“Ya Nak. Dia bukanlah ayahmu.” ulang Bi War sekali lagi.
Melati mendongak. Ditatapnya wajah ibunya sekali lagi.
“Kebohongan apalagi yang akan kau buat Ambu?” Isak Melati terdengar lagi. Bulir bening kembali mengalir melewati pipinya yang ranum.
“Iya nak. Ambu tak bohong. Ambu berani bersumpah.” ujar ibunya sekali lagi.
“Lalu, siapa ayah Melati sesungguhnya Ambu? Siapa?!” ujar Melati keras.
“Dia…..dia….” ucap Bi War tertahan.
“Siapa Ambu? Jangan Ambu katakan lelaki tua itulah ayah Melati. Bukan kan Ambu?! Bukan kan?!” jerit Melati menyayat hati.
Bi War tertunduk.
“Sayangnya iya Nak. Iya. Dialah ayahmu yan g sesungguhnya…..” ucap Bi War pelan. Namun menusuk jauh ke lubuk hati.
—
Yati terperanjat. Kaget dengan cerita Mbok Minah. Bahkan kopi yang diminumnya sempat tersembur keluar.
“Ah!…Maaf. Maaf Mbok.” ujar Yati seraya mengelap baju Mbok Minah yang basah terkena semburannya.
“Nggak papa. Nggak papa. Memang kisah ini agak mengagetkan. Mbok sendiri juga bersikap sama saat mendengar cerita itu.”
Yati menatap Mbok Minah.
“Siapa yang bercerita Mbok?”
“Melati. Melati sendirilah yang menceritakannya pada Mbok.” ucap Mbok Minah seraya menatap jauh.
—
Bagai tersengat aliran listrik, Melati terperanjat kaget. Matanya nanar melihat wajah ibunya.
“Iya nak. Dialah ayahmu yang sesungguhnya.” ucap Bi War pada Melati. Ia paham benar jika Melati akan kaget dengan pengakuannya.
“Bagaimana bisa Ambu? Bagaimana bisa?” jerit Melati tertahan.
“Begitulah kenyataannya nak. Ambu tak pernah bohong padamu.”
Melati masih tak percaya. Ditatapnya lagi wajah ibunya meminta ketegasan.
“Lalu Abah?”
“Abahmu hanyalah pria bodoh dan pemalas di kampung sana. Dialah yang mau menutupi kehamilan Ambu saat Ambu pulang kampung dalam keadaan hamil tua. Dia mau mengakui kehamilan Ambu adalah karena ulahnya.”
“Dan orang kampung percaya? Kakek nenek?”
“Kami menyimpan rapat-rapat rahasia ini agar tak sampai terbongkar siapapun. Asalkan…”
“Asalkan apa Ambu?”
“Asalkan Ambu mau menanggung kehidupan abahmu itu sehari-harinya.”
Kali ini Melati paham, mengapa tak pernah terlihat Ambu dan abahnya mesra sebagaimana layaknya sepasang suami istri. Dan tak pernah sedikitpun abahnya menunjukkan perhatian layaknya seorang ayah pada putrinya.
Dan tak pernah sekalipun ibunya menyesalkan kelakuan abahnya yang hanya nongkrong-nongkrong saja setiap hari di pos ronda. Tak pernah mau berusaha untuk bekerja.
“Jadi….Melati ………”
Bi War memeluk pundak putrinya. Ia tahu kepiluannya. Bagaimanapun ia sudah pernah memikirkan hal itu. Sebusuk-busuknya bangkai yang tersimpan, suatu saat akan tercium juga.
“Maafkan Ambu ya Nak. Maafkan!” bisik Bi War pelan.
Sementara Melati hanya bisa merenung sembari matanya menatap kosong ke depan. Jauh.
—
“Jadi bagaimana? Kamu siap menerima amalan ini?” tanya aki Buyut pada Melati.
Sungguh pun ia tahu bahwa laki-laki tua itu adalah ayahnya, namun masih enggan dalam hatinya untuk memanggil ayah.
“Dia siap Ki.” jawab Bi War mewakili putrinya, sekalipun sedari tadi Melati hanya diam membisu.
Kini sudah tampak Melati duduk di kursi kecil menghadap ke Utara. Selembar kain batik melilit tubuhnya. Hanya selembar kain itu. Tak diperkenankannya menggunakan kain apapun lagi.
Melati masih diam tanpa gerak sedikitpun. Hatinya masih kesal. Belum bisa berdamai dengan kenyataan.
Diguyurnya pelan seluruh tubuh Melati dengan air bunga tujuh rupa yang sudah dipersiapkannya dalam gentong ukuran sedang. Terlihat bibir aki Buyut berkomat-kamit merapal mantra. Entah apa yang dibacanya. Hanya terdengar bisik-bisik tak jelas saja.
