Jenderal Liang Zhou adalah salah satu jenderal yang sangat dihormati oleh raja. Kemampuannya dalam berperang dan taktik menyerang cukup membuat namanya melesat. Tak hanya dihormati oleh raja, bahkan kawan maupun lawan sangat segan padanya. Anak buahnya bahkan menjadi pengikut setianya. Mereka rela mengikuti perintah lelaki itu. Terbukti, ada beberapa anak buahnya yang ikut ke tempat kepindahannya.
Iring-iringan kereta memasuki satu daerah yang cukup ramai. Sebuah kota kecil yang terkenal dengan hasil pertanian yang melimpah. Tak hanya itu, pemandangan di tempat itu ternyata sangat memukau. Di sebelah utara, terdapat sebuah gunung dengan anak sungai yang mengalir dari hulu hingga ke hilir. Karena itulah, pertanian di kota kecil itu tumbuh dengan subur.
Di depan halaman sebuah rumah, iring-iringan kereta berhenti. Beberapa orang pelayan menyambut kedatangan mereka.
Jenderal Liang Zhou lantas turun dari atas punggung kuda dan mendekati kereta. Lelaki itu mendekati sang istri yang baru saja turun. “Istriku, kita akan menempati rumah ini,” ujarnya lembut. Nyonya Liang tersenyum seakan tidak keberatan tinggal di rumah itu. Jenderal Liang Zhou lantas menggenggam tangannya dan membawanya masuk ke dalam rumah.
Melihat kemesraan mereka, Li Jia tersenyum. Jenderal Liang Zhou sangat mencintai istrinya. Mereka begitu saling mencintai. Karena itulah, Nyonya Liang tetap bersikeras mendampingi suaminya walau ditempatkan di daerah mana pun. Dia tidak akan keberatan asalkan tidak berpisah dari suaminya itu.
“Ayo, kita masuk.” Li Jia menatap Liang Yi yang mengulurkan tangan padanya. Dari balik penutup wajah, dia tersenyum dan menerima uluran tangan pemuda itu. Mereka lantas masuk bersama.
Perhatian Liang Yi sudah dirasakan oleh Li Jia. Dia tahu kalau pemuda itu menyimpan rasa untuknya. Akan tetapi, dia belum mampu untuk melupakan kenangannya bersama Lian. Dan dia belum mampu membuka hatinya untuk pemuda itu sebelum mengetahui orang yang telah membunuh Lian dan orang tuanya.
Kedatangan penyidik ke kota kecil itu rupanya sudah diketahui oleh para bandit. Mereka menempati pegunungan dan akan turun gunung untuk merampok apabila ada pedagang besar yang melintas. Tanpa ampun, mereka akan membunuh siapa saja yang menghalangi aksi mereka.
Rumah yang ditempati keluarga Jenderal Liang Zhou sudah dijaga ketat. Para penjaga tak beranjak dari tempat itu.
Di hari pertama, Liang Yi dan ayahnya menuju ke kantor yang akan ditempati untuk bertugas. Laing Yi datang bukan sebagai anak dari kepala penyidik. Melainkan sebagai wakil dari penyidik. Ayah dan anak itu sudah ditunjuk untuk menjadi penyidik di tempat itu.
Liang Yi rupanya memiliki jabatan yang cukup penting di istana. Pemuda itu adalah lulusan terbaik dari angkatannya. Dia telah menjadi sarjana muda yang memiliki keterampilan bertarung yang mumpuni dan kecerdasan yang membuatnya ditunjuk menjadi pengawal pribadi Pangeran Wang Li. Dia adalah tangan kanan pangeran sekaligus sahabat.
Saat tiba di kantor pemerintahan, Liang Yi cukup terkejut. Pasalnya, hanya ada beberapa orang yang berjaga. Itu pun mereka sedang kelabakan karena beberapa warga datang melapor karena telah dirampok.
Melihat Liang Yi dan Jenderal Liang Zhou, mereka terdiam. Mereka heran karena melihat dua orang yang sama sekali tidak mereka kenali.
“Ada apa ini? Apa yang terjadi?” tanya Liang Yi pada mereka. Sesaat, mereka saling memandang.
“Kami adalah petugas istana yang baru. Apa kalian ingin melaporkan sesuatu?” Kembali Liang Yi bertanya. Seketika mereka mendekatinya.
