Pendekar Cinta dan Dendam episode 16

Chapter 16

Di dalam kamar, Li Jia memerhatikan gelang giok yang kini melingkar di pergelangan tangannya. Sepintas, dia tersenyum. Keteguhan hatinya untuk menolak cinta Liang Yi nyatanya tak mampu membendung cinta pemuda itu untuknya. Liang Yi tetap bersikeras untuk memilikinya dan mengungkapkan cinta padanya.

Sementara Liang Yi, juga masih terjaga. Dia membayangkan wajah Li Jia yang selalu membayangi di pelupuk matanya. Gadis itu memiliki daya tarik yang begitu mengikat hatinya. Tak hanya cantik, tetapi kebaikan dan perhatian gadis itu telah membuat hatinya luluh dalam cintanya.

“Li Jia, aku pasti akan membuatmu tersenyum lagi. Aku akan mencari orang-orang yang telah menyakitimu. Tak peduli nyawaku sebagai taruhannya, aku pasti akan membalaskan sakit hatimu pada mereka.” Liang Yi telah berjanji pada dirinya sendiri untuk mencari tahu tentang pembantaian di desa Li Jia. Walau sudah hampir sebelas tahun, tetapi kasus pembantaian itu seakan hilang ditelan bumi.

Liang Yi kembali mencari tahu tentang para bandit dan aktivitas mereka. Namun, kembali dia tidak menemukan apa-apa. Walau sudah menyusuri hutan, tetapi dia tidak menemukan tanda-tanda kehidupan di sana.

Liang Yi kembali ke kantor penyidik untuk melaporkan hasil penyelidikannya. “Ayah, apa tidak sebaiknya kita mengerahkan pasukan dan menyisir di atas gunung? Aku rasa mereka bersembunyi di sana,” ucap Liang Yi pada ayahnya.

“Kita tidak bisa mengorbankan pasukan kita untuk mencari mereka. Itu anggap saja kita bunuh diri. Kita tidak tahu seluk beluk di atas gunung dan bagaimana keadaan di tempat itu. Kalau kita memaksa, berarti kita telah masuk dalam perangkap mereka,” jelas Jendral Liang Zhou.

“Kalau kita hanya menunggu seperti ini, kapan kita bisa menangkap mereka, Ayah.” Liang Yi terlihat tidak sabar. Melihat sikap anaknya itu, Jenderal Liang Zhou tersenyum dan menepuk pundaknya pelan.

“Liang Yi, cobalah untuk bersabar. Banyak orang yang binasa karena ketidaksabaran mereka dan Ayah tidak ingin hal itu terjadi padamu. Kita lihat saja perkembangan selanjutnya. Ayah pastikan kalau kita bisa menangkap mereka.” Jenderal Liang Zhou tampak begitu sabar. Pantas saja, dengan kesabaran dan ketelitiannya itu dia berhasil mengalahkan lawan-lawannya.

Liang Yi tidak lagi berkata apa-apa. Apa yang diucapkan ayahnya sudah cukup untuk membuka pola pikirnya agat tidak bertindak terburu-buru.

Jenderal Liang Zhou bukan tidak melakukan apa-apa. Lelaki yang sudah makan asam garam dalam peperangan itu punya siasat yang sudah disiapkan secara matang.

Sudah hampir sebulan mereka berada di kota kecil itu. Dan tidak ada pergerakan yang berarti dari bandit-bandit itu. Keduanya seakan sedang melakukan trik tarik ulur. Para bandit itu berharap agar penyidik mengerahkan pasukan dan mencari mereka di dalam hutan. Dengan begitu, mereka akan dengan mudah menyingkirkan mereka dengan segala jebakan yang sudah disiapkan.

Sementara Jenderal Liang Zhou hanya menunggu. Dia tahu, para bandit-bandit itu akan kehilangan penghasilan jika tidak lagi merampok. Mereka pasti akan turun gunung jika perbekalan mereka telah habis. Benar saja, satu bulan lebih tidak merampok membuat mereka tidak bisa lagi menunggu.

Karena sudah merasa aman, para pedagang mulai berani untuk masuk ke kota itu. Mereka membawa barang dagangan yang cukup berharga. Para petani juga sudah mulai membawa hasil kebun mereka untuk dijual ke daerah lain. Kehidupan perekonomian perlahan mulai berjalan seperti dulu.

“Ketua, jika seperti ini terus kita akan mati kelaparan. Aku dengar kalau ada pedagang besar yang akan melintas. Mereka sepertinya membawa barang dagangan yang cukup banyak. Bagaimana kalau kita merampok mereka saja,” ucap salah satu bandit memberi saran. Lelaki yang dipanggil ketua itu tampak berpikir sejenak.

