Dalam perjalanan pulang, Liang Yi terus memikirkan perkataan lelaki tua itu. Sebuah ramalan yang menyatakan kalau salah satu gadis dari desa itu akan menjadi ratu di masa depan. “Apa karena ramalan itu semua penduduk desa lantas dibunuh?” batin Liang Yi seakan tidak percaya kalau sebuah desa dihabisi hanya karena ramalan.
Ramalan itu lantas diceritakannya pada sang ayah. Mendengarnya, Jenderal Liang Zhou tampak geram. Hanya karena ramalan, Li Jia harus menderita.
“Ayah, kalau ramalan itu memang benar, lalu siapa yang merasa terancam dengan ramalan itu? Apa ada pihak-pihak yang terusik dengan ramalan itu?” tanya Liang Yi seakan tidak percaya dengan ramalan itu.
“Kalau memang seperti itu, berarti ada yang tidak menginginkan posisi ratu di ambil oleh orang lain. Hanya saja, kita tidak tahu siapa mereka. Hampir semua pejabat istana yang memiliki anak gadis sangat berharap agar anak gadisnya menjadi pengantin raja. Dan kita tidak bisa menunduh tanpa ada bukti,” ucap Jenderal Liang Zhou.
Sementara di istana, sudah datang beberapa putri pejabat istana. Mereka akan mengikuti seleksi untuk menjadi calon ratu negeri itu.
Pangeran Wang Li sedang berada di paviliun. Dia sama sekali tidak tertarik dengan kedatangan gadis-gadis itu. Dia lebih memilih untuk berlatih beladiri. Pemuda itu tampak basah dengan peluh saat baru saja berlatih tanding dengan salah satu pengawalnya.
“Kenapa Liang Yi belum juga datang? Apa suratku sudah kamu sampaikan padanya?” tanya pemuda itu pada salah satu pengawalnya.
“Hamba sudah menyerahkan surat itu, Pangeran. Mungkin sebentar lagi Tuan Liang Yi akan datang.”
Benar saja, Liang Yi tampak memasuki halaman paviliun. Melihatnya, Pangeran Wang Li tersenyum. Saat Liang Yi semakin mendekat ke arahnya, Pangeran Wang Li lantas menyerangnya. Sontak, Liang Yi menghindar. Kedua pemuda itu kini bertarung. Keduanya saling menyerang. Liang Yi berusaha menghindar dan tidak terlalu memberi perlawanan.
“Serang aku! Apa kamu melihatku sebagai orang yang patut dikasihani? Ayo, lawan aku!” Pangeran Wang Li berseru sambil melancarkan serangannya. Pemuda itu tidak main-main saat menyerang Liang Yi.
Liang Yi akhirnya meladeni serangan dari Pangeran Wang Li. Mereka bertarung. Para pengawal yang ada di tempat itu memerhatikan mereka dengan rasa kagum. Dua sahabat itu tidak main-main. Bukan baru sekali ini mereka berlatih tanding, mereka sudah biasa melakukannya sedari masih kecil dulu.
Liang Yi bukan hanya lawan tanding, tetapi juga kawan dalam membahas tentang negeri. Liang Yi menjadi tempat terakhir bagi Pangeran Wang Li untuk bertanya atau meminta saran. Kedua sahabat itu selalu berbagi ilmu dan juga membagi kasih sayang layaknya saudara.
Keduanya masih bertarung dan enggan untuk menyerah. Pangeran Wang Li menghunuskan pedangnya pada Liang Yi. Liang Yi tak tinggal diam. Dia menangkis serangan itu dengan pedangnya. Suara denting pedang saling beradu, hingga mereka berhenti saat sebuah tandu memasuki halaman paviliun.
Pangeran Wang Li melihat ke arah tandu. Napasnya memburu karena pertarungan itu. Sementara Liang Yi, sudah berdiri di belakang Pangeran Wang Li seraya menundukkan wajahnya.
“Apa aku mengganggu latihan kalian?” Putri Liu Yen berjalan mendekati Pangeran Wang Li. Gadis itu tampak cantik. Dia adalah gadis yang digadang-gadangkan akan menduduki posisi sebagai ratu.
“Kenapa kamu ada di sini? Sebaiknya kamu kembali berkumpul dengan gadis-gadis itu,” ucap Pangeran Wang Li sambil memberikan pedangnya pada Liang Yi.
“Aku tahu Pangeran tidak akan datang ke sana. Karena itu, aku ke sini untuk bertemu denganmu,” jawab gadis itu dengan senyum manjanya.