“Tuan, tolong kami,” ucap salah satu dari mereka. “Para bandit itu sudah merampok hasil kebunku. Aku akan membawanya ke kota terdekat untuk menjualnya, tetapi mereka merampok dan mengambil semuanya. Tuan, tolong bantu kami,” pintanya seraya menunduk.
“Tenanglah, ceritakan masalah kalian satu per satu. Setelah itu, kami akan menindaklanjutinya.”
Liang Yi mendengar keluh kesah mereka dan dia bisa pastikan kalau akar dari semua masalah itu adalah para bandit yang masih berkeliaran. Tak hanya para pedagang, tetapi mereka juga merampok rumah-rumah.
Petugas yang sebelumnya tidak bisa melakukan apa-apa. Dia tidak berhasil menumpas komplotan para bandit karena keberingasan bandit-bandit yang membunuh tanpa ampun. Karena itulah, raja mengirim Jenderal Liang Zhou yang terkenal dengan ketegasannya.
“Ayah, apa yang harus kita lakukan?” tanya Liang Yi setelah warga yang melapor telah pergi.
“Kamu harus mencari tahu tentang bandit-bandit itu. Caranya, pergilah ke pasar dan berbaurlah dengan mereka. Kamu bisa cari tahu dari para pedagang atau warga sekitar. Setelah itu, kita bersiap dengan rencana yang sudah Ayah utarakan padamu,” jelas Jenderal Liang Zhou.
Saat itu juga, Liang Yi bergegas ke pasar dan menyusuri kota kecil itu. Dengan mengenakan pakaian sederhana, dia mulai melakukan apa yang diperintahkan sang ayah.
Liang Yi menunggangi kudanya dan melintasi beberapa rumah penduduk. Suasana tampak tenang. Di pasar, tidak ada kejadian yang berarti. Semua tampak normal.
Liang Yi memerhatikan sekitar tempat itu dan perhatiannya tertuju pada sebuah kedai yang menjual aneka perhiasan. Dia lantas mendekati kedai itu.
Liang Yi melihat beberapa gelang giok yang dijual di kedai itu. Gelang giok berwarna biru lantas diambilnya. Dia begitu tertarik dengan gelang giok itu. “Gelang giok ini pasti akan terlihat cantik di tangannya,” gumamnya sambil membayangkan kalau giok itu dipakai oleh Li Jia. Tanpa berlikir, Liang Yi lantas membelinya. Tak lupa, dia membeli untuk ibunya dan juga Liang Zia.
Setelah berkeliling dan mencari informasi, akhirnya dia memutuskan untuk kembali. Namun, teriakan seorang pedagang menghentikan langkah kudanya. Seorang pemuda tampak berlari sambil membawa barang curian yang dicurinya dari pedagang itu.
Melihat kejadian itu, Liang Yi memacu kudanya dan mengejar pencuri itu. Tak butuh waktu lama, Liang Yi berhasil mengejarnya. Pemuda itu berlari ke arah hutan.
“Sudahlah, jangan lari dariku.” Liang Yi turun dari atas kudanya dan menatap pemuda yang menutupi setengah wajahnya itu. “Ah, rupanya kamu cukup berani mencuri di siang bolong seperti ini. Apalagi hanya seorang diri. Mana temanmu yang lain?” Liang Yi berjalan perlahan ke arahnya. Pemuda itu tampak ketakutan dan mundur ke belakang.
Liang Yi memerhatikannya karena pemuda itu tidak membawa pedang ataupun senjata. Yang ditentengnya hanyalah sebuah bungkusan hasil curiannya.
“Tuan, tolong biarkan aku pergi. Ibuku sudah menungguku. Jika aku tidak segera kembali, ibuku bisa mati,” ucapnya memohon.
Liang Yi tidak ingin terkecoh. Alasan seperti itu sudah tidak mempan baginya. Namun, pemuda itu kini berlutut di depannya dan membuka penutup wajahnya. “Tuan, aku tahu aku salah, tetapi aku melakukannya karena terpaksa. Ibuku saat ini tengah sakit dan membutuhkan obat ini. Lihatlah, ini hanya obat.” Pemuda itu membuka bungkusan itu dan memang benar itu adalah obat.
“Kenapa kamu harus mencuri obat itu? Apa kamu tidak bisa membelinya?”
Pemuda itu tersenyum kecut. “Tuan, apa Tuan tidak tahu dengan keadaan kota ini? Kami hanya orang kecil yang tidak memiliki uang. Sementara para bandit terus meresahkan kehidupan kami. Apa yang bisa kami harapkan dari istana yang tidak peduli pada nasib rakyatnya yang hidup dalam ketakutan?”
