Pendekar Cinta dan Dendam episode 20

Chapter 20

Pangeran Wang Li bergegas pergi ke kediaman Liang Yi setelah menerima kabar tentang pembunuhan yang terjadi di keluarga sahabatnya itu. Setibanya di sana, dia terkejut saat melihat jasad orang tua Liang Yi telah tewas mengenaskan.

Amarahnya memuncak saat tidak menemukan Liang Yi dan Liang Zia di sana. Dia lantas memerintahkan prajurit untuk segera mencari mereka. Hidup atau pun mati.

“Angkat jenazah Jenderal Liang Zhou dan istrinya dengan hati-hati. Segera siapkan pemakaman untuk mereka,” perintah Pangeran Wang Li.

Saat itu juga, jenazah suami istri itu dibawa ke istana atas perintah Pangeran Wang Li sembari menunggu kabar tentang Liang Yi dan adiknya. Hingga menjelang sore, para prajurit tidak menemukan keberadaan Liang Yi dan adiknya itu. Pangeran Wang Li tampak sedih saat mendengar hal tersebut.

“Liang Yi, di mana pun dirimu, aku mohon tetaplah hidup. Aku berjanji akan mencari orang-orang yang telah membunuh orang tuamu,” batin Pangeran Wang Li saat mengkremasi jasad orang tua Liang Yi. Malam itu juga, dia memerintahkan untuk mengkremasi kedua jasad itu.

Sementara Li Jia dan Liang Zia tampak kelelahan. Kedua gadis itu kini bersembunyi di dalam hutan. Tak peduli dengan dinginnya angin di malam itu, keduanya saling berangkulan dan menatap api unggun yang baru saja dinyalakan oleh Li Jia.

“Kakak, apa Kak Liang Yi sudah mati?” tanya Liang Zia dengan isak tangis.

Li Jia menggenggam tangan gadis itu dan merangkulnya. Dia tak kuasa menahan tangis atas pertanyaan itu. Pertanyaan yang juga mengganggunya.

“Kita berdoa saja, semoga Liang Yi masih hidup,” jawab Li Jia, walau dia sadar kemungkinan itu sangatlah kecil. Terlebih, Liang Yi saat itu dipanah tepat mengenai dadanya. Mengingat kejadian itu, Li Jia menangis. Wajah sang kekasih kini muncul di benaknya. Wajah yang ingin kembali dilihatnya.

Malam kian larut. Kedua gadis itu tertidur walau sesekali terbangun karena suara semak yang dilalui binatang malam. Saat langit mulai memerah, Li Jia membangunkan Liang Zia karena mereka harus kembali melanjutkan perjalanan.

“Kakak, kita akan pergi ke mana?” tanya Liang Zia saat kuda yang ditunggangi mulai berjalan meninggalkan tempat itu.

“Tenanglah, kita akan pergi ke suatu tempat dan kita akan aman di sana. Jangan khawatir, kamu akan baik-baik saja,” jawab Li Jia.

Kuda terus berjalan, hingga mereka memasuki satu pemukiman. Rasa lapar dan lelah membuat kedua gadis itu memilih untuk beristirahat sejenak. Namun, rasa takut kembali memaksa mereka untuk kembali melanjutkan perjalanan.

“Kita tidak bisa naik kuda lagi. Aku khawatir akan ada orang yang mengenali kita. Liang Zia, kamu masih kuat berjalan, kan?” tanya Li Jia pada gadis itu. Liang Zia mengangguk dan mereka akhirnya meninggalkan kuda begitu saja dan memilih berjalan kaki.

Kedua gadis itu terus berjalan. Mereka sengaja menutupi wajah agar tidak ada yang mengenali mereka. Ada rasa takut yang memaksa untuk menghindar dari tatapan orang-orang. Saat melintas di antara kerumunana orang-orang, Li Jia melihat seseorang yang dikenalnya. Dia lantas mendekati orang itu, tetapi dia menghentikan langkahnya saat melihat beberapa orang lelaki yang mencurigakan. Dia lantas menarik tangan Liang Zia dan bersembunyi.