“Apa kamu yakin mereka membawa banyak barang berharga?” tanya lelaki itu memastikan.

“Aku yakin, Ketua,” jawabnya yakin.

“Baiklah, kumpulkan semua pasukan dan semua persenjataan kita. Kali ini kita harus berhasil merampok pedagang itu.”

“Baik, Ketua!”

Bandit-bandit itu ternyata tidaklah sedikit. Mereka cukup banyak. Tak hanya itu, mereka juga dipersenjatai dengan pedang dan panah.

Di perbatasan kota, para bandit itu menunggu. Jalanan yang harus dilalui pedagang adalah jalanan hutan yang sepi. Para bandit itu telah bersembunyi di balik semak-semak. Pasukan panah telah bersiap dengan busur dan anak panah yang siap dilesatkan.

Sementara Jenderal Liang Zhou dan Liang Yi tampak bersiap untuk meninggalkan kediamannya. Jenderal Liang Zhou menggenggam tangan istrinya dan meminta doa untuk keselamatannya. Melihat hal itu, Li Jia merasa kalau lelaki itu akan pergi melakukan tugas yang tak biasa. Karena khawatir, Li Jia menarik tangan Liang Yi dan membawanya keluar dari tempat itu.

“Ada apa? Apa ada yang ingin kamu katakan padaku?” tanya Liang Yi sambil membelai lembut sudut wajah gadis itu.

“Katakan sejujurnya padaku. Apa kamu menyembunyikan sesuatu dariku?” tanya Li Jia dengan tatapannya yang tajam.

“Apa maksudmu? Memangnya, apa yang aku sembunyikan darimu?” tanya Liang Yi yang berusaha mengelak. Li Jia lantas meraih tangan Liang Yi dan meletakannya di atas kepalanya.

“Jujurlah padaku. Jika tidak, aku akan memohon pada dewa untuk mencabut nyawaku,” ancam Li Jia tak main-main. Liang Yi lantas menarik tangannya dari kepala gadis itu dan memeluknya.

“Jangan katakan itu. Apa kamu juga ingin aku mati?”

Li Jia memeluknya erat dan menyesal atas ancamannya itu. Liang Yi lantas mengelus lembut kepalanya. “Maafkan aku karena tidak berterus terang padamu. Aku hanya tidak ingin membuatmu khawatir. Li Jia, aku dan ayah akan menghadapi para bandit-bandit itu,” jelas Liang Yi. Li Jia memeluknya erat seakan tidak ingin melepaskannya pergi. “Jangan khawatir. Aku tidak akan mati semudah itu karena aku tahu ada dirimu yang sedang menungguku. Aku akan kembali pulang dengan selamat dan kembali padamu.”

Liang Yi mengeratkan pelukannya dan mengecup puncak kepala Li Jia. Gadis itu berusaha menahan kesedihan karena kekhawatirannya pada Liang Yi. Setelah merasa tenang, Li Jia melepaskan pelukannya.

“Berjanjilah padaku untuk kembali pulang. Liang Yi, jagalah ayah dan jangan sampai kalian terluka,” ucap Li Jia sambil menyentuh sudut wajah Liang Yi. Gadis itu tersenyum dan berusaha melepaskan Liang Yi dengan senyumannya itu. Melihat Li Jia tersenyum padanya, Liang Yi kembali memeluknya. Dia tampak sangat bahagia.

Li Jia berdiri melihat Liang Yi dan Jenderal Liang Zhou pergi. Nyonya Liang dan Liang Zia juga berdiri di sampingnya. Mereka seakan tampak biasa saja saa melihat Liang Yi dan Jenderal Liang Zhou pergi.

“Li Jia, apa kamu tahu kalau hatiku begitu khawatir saat melihat suami dan putraku pergi?” Nyonya Liang menatapnya. Ada setitik air bening yang tertahan sejak tadi. “Aku takut saat melihat mereka pergi karena bisa saja itulah saat terakhir aku melihat mereka. Walau di depan mereka aku terlihat tenang, tetapi sesungguhnya aku menangis.” Nyonya Liang menghapus air matanya yang kini membasahi wajahnya. Li Jia lantas memeluknya.

“Ibu, kita berdoa saja pada dewa agar mereka bisa kembali dengan selamat. Aku yakin para dewa akan mendengar doa kita.”

Nyonya Liang mengangguk dan tersenyum. Li Jia lantas membawanya ke kamar. Sementara dirinya, tidak hentinya memanjatkan doa agar kekasihnya bisa segera kembali dengan selamat padanya.