Mendengar penuturannya, Liang Yi tersentak. Melihat pemuda itu yang tidak berbahaya baginya, Liang Yi mendekatinya. “Bangkitlah. Kamu harus bertanggung jawab atas perbuatanmu itu,” ucapnya sambil menarik lengan baju pemuda itu, tetapi pemuda tersebut bergeming.
“Tidak! Kenapa aku harus menurutimu? Aku tidak tahu siapa kamu dan bisa saja kamu akan membunuhku,” ucapnya. Pemuda itu berusaha menghindar, tetapi Liang Yi menghentikannya.
“Kalau aku ingin membunuhmu, aku akan melakukannya sejak tadi. Lagipula, aku tidak punya alasan untuk membunuhmu. Aku hanya akan membawamu ke pedagang tadi dan mengembalikkan hasil curianmu itu. Apa kamu pikir ibumu mau menenggak obat dari hasil curianmu itu?”
Pemuda itu menunduk dan pasrah. Ucapan Liang Yi membuat hatinya luluh. Mereka lantas kembali ke padagang obat tersebut. Pemuda itu lantas mengembalikan obat yang sudah dicurinya itu.
“Maafkan aku,” ucapnya sambil menundukan wajahnya. “Aku tidak akan mencuri lagi,” lanjutnya sungguh-sungguh. Liang Yi tersenyum dan menepuk pundak pemuda itu.
“Berapa harga obat itu? Aku akan membelinya,” ucap Liang Yi pada pedagang itu. Pemuda itu lantas menatapnya.
Liang Yi membeli obat itu dua kali lebih banyak dan menyerahkannya pada pemuda itu. “Sekarang antarkan aku pada ibumu.” Pemuda itu tersenyum girang dan mengangguk mengiakan permintaan Liang Yi. Mereka lantas pergi ke rumah pemuda itu.
Liang Yi memerhatikan sekeliling tempat itu. Rumah kumuh dan kehidupan yang jauh dari kata layak terlihat di sekeliling tempat itu. Anak-anak kecil berlarian tanpa memakai alas kaki. Baju yang mereka kenakan bahkan tak layak untuk dipakai.
Di sebuah gubuk reot, mereka berhenti. Pemuda itu lantas membuka pintu yang tampak akan roboh. Suara derak seakan menjadi tanda kalau pintu itu sedang dibuka atau ditutup.
Di ruangan pengap dan sempit, seorang wanita tampak berbaring. Pemuda itu mendekatinya seraya membangunkannya. “Ibu, aku sudah membawakan obat untukmu.” Akan tetapi, wanita itu sudah tidak lagi bergerak. Tubuhnya telah kaku. Liang Yi lantas mendekatinya dan memeriksa nadinya. Wanita itu telah meninggal.
“Maaf, ibumu sudah meninggal.”
Pemuda itu terkejut dan mencoba membangunkan ibunya. Namun, sekuat apa pun dia berusaha nyatanya tubuh itu telah kaku dan dingin.
Sontak, pemuda itu menangis dan menyalahkan dirinya sendiri. Dia tahu kalau usahanya untuk membawa obat akan sia-sia. Dia hanya ingin mencoba mengubah takdir, tetapi takdir ibunya harus meninggal saat dia baru saja meninggalkan rumahnya.
“Kita harus segera memakamkan ibumu. Ayo, aku akan membantumu.” Pemuda itu menatap Liang Yi dan dia pun menangis.
Saat itu juga, mereka menggali liang tak jauh dari tempat itu. Jasad yang telah kaku itu lantas dimakamkan dengan iringan air mata dari pemuda tersebut.
“Tuan, terima kasih untuk bantuan yang sudah Tuan berikan padaku. Aku tidak akan melupakan kebaikan Tuan,” ucap pemuda itu saat selesai memakamkan ibunya.
“Itu tidak masalah. Sebagai sesama, sudah selayaknya kita saling membantu. Oh, iya. Siapa namamu?” tanya Liang Yi.
“Namaku Zu Min, Tuan,” jawabnya.
“Aku Liang Yi. Aku dan keluargaku baru saja dipindahkan ke kota ini. Kalau kamu butuh bantuanku, kamu bisa menemuiku di kantor penyidik. Aku ada di sana.”