Semua pengawal telah meninggalkan paviliun. Begitu pun dengan Liang Yi. Mereka sengaja pergi agar Pangeran Wang Li bisa bicara berdua dengan gadis itu.
“Pangeran, apa aku punya kesempatan untuk menjadi ratumu?” tanya Putri Liu Yen sambil menatap pemuda itu.
Pangeran Wang Li hanya dian dan masuk ke dalam paviliun. Gadis itu mengikutinya. Dia cukup berani karena sudah menganggap Pangeran Wang Li sebagai calon suaminya. Karena itu, dia tidak sungkan untuk bertemu.dengan pemuda itu.
“Apa kamu sangat ingin menjadi ratuku kelak?” Pangeran Wang Li lantas duduk. Gadis itu pun duduk di depannya.
“Aku ingin menjadi ratumu dan mendampingimu memimpin negeri ini. Lagipula, tidak ada satu pun gadis di luar sana yang menarik hatimu. Benar, kan?” Puteri Liu Yen tampak begitu yakin dengan ucapannya itu.
Mendengar ucapannya, Pangeran Wang Li tertawa. “Kenapa kamu berpikir seperti itu? Apa kamu tahu kalau ada satu gadis yang sangat aku sukai?”
Seketika, roman wajah gadis itu berubah. Ucapan Pangeran Wang Li membuatnya mengepalkan tangannya. Dia seakan cemburu karena tahu kalau pemuda yang dicintainya itu menyukai gadis lain.
“Siapa gadis beruntung itu? Apa aku boleh tahu siapa dia?”
“Kamu tidak perlu tahu siapa dia. Aku hanya ingin bilang kalau aku sangat mencintainya.”
Kembali Putri Liu Yen termakan cemburu. Telinganya panas saat mendengar ungkapan cinta pangeran pada gadis lain.
“Kalau begitu, kenapa Pangeran tidak membawanya ke istana dan memperkenalkannya pada kami? Atau, jangan-jangan Pangeran hanya ingin membuatku cemburu?”
Pangeran Wang Li tersenyum kecut. “Ah, sudahlah. Untuk apa kita membahasnya? Lalu, untuk apa kamu datang ke sini?”
“Aku ingin menemui calon suamiku. Apa itu masalah bagimu?”
“Apa kamu yakin aku bersedia menikahimu? Liu Yen, bukankah aku sudah bilang kalau aku hanya akan menikahi gadis yang aku cintai. Apa aku perlu menjelaskan semuanya padamu?”
Wajah gadis itu merah padam. Sekuat apa pun dia mencoba menarik perhatian Pangeran Wang Li, pemuda itu tetap tidak memedulikannya. Dia bagaikan sedang mengemis cinta pada pemuda itu. Harga dirinya begitu terinjak-injak saat Pangeran Wang Li mengatakan kalau tidak mencintainya.
Banyak pemuda kaya dari kalangan bangsawan yang ingin melamarnya, tetapi Puteri Liu Yen menolak. Itu karena dia telah mencintai Pangeran Wang Li. Pemuda itu telah menarik hatinya, hingga dia rela melakukan apa saja agar dirinya bisa menjadi istri pemuda itu sekaligus ratu di istana.
Itu semua didukung oleh sang ayah. Perdana Menteri Liu rela melakukan apa saja untuk melancarkan apa yang menjadi tujuan dari putrinya itu. Dengan kekuasaan dan harta yang dimilikinya, dia bisa berbuat apa saja. Bahkan, menghabisi satu desa karena ramalan dari seorang peramal yang mengatakan kalau ratu akan muncul dari sebuah desa yang berada di atas bukit. Ratu yang memiliki kecantikan dan kepribadian yang membuat raja mencintainya. Ratu yang memiliki warna mata yang berbeda dari gadis mana pun.
Putri Liu Yen dari kecil sudah menunjukkan ketertatikannya pada Pangeran Wang Li. Dan itu menjadi alasan bagi Perdana Menteri Liu untuk menjadikan putrinya ratu di negeri itu. Bagimanapun caranya.
Putri Liu Yen kembali ke kediamannya dengan amarah. Saat masuk ke kamarnya, semua barang yang ada di tempat itu dihancurkan olehnya. Kaca dan juga guci-guci hancur berantakan. Dia marah karena merasa terhina dengan penolakan dari Pangeran Wang Li.
“Putriku, ada apa? Kenapa kamu marah-marah seperti ini?” tanya Perdana Menteri Liu sambil memerhatikan kamar yang telah berantakan.