Di perbatasan kota, iring-iringan para pedagang sedang melintas. Mereka membawa banyak peti yang berisikan barang dagangan. Sementara di balik semak-semak, para bandit bersembunyi dan bersiap untuk menyerang.

“Ketua, apa kita menyerang sekarang?”

“Tunggu! Kita awasi mereka dulu karena bisa saja ini adalah jebakan.”

Para bandit belum juga bergerak. Mereka masih menunggu aba-aba dari pemimpin mereka. Karena tidak ada sesuatu yang mencurigakan, pemimpin para bandit itu lantas memberi aba-aba. Pasukan panah yang sudah bersiap di atas pohon tampak bersiap melesatkan anak panah ke arah para pedagang. Akan tetapi, satu per satu pemanah itu terjatuh dari atas pohon dengan anak panah yang sudah menancap di dada mereka.

Para bandit terkejut. Mereka tidak menyangka kalau telah masuk dalam jebakan. Mereka kini telah dikepung.

Dari balik semak, pasukan istana muncul. Tak hanya itu, rombongan para pedagang ternyata adalah anak buah Jenderal Liang Zhou yang sedang menyamar. Mereka datang bersama bantuan pasukan yang bersembunyi di dalam peti.

“Sebaiknya kalian menyerah. Jika tidak, kalian pasti akan mati,” ucap Liang Yi yang menenteng busur di tangannya. Liang Yi dan beberapa lelaki yang menjadi eksekutor untuk pemanah yang berada di atas pohon. Mereka rupanya sudah bersiap sedari tadi.

Sebelumnya, Liang Yi sudah mencari tahu tentang daerah yang sering dilalui oleh pedagang menuju kota itu. Berkat bantuan Zu Min, Liang Yi akhirnya mengetahui tempat yang biasa dilalui pedagang dan dihadang oleh para bandit. Berkat informasi itulah, Jenderal Liang Zhou mengirmkan surat ke istana untuk membawa pasukan yang menyamar sebagai pedagang.

Bandit-bandit itu tampak kocar-kacir saat dikepung pasukan istana. Walau begitu, mereka tidak menyerah dan tetap melakukan perlawanan. Tak pelak, pertarungan pun terjadi.

Walau pasukan istana tidak sebanding dengan jumlah para bandit, tetapi mereka mampu mengimbangi. Pasukan istana yang datang bukanlah pasukan istana biasa. Mereka adalah pasukan yang dilatih khusus oleh Jenderal Liang Zhou. Mereka adalah anak buahnya yang setia dan rela melakukan apa pun perintahnya.

Pertarungan yang cukup sengit itu pun tak terelakkan. Liang Yi dengan gagahnya menyerang bandit-bandit itu. Kemampuan bertarungnya cukup membuat bandit-bandit itu gentar. Begitu pun dengan anak buah Jenderal Liang Zhou. Mereka dengan mudah mengatasi para bandit. Akhirnya, para bandit itu pun menyerah.

“Ikat mereka!” perintah Jenderal Liang Zhou.

Para bandit yang tersisa lantas diikat. Walau ada yang berusaha untuk melarikan diri, tetapi mereka berhasil dikejar. Dalam keadaan terikat, para bandit digelandang ke kota dan menjadi tontonan warga sekitar. Sontak, para bandit itu dilempari dengan batu oleh warga dan menjadi bulan-bulanan mereka.

Kabar tentang keberhasilan Jenderal Liang Zhou dan Liang Yi dalam menangkap para bandit terdengar hingga ke istana. Mendengar hal itu, Pangeran Wang Li tersenyum. Dengan keberhasilan mereka, setidaknya sahabatnya akan segera kembali berada di sampingnya.

Keadaan kota berangsur pulih saat para bandit sudah tidak berkeliaran. Kota itu telah aman. Para pedagang pun sudah tidak takut untuk berdagang ke sana. Suasana kota tampak ramai dan perekonomian telah kembali normal seperti dulu.

Siang itu, Liang Yi mengajak Li jia untuk jalan-jalan menyusuri jalanan kota. Walau sempat menolak, Li Jia tidak berkutik saat Nyonya Liang memaksanya untuk pergi. Wanita itu telah mengetahui tentang hubungan mereka.

“Li Jia, pergilah. Lagipula, kamu belum pernah melihat-lihat kota ini. Jangan khawatir, Liang Yi pasti akan menjagamu,” ucap Nyonya Liang.

“Iya, Kak, pergilah. Kak Liang Yi ingin sekali mengajakmu jalan-jalan. Selama ini ayah dan kakak sudah bekerja keras untuk menangkap bandit-bandit itu dan sudah saatnya bagi Kak Ling Yi untuk berdua saja denganmu. Kami sudah tahu semuanya dan kami tidak keberatan dengan hubungan kalian.”