Pemuda itu menatap Liang Yi dan ada binar harapan terlihat dari tatapan matanya itu. “Apa mungkin Tuan adalah penyidik dari istana?”
Liang Yi tersenyum. “Aku hanya wakil penyidik. Sedangkan ayahku adalah kepala penyidik. Kalau kamu punya informasi penting tentang bandit-bandit itu, jangan sungkan untuk mengatakannya padaku. Mengerti!”
Pemuda itu masih tertegun. Dia seakan tidak percaya kalau dirinya saat ini sedang bersama dengan salah seorang penyidik dari istana. Selama ini, yang diketahuinya adalah penyidik yang sama sekali tidak bisa berkutik. Mereka seakan diam dengan keberingasan bandit-bandit yang mulai memasuki kota.
“Terimalah ini.” Liang Yi menyerahkan segenggam keping uang untuknya. “Jangan mencuri lagi. Sebaiknya kamu bekerja untuk mencukupi kebutuhanmu. Aku tahu ini tidak banyak, tetapi aku berharap kamu bisa menggunakannya dengan bijaksana.”
Pemuda itu menerimanya dan setelah itu Liang Yi kemudian pergi. Pemuda itu masih menatapnya. Ada rasa kagum saat melihat Liang Yi yang ternyata sangat peduli padanya. Dia merasa telah menemukan harapan agar kota tempat tinggalnya kembali seperti dulu lagi. Aman dan tenteram tanpa ada perampok dan bandit yang merajalela.
“Tuan, aku akan membantumu. Aku akan memberikan semua informasi yang aku tahu tentang bandit-bandit itu padamu,” gumamnya sambil menggenggam erat kepingan uang yang diberikan Liang Yi padanya.
Liang Yi lantas kembali ke kantor penyidik dan menceritakan apa yang dilihat dan didengarnya dari warga sekitar pada ayahnya.
“Jadi, tidak ada yang tahu kapan bandit-bandit itu akan merampok?”
“Iya, Ayah. Mereka akan muncul secara tiba-tiba dan tidak ada yang bisa memprediksi kapan mereka akan merampok. Para pedagang besar pun tidak berani memasuki kota ini karena ketakutan. Karena itu, ekonomi di kota ini tampak lesu karena barang-barang dari luar tidak bisa masuk,” jelas Liang Yi.
“Baiklah, kalau begitu rencana kita akan tetap berjalan seperti yang sudah direncanakan. Secepatnya kita harus menyelesaikan masalah ini agar tidak ada lagi korban selanjutnya. Liang Yi, pulanglah terlebih dulu. Masih ada urusan yang harus Ayah selesaikan.”
“Baik, Ayah.”
Liang Yi lantas bergegas kembali ke rumah. Sementara Jenderal Liang Zhou masih melanjutkan tugasnya. Dia harus memeriksa setiap catatan yang ditinggalkan oleh penyidik sebelumnya. Dan yang dia temukan hanyalah laporan-laporan yang menurutnya hanya laporan yang membingungkan karena semua laporan itu hanya menemukan jalan buntu. Jenderal Liang Zhou masih memeriksa laporan-laporan itu.
Liang Yi masih dalam perjalanan pulang, hingga dia tersadar kalau gelang giok yang dibelinya tertinggal di kantor penyidik. Liang Yi kantas berbalik arah dn berniat untuk kembali ke sana.
Dalam perjalanan kembali itulah dia melihat beberapa orang lelaki sedang bertarung. Liang Yi lantas turun dari atas kudanya dan berjalan mengendap sambil memerhatikan pertarungan itu.
Suasana yang hampir senja membuat Liang Yi sulit untuk mengenali orang-orang yang sedang bertarung itu. Namun, gerakan beladiri dari salah satu dari mereka membuatnya terkejut. Tanpa berpikir panjang, Liang Yi lantas merangsek maju dan menyerang salah satu orang yang akan menyerang orang yang dikenalnya itu.
“Liang Yi!” seru orang itu.
Liang Yi berhasil menghalau penyerang itu. Kini, dia dihadapkan pada beberapa orang lelaki yang menatap tajam. Penampilan mereka tidak seperti warga setempat. Mereka bahkan dipersenjatai dengan pedang dan anak panah.
“Ayah, apa yang terjadi?” tanya Liang Yi. Ternyata orang yang dikenalinya dari gerakan beladiri adalah Jenderal Liang Zhou, ayahnya sendiri.