
“Ingin mati saja aku memiliki ibu seperti Ambu.”
Warsinah cepat memungut bajunya yang terhampar di lantai. Dipakainya dengan cepat. Bilang sudah kenikmatan yang baru saja direguknya bersama lelaki tua itu.
Begitu juga dengan aku Buyut. Segera dipakainya kembali setelan hitam yang sedari tadi sempat dicampakkannya begitu saja di lantai.
“Melati! Dengarkan ibu Nak. Ini tak seperti yang kamu bayangkan.”
Melati berlalu. Ditutupnya keras pintu itu hingga menimbulkan suara tak nyaman.
“Ibu bisa jelaskan nak.” ujarnya lagi.
Jelaskan apalagi Ambu. Sudah jelas-jelas Ambu berkhianat pada Abah. Ambu seorang pendosa.”
Melati menangis di teras. Air matanya berlinangan. Tak siap ia menerima kenyataan perih. Ibunya ternyata melakukan hal yang begitu hina. Begitu membuatnya terluka.
“Melati tak menyangka Ambu. Melati pikir Ambu adalah seorang yang sempurna. Sungguh Melati tak habis pikir, bagaimana Ambu mampu berbuat semacam itu. Melati kecewa Ambu.” teriaknya sambil terisak-isak. Ditetapkannya wajah pada lututnya.
“Melati. Ambu bisa jelaskan Nak.” suara Bi War terdengar lembut. Lebih lembut dari biasanya.
“Jelaskan apalagi Ambu? Melati kecewa!”
Bi War duduk disebelah Melati. Dirapikannya pakaiannya yang tadi asal pakai saja. Begitu juga kerudungannya yang asal saja dipakainya.
“Nak….boleh Ambu berbicara?” ucap Bi War setelah tangis Melati reda.
Tanpa jawaban, Melati hanya mengangguk kan kepala. Ia siap mendengarkan apa penjelasan busuk dari ibunya. Ibu yang ketahuan selingkuh dengan orang asing di depan matanya sendiri.
“Melati….apakah Melati tidak pernah merasa heran dengan hubungan Ambu dan Abah?” tanya Bi War pelan.
Melati menatap ibunya.
“Melati tahu kan kalau Ambu jarang menengok nenek dan kakeknya? Juga Abah?”
Melati mengangguk.
“Melati…” ucap BI War seraya mengusap rambut panjang Melati.
“Dia itu bukanlah abahmu Nak.” ucap Bi War pelan.
Degh!
Melati kaget.