Li Jia terkejut karena hubungannya dengan Liang Yi sudah diketahui oleh mereka. Wajahnya tampak merona merah. Melihat Li Jia tersipu malu, Liang Yi lantas menggenggam tangannya. “Sudahlah, kalian sudah membuatnya malu.” Liang Yi lantas membawanya keluar dan menaikkannya di atas punggung kuda. Pemuda itu kemudian naik dan duduk di bagian belakang. Sambil memegang tali kekang kuda, Liang Yi memeluk tubuh Li Jia.

“Memangnya kamu akan membawaku ke mana?” tanya Li Jia saat kuda mulai berjalan perlahan.

“Kita akan pergi ke tempat yang indah. Aku yakin kamu akan menyukainya,” jawab Liang Yi sambil mengeratkan pelukannya.

Li Jia tidak lagi bertanya dan hanya memerhatikan jalanan yang mereka lewati. Tak berapa lama, mereka tiba di sebuah sungai kecil di mana terdapat anak air terjun yang tidak terlalu besar. Gemericik air terdengar begitu merdu. Di pinggiran sungai, terdapat batu-batu datar dan beberapa tanaman bunga yang tumbuh liar di sela batu-batu itu.

Liang Yi menurunkan Li Jia dari atas kuda. Gadis itu tampak takjub dengan keindahan di tempat itu. Li Jia lantas duduk di atas batu dan memerhatikan anak air terjun yang mengalirkan air yang begitu jernih. Liang Yi kemudian duduk di sampingnya. Dia menatap Li Jia yang tersenyum. Diraihnya tangan gadis itu dan menggenggamnya erat.

“Apa kamu suka dengan tempat ini?” tanya Liang Yi yang belum mengalihkan pandangnnya dari wajah cantik Li Jia. Gadis itu mengangguk seiring senyum yang terukir di wajah cantiknya.

Liang Yi menatapnya dalam-dalam seakan tidak ingin kehilangan senyuman itu. Li Jia lantas menatapnya. “Kenapa melihatku seperti itu?” Wajah gadis itu tampak merona. Liang Yi perlahan menyentuh sudut wajah gadis itu.

“Menikahlah denganku,” ucap Liang Yi yang membuat Li Jia terkejut. Sesaat, Li Jia memalingkan wajahnya. “Kenapa? Apa perlu aku membuktikan kesungguhan cintaku padamu?”

Li Jia menunduk. Ada rasa bahagia yang dirasakan di benaknya. Namun, ada rasa takut yang juga menyelinap dan sukar untuk diempas. “Apa kamu tidak menyesal mencintaiku? Liang Yi, aku …. ”

Li Jia terdiam saat Liang Yi meraih tubuhnya lebih dekat. Tatapan mata keduanya saling bertemu. Li Jia mengerjapkan matanya seakan tak mampu membalas tatapan mata Liang Yi yang menatapnya dalam.

Liang Yi lantas menyentuh wajah Li Jia dengan lembut. Embusan napas terdengar begitu dekat. Seketika, Li Jia memejamkan matanya saat satu kecupan hangat menyentuh bibirnya. Li Jia meremas hanfunya saat kecupan bibir mereka saling bertemu. Liang Yi meraih tangan Li Jia dan menggenggamnya erat.

Kini, mereka hanyut dalam buaian cinta yang begitu hangat. Cinta yang akhirnya bersatu dalam ikatan kasih sayang yang abadi. Cinta yang diharapkan membawa kebahagiaan bukan lagi perpisahan apalagi kematian.


Pendekar Cinta dan Dendam

Pendekar Cinta dan Dendam

Status: Ongoing Tipe: Author: Dirilis: 2021 Native Language: Indonesia
Kepulan asap hitam tampak mengepul di atas sebuah bukit. Bukit yang ditinggali beberapa kepala keluarga itu tampak diselimuti kepulan asap dengan kobaran api yang mulai membakar satu per satu rumah penduduk yang terbuat dari bambu. Warga desa tampak berlarian untuk berlindung, tapi rupanya penyebab dari kekacauan itu enggan membiarkan mereka meninggalkan tempat itu."Cepat bunuh mereka! Jangan biarkan satu pun yang lolos!" perintah salah satu lelaki. Lelaki yang menutupi setengah wajahnya itu menatap beringas siapa pun yang ada di depannya. Tanpa belas kasih, dia membantai setiap warga yang dijumpainya. Tak peduli anak-anak ataupun orang dewasa, dengan tega dia membantai tanpa ampun.penasaran dengan kelanjutannya? yuk segera simak cerita dibawah ini

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset