Hampir lima bulan keluarga Jenderal Liang Zhou berada di kota kecil itu. Setelah tugas yang diembankan padanya selesai, akhirnya mereka akan kembali ke kediaman sebelumnya. Karena keberhasilannya itu, Jenderal Liang Zhou dan Liang Yi akan menerima penghargaan dari raja.
“Kakakku sangat tampan,” puji Liang Zia saat Liang Yi sudah bersiap dengan jubah yang dikenakannya. Pemuda itu dan ayahnya sudah bersiap untuk pergi ke istana.
Nyonya Liang tersenyum saat melihat dua lelaki yang sangat disayanginya itu. Dia sangat bangga pada mereka.
Li Jia tampak bahagia karena melihat kebahagiaan yang tersirat dari senyum mereka. Senyum yang begitu tulus dan penuh kasih sayang.
Liang Yi mendekati Li Jia dan meraih tangannya. “Setelah ini kita akan menikah. Aku akan meminta raja untuk membuka kasus di desamu lagi dan meminta agar aku sendiri yanga menyelidikinya. Aku pasti akan menangkap orang-orang yang sudah membuatmu menderita,” ucap Liang Yi yang membuat Li Jia menahan air matanya.
“Ayah juga akan membantu Liang Yi. Kita akan segera mengungkap kejadian itu. Jadi, kamu tenang saja dan jangan pikirkan hal itu lagi. Kamu harus melupakan kesedihanmu itu karena kami ingin melihatmu bahagia.” Jenderal Liang Zhou mengusap lembut puncak kepala Li Jia. Gadis itu menitikkan air mata. Dia lantas memeluk lelaki yang sudah dianggap seperti ayahnya itu.
“Terima kasih, Ayah.”
“Sudahlah, jangan menangis lagi. Ah, padahal aku ingin sekali membawamu ke istana dan meminta restu pada raja dan Pangeran Wang Li atas pernikahan kita nanti.” Liang Yi menyeka air mata gadis itu. “Ayo, tersenyumlah,” pintanya seraya tersenyum. Li Jia lantas tersenyum. Liang Yi kemudian memeluknya.
“Kakak, sana pergi. Apa Kakak tidak malu pada kami? Sana pergi!” Liang Zia melepaskan tangan Liang Yi yang memeluk Li Jia dan mendorongnya untuk segera pergi.
“Hei, kenapa aku harus malu? Bukankah, sebentar lagi Li Jia akan menjadi istriku?”
Liang Zia tidak peduli pada ocehan kakaknya itu. Melihat tingkah mereka, Li Jia tertawa. Liang Yi tersenyum saat melihat kekasihnya itu tertawa tanpa beban. “Tetaplah seperti itu, Li Jia. Tertawalah karena tawa dan senyummu adalah hal yang terindah bagiku. Melihatmu tertawa seperti itu membuatku turut bahagia,” batin Liang Yi sambil melihat Li Jia yang melambaikan tangan padanya. Dia pun melambaikan tangan seiring kuda yang berjalan meninggalkan pelataran rumah.
Di halaman istana, Liang Yi dan Jenderal Liang Zhou disambut oleh pasukan istana. Pasukan yang berdiri berjejer itu menunduk memberi penghormatan pada mereka.
Di aula istana, semua pejabat istana sudah berkumpul. Raja tampak duduk di atas singgasananya. Sementara Pangeran Wang Li duduk tak jauh darinya.
Melihat Jenderal Liang Zhou dan Liang Yi memasuki aula, Pangeran Wang Li tersenyum. Dia ikut bangga dengan prestasi sahabatnya itu.
“Hormat kami, Yang Mulia,” ucap Jenderal Liang Zhou dan Liang Yi bersamaan. Kedua lelaki yang tampak gagah itu menunduk memberi hormat di depan raja dan pangeran.
“Syukurlah kalian kembali dengan selamat. Aku sangat ingin bertemu dengan kalian karena aku ingin mendengar cerita kalian saat berada di kota itu. Jenderal Liang Zhou, ternyata aku tidak salah mengagumimu. Putramu juga sangat hebat. Aku yakin suatu saat nanti dia akan menjadi seorang jenderal yang hebat sama sepertimu,” puji raja.
Pangeran Wang Li tampak tersenyum karena dia tahu pujian itu memang benar adanya. Dia sudah merencanakan untuk mengangkat Liang Yi sebagai jenderal besar saat dirinya sudah dinobatkan menjadi raja kelak.
“Yang Mulia terlalu memuji. Itu semua karena kemurahan hati Yang Mulia. Kami akan melakukan apa pun untuk ketenteraman dan kajayaan istana. Kami akan melakukan yang terbaik untuk negeri ini,” ucap Jenderal Liang Zhou yang membuat raja semakin mengaguminya.
Karena keberhasilan mereka, raja memberikan hadiah. Perhiasan dan sebuah permadani diberikan sebagai balasan atas tugas yang berhasil diembankan. Tak hanya itu, sebidang tanah juga diberikan pada Liang Yi untuk bekalnya saat berumah tangga nanti.
Liang Yi dan Jenderal Liang Zhou tak hentinya berterima kasih. Apa yang diberikan raja dirasa terlalu mewah dan berlebihan. Walaupun ingin menolak, tetapi raja tidak suka jika apa yang diberikan olehnya tidak diterima.
“Aku tahu kebahagiaan rakyatku lebih penting dari apa pun dan kalian telah membebaskan rakyatku dari bandit-bandit itu. Jadi, aku akan berikan kesempatan pada kalian untuk meminta hadiah lain dariku. Apa pun yang kalian minta akan aku berikan.”
Liang Yi lantas mengambil kesempatan itu. Dia tidak ingin meminta apa pun selain satu hal. “Yang Mulia, ada yang ingin aku minta pada Yang Mulia,” ucap Liang Yi sambil menunduk.
“Apa itu? Katakan saja, aku akan mengabulkannya.”
“Yang Mulia, izinkan aku untuk membuka kasus pembantaian yang terjadi sebelas tahun lalu di salah satu desa. Aku ingin menyelidikinya dan mencari siapa dalang dari peristiwa pembantaian itu,” ucap Liang Yi berharap.
Sesaat, raja terdiam. Dia seakan sedang berpikir. “Apa itu desa dari orang-orang yang bermata biru?” tanya raja.
“Benar, Yang Mulia. Mereka adalah penduduk dengan fisik yang berbeda karena memiliki mata yang berwarna biru. Aku hanya ingin mencari dalang dan alasan dari pembantaian itu. Yang Mulia, aku mohon kabulkan permintaanku.” Liang Yi lantas berlutut.
Seketika, suara riuh terdengar dari para pejabat istana. Mereka seakan tidak suka saat Liang Yi mengutarakan maksudnya itu.
“Yang Mulia, apa itu perlu? Kejadian itu sudah berlalu dan sebaiknya kita mengubur kejadian mengerikan itu. Lagipula, tidak ada saksi yang melihat kejadian itu dan semua penduduk sudah dinyatakan tewas. Lalu, untuk apa kita harus mengungkit kejadian itu lagi?” Perdana Menteri Liu berujar. Dia seakan tidak takut dengan pernyataannya itu.
“Itu benar, Yang Mulia. Untuk apa kita membuka luka lama itu. Masih banyak urusan yang lebih penting selain itu. Yang Mulia, tolong pertimbangkan untuk tidak mengabulkan permintaan putra Jenderal Liang Zhou.”
Hampir semua perdana menteri menyetujui apa yang diucapakan perdana menteri itu. Pangeran Wang Li tampak kesal saat melihat pembangkangan para perdana menteri itu. “Ayahanda, berikan kesempatan pada Liang Yi untuk menyelidikinya. Jangan biarkan para perdana menteri mengekang Ayahanda,” ucap Pangeran Wang Li yang membuat semua perdana menteri terdiam. Pangeran Wang Li lantas menatap mereka.
“Kalau aku yang menjadi raja, aku sudah menyingkirkan kalian. Dasar tikus-tikus istana yang tidak tahu diri!” batin Pangeran Wang Li yang tampak kesal.
“Baiklah, aku akan mengizinkanmu untuk melakukan penyelidikan tetang desa itu. Kalau butuh sesuatu, katakan saja pada Pangeran Wang Li. Dia pasti akan membantumu.”
“Terima kasih, Yang Mulia.” Liang Yi menunduk memberi hormat. Dia tampak girang karena telah diberi kesempatan untuk menyelidiki pembantaian desa secara terbuka. Setidaknya, janjinya pada sang kekasih akan segera di wujudkan.