Gadis itu lantas duduk sembari memukul meja. Air matanya membendung dengan wajah yang memerah karena menahan amarah. “Ayah, singkirkan semua gadis-gadis itu. Aku tidak ingin mereka menjadi sainganku. Siapa pun yang mencoba mengambil apa yang aku inginkan, maka dia harus mati!”
Perdana Menteri Liu tersenyum saat mendengar ucapan putrinya itu. “Baiklah kalau itu yang kamu inginkan. Gadis-gadis itu akan Ayah singkirkan dan kamu akan menjadi satu-satunya gadis yang mau tidak mau harus dipilih oleh pangeran. Jangan khawatirkan apa pun, kamu pasti akan menjadi ratu di negeri ini,” ucapnya yakin.
Benar saja, gadis-gadis itu tanpa alasan mengundurkan diri dari pemilihan ratu. Yang tersisa hanyalah Puteri Liu Yen.
Kekuasaan dan ancaman menjadi jalan bagi Perdana Menteri Liu untuk menyingkirkan saingan putrinya. Bahkan, dia sudah menyiapkan rencana untuk menghentikan penyelidikan Liang Yi tentang pembantaian yang dilakukannya. Atas perintahnya, desa itu dihabisi. Tak hanya itu, peramal yang meramalkan tentang kemunculan ratu dari desa itu pun mati di tangannya.
Liang Yi baru saja kembali dari istana. Dia menunggangi kudanya dalam perjalanan menuju ke rumah. Di perjalanan, dia dicegat oleh beberapa lelaki bertopeng.
“Siapa kalian dan kenapa kalian menghalangi jalanku?” tanya Ling Yi. Pemuda itu tampak tenang walau dia tahu kalau saat ini dirinya bisa saja dalam bahaya.
Sepuluh orang lelaki itu lantas menyerangnya. Tak tinggal diam, Liang Yi berusaha untuk melawan.
Pertarungan yang tidak seimbang itu berlangsung sengit. Walau seorang diri, tetapi Liang Yi mampu mengimbangi serangan mereka. Walau tak mudah, tetapi dia berhasil melukai beberapa di antara mereka.
“Apa kalian pikir bisa dengan mudah mengalahkanku? Apa tuan kalian yang memerintahkan untuk membunuhku? Apa dia takut kalau kejahatannya akan terbongkar?”
Mendengar ucapan Liang Yi, salah satu dari mereka maju dan mulai menyerangnya. Liang Yi menghindar dan menangkis dengan pedangnya saat lelaki itu menyerangnya. Lelaki itu memiliki jurus yang sangat hebat. Liang Yi sempat tersudut dengan serangannya itu.
“Siapa sebenarnya lelaki itu? Jurusnya ternyata cukup mematikan,” batin Liang Yi saat diserang lelaki itu. Walau begitu, Liang Yi tidak mudah dikalahkan. Dia mampu memberikan perlawanan yang cukup berarti.
Liang Yi masih bertarung, hingga tiba-tiba beberapa anak panah melesat ke arah orang-orang yang menyerangnya. Liang Yi sempat melihat ke arah munculnya anak panah dan melihat ayahnya serta dua anak buahnya datang dengan menunggangi kuda. Sontak, lelaki yang menyerangnya terkejut. Terlebih, semua anak buahnya telah tewas. Dalam keadaan terdesak, lelaki itu pun melarikan diri.
“Liang Yi, kamu tidak apa-apa, kan?” tanya Jenderal Liang Zhou sambil melompat dari atas punggung kudanya. Dia segera mendekati putranya itu.
“Aku tidak apa-apa, Ayah.” Jenderal Liang Zhou lantas memeluk putranya itu. Rasa khawatir tak bisa disembunyikan di wajahnya yang sudah tidak lagi muda.
“Kenapa Ayah bisa ada di sini?” tanya Liang Yi pada ayahnya itu.
Jenderal Liang Zhou menarik napas dan mengembuskannya perlahan. “Ayah punya informasi penting yang harus Ayah sampaikan padamu. Entah mengapa, Ayah merasa tidak tenang saat kamu meminta untuk pulang terlebih dulu. Anakku, mulai saat ini kamu harus lebih berhati-hati,” jelas lelaki itu.
“Baik, Ayah. Memangnya ada Informasi apa?”
Dalam perjalanan, Jenderal Liang Zhou menceritakan tentang apa yang ditemukan olehnya.
“Jadi, gadis-gadis itu telah mengundurkan diri dan yang tersisa hanya Putri Liu Yen?”