Tujuh kali aki Buyut melakukan gerakan serupa. Guyuran air kembang dengan rapalan doa berbahasa Sunda yang tak seberapa dimengerti Melati. Pun tak dirasakannya sesuatu yang berbeda. Hanya dingin dan wangi sebagaimana air mandi biasa.
Namun, beberapa detik setelah siraman terakhir, Melati merasakan dingin menyelimuti seluruh tubuhnya. Dingin yang luar biasa. Terasa seperti ditimbun dalam ratusan liter air es. Hampir saja dia membeku kedinginan jika tak buru-buru didekapnya kedua tangannya lebih erat.
Tampak asap keputihan mengepul, keluar dari tubuh Melati yang tiba-tiba saja tangannya tak sanggup menahan kain itu untuk terus bertahan menutupi tubuhnya. Dan kain itu jatuh begitu saja ke tanah.
BI War yang berniat akan mengambil kain itu untuk menutupi kembali tubuh putrinya dilarang oleh aki Buyut. Tak tega tubuh telanjang putrinya terlihat oleh aki Buyut. Ia khawatir aki Buyut akan bertindak lebih. Apalagi dilihatnya tubuh putrinya itu kini menggigil kedinginan.
“Biarkan saja. Biar air mantra ini benar-benar meresap masuk kedalam wadagnya.” bisik aki Buyut.
Bi War mundur beringsut. Tak berani ia membantah apapun ucapan aki Buyut. Ia sudah tahu betul bagaimana kadar kesaktian dan kekejamannya. Tak jarang ia akan menyakiti pasien yang tak menuruti ucapannya.
“Plakkk!!”
Tiba-tiba aku Buyut memukul punggung kanan Melati dengan tiga jari kanannya. Walaupun terlihat seperti biasa saja; ringan dan tanpa tenaga, tapi berefek besar pada Melati. Tiba-tiba tubuh Melati tak lagi menggigil. Namun duduk diam dan tegak. Tak lagi dihiraukannya tubuhnya yang saat ini dalam kondisi telanjang.
“Melati binti Sukarya!” seru aki Buyut tiba-tiba.
“Iya aki!” ujar Melati tiba-tiba. Jelas dan tegas. Hilang sudah segala kebencian yang tadi menyergapnya.
“Berdiri!”
Melati langsung berdiri. Berdiri dan bersikap layaknya manekin. Tegak dan kaku. Tanpa ekspresi.
Aki Buyut berkeliling. Meneliti inchi demi inchi tubuh gadis muda yang tanpa tertutup sehelai benangpun itu.
“Hmmmm…. cantik. Persis ibumu sewaktu muda dulu.” ujar aki Buyut seraya mengerlingkan nakal pada Bi War.
“Jangan aki. Dia anakmu! Jangan nodai dia!” ratap Bi War lirih. Khawatir jika Melati akan dimangsa ayah kandungnya.
“Iya! Aku tahu itu. Diamkan kau Warsinah!” ujar aki Buyut ketus, hingga Bi War terdiam kembali. Mukanya ditekuk takut.
“Sekarang, tunjukkan dimana akan kutanam benda penarik ini?” tanya aki Buyut seraya menunjukkan satu benda berkilauan.
Melati masih diam. Tanpa ekspresi.
“Tunjukkan!” seru aki Buyut lagi.
“Disini.” ujar Melati seraya menunjukkan payudara kiri.
“Baiklah. Sekarang, bersiaplah.”
Tampak aki Buyut sekali lagi merapal mantra. Kedua tangannya disatukan dan digesek-gesekkan berlawanan, hingga mengeluarkan segumpalan asap putih tipis. Dan dengan cepat, tangan kirinya meraih payudara kiri Melati, dan dalam sekali hempasan, tangan kanan aki Buyut menyusupkan benda berkilau itu pada payudara Melati yang belum terbentuk sempurna.
“Ahkhkhkh!”
Melati terpekik kesakitan. Tubuhnya jatuh terguling ke lantai. Sesaat tampak mengejan kesakitan. Dan dalam beberapa detik kemudian, tubuh telanjang gadis muda itu diam tak sadarkan diri.
“Nah, sekarang sudah selesai.”
“Tutupilah tubuh anakmu!” ucap aki Buyut tegas pada Bi War, yang segera memburunya dan mengangkat tubuh Putri semata wayangnya untuk diletakkan pada tempat yang lebih nyaman.
“Terima kasih Ki.”
“Malam ini, kalian tidur disini saja.”
“Baik Ki.”
“Nah, sekarang, mumpung putrimu tertidur, kita lanjutkan lagi ‘yang tadi’ sempat tertunda.” ucap aki Buyut seraya tersenyum nakal pada Bi War.
Bi War tidak menjawab. Hanya saja gerakan tangannya menunjukkan ia menyanggupi permintaan aki Buyut.