“Liang Yi, kenapa kamu meminta melakukan penyelidikan di desa itu? Apa ada sesuatu yang kamu curigai?” tanya Pangeran Wang Li saat Liang Yi menemuinya di paviliun.
“Aku hanya ingin mencari tahu siapa dalang pembantaian itu dan apa motifnya. Rasanya tidak adil kalau pembantaian itu hanya dibiarkan sebagai luka lama yang tidak perlu diutak-atik. Aku hanya kasihan karena kematian mereka yang tanpa sebab dan menjadi kisah pilu yang dipaksa untuk dilupakan.”
Pangeran Wang Li setuju dengan pemikiran Liang Yi. Sebagai calon raja, dia tidak bisa membiarkam rakyatnya dibunuh dan dibantai tanpa sebab. Satu nyawa rakyat harus dilindungi. Apalagi satu desa yang dibunuh secara brutal dengan alasan yang sampai sekarang tidak diketahui.
“Liang Yi, sebaiknya kamu berhati-hati. Kamu tidak tahu berhadapan dengan siapa. Bisa saja otak dari pembantaian itu ada di sekitarmu dan terus mengawasimu. Aku tidak ingin hal buruk menimpamu. Ingat itu!”
Pangeran Wang Li mencoba memperingatkan sahabatnya itu tentang risiko karena melakukan penyelidikan. Dia takut kalau otak dari pembantaian itu ada di dekat mereka dan mengancam nyawa sahabatnya.
“Tenanglah. Aku tidak ingin mati secepat itu. Aku harus melihatmu naik tahta dan juga …. ”
“Juga apa? Liang Yi, apa kamu menyembunyikan sesuatu dariku?”
Liang Yi tersenyum. “Maaf, Pangeran. Apa hal pribadiku harus aku ceritakan padamu? Walau kita bersahabat, tetapi untuk yang satu ini aku tidak bisa menceritakan padamu. Aku akan menceritakannya saat aku sudah menemukan otak dari pembantaian itu.”
Walau penasaran, tetapi Pangeran Wang Li memaklumi sikap Liang Yi. Dia tidak akan memaksa pemuda itu untuk berterus terang karena dia tahu seperti apa karakter sahabatnya itu. Dengan sendirinya Liang Yi akan berkata jujur pada saat yang dia inginkan. Karena itu, Pangeran Wang Li hanya bisa memberikannya dukungan dan bantuan jika diperlukan.
Awal penyelidikan, Liang Yi pergi ke desa yang telah hancur itu. Desa yang hanya tinggal puing-puing dan ilalang yang mulai meninggi.
Liang Yi mencoba membuat rekayasa seperti yang diceritakan oleh Li Jia. Dia mengarahkan pandangan pada semak-semak yang tidak jauh dari pemukiman. Di sana, Li Jia kecil bersembunyi dan menyaksikan pembantaian desanya.
Liang Yi mencoba berdiri di antara semak-semak itu dan dari sana dia bisa melihat jelas ke arah desa. “Li Jia, aku pasti akan menemukan orang-orang yang telah melakukan ini padamu. Aku bisa merasakan bagaimana ketakutanmu saat itu. Aku tidak akan membiarkanmu ketakutan lagi. Aku janji,” gumam Liang Yi dan bergegas pergi meninggalkan desa itu.
Dalam perjalanan pulang, dia berpapasan dengan beberapa orang tua yang baru pulang dari kebun. Melihat Ling Yi, mereka berusaha menghindar. Melihat sikap mereka, Liang Yi sadar kalau ada yang coba mereka sembunyikan.
“Maaf, Tuan. Apa yang Tuan lakukan di desa itu? Kenapa Tuan pergi ke sana?” tanya seorang lelaki setengah baya.
“Paman, ada apa dengan desa itu? Dan sepertinya mereka ingin menghindar dariku saat tahu aku baru saja dari desa itu.” Liang Yi melihat ke arah beberapa lelaki setengah baya yang berjalan meninggalkannya sambil sesekali melihat ke arahnya. “Paman, apa aku boleh tahu tentang desa itu?” tanya Liang Yi kembali. Lelaki itu menatapnya seakan masih ragu padanya.