“Benar. Ayah sudah mencari tahu kenapa mereka mengundurkan diri dan mereka memiliki alasan yang bagi Ayah tidak masuk akal.”
“Alasan? Maksud, Ayah?”
“Putri Menteri Kehakiman mengundurkan diri karena sakit. Padahal, dia tidak memiliki riwayat penyakit yang membahayakan. Putri Jenderal Han, mengundurkan diri karena sudah memiliki kekasih, padahal gadis itu sebelumnya tidak memiliki kekasih. Gadis-gadis yang lain juga memiliki alasan yang hampir sama, sakit atau sudah tidak ingin lagi menjadi ratu,” jelas Jenderal Liang Zhou.
“Apa Ayah berpikir kalau semua itu karena Perdana Menteri Liu?” tanya Liang Yi. “Apa dia juga dalang dibalik pembantaian di desa Li Jia?”
“Ayah belum bisa memastikan karena belum ada bukti. Tugas kita untuk menyelidiki mereka. Karena itu, mulai saat ini kita harus berhati-hati.”
“Bakk, Ayah.” Liang Yi mengangguk.
Tak berapa lama, mereka tiba di rumah. Melihat Li Jia, Liang Yi menatapnya. Gadis itu tersenyum saat melihat kekasihnya itu menatapnya. “Ada apa? Kenapa melihatku seperti itu?” tanya Li Jia. Liang Yi lantas meraih tangannya dan menggenggamnya erat. Mereka lantas duduk di saung saat langit malam memancarkan cahaya bulan purnama.
“Sebentar lagi aku akan mendapatkan bukti tentang pembantaian di desamu. Jadi, jangan terlalu mengkhawatirkanku dan jangan bersedih lagi. Mereka pasti akan dihukum atas perbuatan mereka.”
Li Jia tersenyum dan mengeratkan genggaman tangannya. Dia duduk bersandar di lengan kekasihnya sembari menatap hamparan langit hitam yang bertabur cahaya bulan dan bintang.
“Aku sudah tidak memikirkannya lagi. Aku tidak ingin kehilangan orang-orang yang aku sayangi karena dendamku. Karena itu, jangan mencari tahu lagi karena aku kini ingin bahagia tanpa lagi ada dendam,” ucap Li Jia tenang. Walau tak bisa dipungkiri, masih ada rasa marah saat mengingat kematian orang-orang yang dia cintai. Namun, kini dia hanya ingin hidup tenang bersama orang-orang yang dicintainya.
“Tenanglah, jangan khawatirkan itu. Tidak lama lagi semuanya akan terkuak. Aku dan ayah sudah mendapat titik terang.”
“Apa itu benar?” Li Jia menatap Liang Yi dengan mata berbinar. Pemuda itu mengangguk. Li Jia lantas memeluknya. “Terima kasih,” ucap Li Jia tulus dan penuh harap.
“Apa hanya itu?” Li Jia melepaskan pelukannya dan menatap Liang Yi dengan tatapan manja. “Ah, apa aku bisa menikmati tarianmu? Sudah lama aku tidak melihat tarianmu lagi. Apa kamu tidak keberatan untuk menari di depanku?”
Li Jia tersenyum. Wajahnya tampak cantik saat diterpa cahaya bulan. Gadis itu lantas bangkit. Di depan Liang Yi, dia kini menari. Sebuah tarian kegembiraan karena saat ini dia tengah bahagia.
Li Jia menari dengan sangat indah. Di bawah temaram langit hitam, dia menari sembari bersenandung yang terdengar begitu merdu. Liang Yi menatapnya kagum. Dia tak berkedip saat melihat senyuman yang terukir di sudut bibir kekasihnya itu. Senyum yang membuat hatinya begitu damai.
Liang Yi lantas bangkit dan berjalan mendekati Li Jia. Tubuh gadis itu lantas diraih dalam dekapannya. Mereka saling menatap dan perlaham mata indah Li Jia terpejam seiring kecupan lembut yang kini membuainya.
“Li Jia, tetaplah berada di sisiku. Apa pun yang terjadi, aku tidak akan membiarkanmu menjadi milik orang lain. Kamu adalah takdirku dan selamanya akan menjadi wanita yang pertama dan terakhir dalam hidupku,” batin Liang Yi yang belum melepaskan dekapan dan kecupannya. Dekapan yang tidak ingin dia lepaskan dan kecupan yang selalu ingin dia rasakan, kini dan untuk selamanya.