“Sebaiknya kamu pergi dan jangan cari tahu apa pun tentang desa itu. Hanya karena sebuah ramalan, desa itu akhirnya hancur,” ucapnya yang membuat Liang Yi terkejut.
“Ramalan apa, Paman? Paman, aku mohon agar Paman mau menjelaskannya padaku,” ucap Liang Yi memohon padanya. Lelaki itu menatapnya. “Paman, aku dari istana yang diutus oleh raja untuk menyelidiki kasus ini. Bagaimana bisa kejadian kejam itu dibiarkan terkubur tanpa penjelasan. Arwah mereka pasti tidak akan tenang. Paman, aku mohon agar Paman mau menjelaskan semuanya padaku,” jelas Liang Yi. Lelaki itu menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Dia lantas menarik tangan Liang Yi dan membawa pemuda itu ke rumahnya.
Liang Yi duduk di depannya. Wajah lelaki itu mengguratkan kesedihan. “Aku sudah menunggu hingga sebelas tahun dan berharap ada orang baik yang ingin mencari tahu kebenaran di balik pembantaian itu. Namun, hingga hari hanya dirimu yang datang untuk bertanya,” ucap lelaki itu sambil menyeruput teh yang baru dituangkan olehnya.
“Sebenarnya aku dan ayahku sudah mencari tahu sejak beberapa tahun lalu, tetapi kami hanya mencari tahu secara sembunyi-sembunyi.”
“Kenapa kalian mencari tahu tentang desa itu? Memangnya apa yang membuat kalian ingin mencari tahu?” tanya lelaki itu dengan sorot mata yang tajam.
Liang Yi tidak menjawab. Tidak mungkin dia mengatakan tentang Li Jia, satu-satunya penghuni desa yang selamat. Dia tidak ingin gadis yang dicintainya itu menjadi sasaran selanjutnya.
“Ah, sudahlah. Jangan katakan alasanmu kalau kamu tidak percaya padaku. Kalau apa yang aku pikirkan ini benar, maka jagalah dia dan jangan biarkan siapa pun mengetahui keberadaannya.”
Liang Yi terkejut mendengar ucapan lelaki itu. Seakan mengerti, lelaki itu kembali berucap, “Aku percaya padamu karena itu aku akan mengatakan apa yang aku tahu.” Lelaki itu kembali menyeruput tehnya. Wajah rentanya tampak lelah. Namun, saat menceritakan apa yang dilihat dan didengar olehnya, tatapan matanya menyiratkan penyesalan dan kesedihan.
Liang Yi mendengar dengan seksama apa yang disampaikan oleh lelaki itu. Mendengar penjelasannya, Liang Yi mengepalkan tangannya karena menahan amarah. Air matanya membendung saat mendengar kisah yang sangat memilukan. Kisah yang menceritakan tentang seorang gadis kecil yang terpaksa harus berjuang seorang diri untuk menguburkan jasad-jasad penduduk desanya yang telah kaku.
“Hingga saat ini, Paman merasa sangat bersalah karena hanya bisa melihatnya tanpa melakukan apa pun. Paman terlalu pengecut karena tidak mempunyai keberanian untuk menolongnya.” Lelaki itu menyeka air matanya. Ada penyesalan yang tersirat dari tatapan matanya itu.
Lelaki itu kembali melanjutkan ceritanya itu. Di mana dia mendengar ucapan seseorang yang mengatakan kalau semua penduduk di desa itu harus mati dan tidak boleh menyisakan satu orang pun.
“Cepat bunuh mereka! Aku tidak ingin satu pun yang tersisa. Satu saja yang tersisa bisa membahayakan bagi tuan kita. Kita harus menghapus desa ini dari bumi agar tidak menjadi ancaman bagi tuan,” ucap seseorang yang menutupi setengah wajahnya.
Lelaki tua itu masih mengingat dengan jelas apa yang dilihat dan didengar olehnya. Bahkan, ada satu perkataan yang membuat dirinya terkejut. Perkataan yang menyebutkan tentang sebuah ramalan. Di mana ramalan yang menyebutkan tentang seorang wanita dari desa itu akan menjadi seorang ratu. Ratu yang akan menjadi pendamping raja untuk memimpin negeri itu.
Sontak, Liang Yi terkejut.