Setelah merasa aman, keduanya keluar dari tempat persembunyian. Li Jia lantas mencari orang yang dikenalnya itu, tetapi dia tidak menemukannya.

“Kakak, siapa wanita itu?” tanya Liang Zia.

“Dia adalah orang yang sudah menjagaku. Kita harus pergi menemuinya,” jawab Li Jia.

Kedua gadis itu terus berjalan dan tiba di depan sebuah bangunan mewah. Keduanya lantas masuk.

“Siapa kalian?” Kedua gadis itu dicegat oleh seorang penjaga.

“Aku ingin bertemu dengan Nyonya Yi Wei. Cepat panggilkan Nyonya, katakan padanya kalau Li Jia ada di sini,” ucap Li Jia pada lelaki itu.

Tiba-tiba, Liang Zia jatuh pingsan. Li Jia terkejut saat gadis itu terbaring lemah.

“Tolong bantu aku! Aku tidak ingin kehilangan lagi.” Li Jia tampak panik saat melihat Liang Zia terbaring lemah. Tubuh gadis itu mengalami demam tinggi.

“Liang Zia, aku mohon bertahanlah,” ucap Li Jia sambil memeluknya.

“Ada apa ini?”

Li Jia melihat ke arah suara. Seketika, orang itu mendekatinya.

“Li Jia, apa itu dirimu?”

“Nyonya, tolong aku!”

Mengetahui gadis itu adalah Li Jia, wanita itu yang ternyata adalah Yi Wei lantas memerintahkan penjaga untuk mengangkat tubuh gadis yang pingsan itu dan membawanya ke dalam kamar

Yi Wei lantas memapah Li Jia masuk ke kamarnya. Gadis itu tampak lemah saat dibaringkan di atas pembaringan.

“Li Jia, apa yang terjadi?” tanya Yi Wei yang menatapnya sedih. Li Jia hanya menangis sesenggukan, hingga Yi Wei tidak lagi bertanya.

“Nyonya, tolong obati gadis itu,” ucap Li Jia memohon.

“Jangan khawatir, aku sudah memerintahkan tabib untuk mengobatinya. Kamu juga harus memikirkan keadaanmu.”

Li Jia menggenggam tangan Yi Wei dan dia pun menangis. Yi Wei hanya bisa mendengar tangisnya yang terdengar memilukan. Wanita itu lantas membelai puncak kepala Li Jia. Ada banyak pertanyaan yang ingin dia lontarkan, tetapi dia memilih untuk menyimpannya sampai Li Jia tenang.

Keadaan Liang Zia mulai membaik. Li Jia tampak duduk di sampingnya sambil menggenggam tangannya. Gadis itu tersenyum saat Liang Zia perlahan membuka matanya.

“Kakak,” ucap Liang Zia saat melihat Li Jia duduk di depannya.

“Istirahatlah dan jangan takut lagi. Kamu sudah aman. Tidak ada yang bisa menyakitimu di tempat ini,” ucap Li Jia sembari membelai kepala gadis itu.

Pintu kamar terbuka. Yi Wei masuk dengan membawa makanan dan obat. Dia lantas duduk di depan kedua gadis itu.

“Maaf, tetapi apa yang sebenarnya terjadi?” tanya wanita itu.

Li Jia mencoba untuk menenangkan diri. Setidaknya, dia butuh kekuatan untuk menceritakan kejadian pahit yang kembali dialaminya.

“Li Jia, mana Lian? Kenapa dia tidak bersamamu?” tanya wanita itu lagi.

Kembali, ingatan tentang kematian Lian muncul lagi. Dia berusaha menahan air mata, tetapi air bening itu begitu mudah jatuh ketika mengingat orang-orang yang mati karena dirinya.

“Lian telah mati.”

“Apa? Li Jia, kamu tidak berbohong, kan?” tanya Yi Wei tidak percaya.

Li Jia lantas menceritakan tentang kejadian itu. Kejadian yang membuatnya bertemu dengan Liang Yi dan tinggal bersama mereka. Semua yang dialaminya selama ini tak luput diceritakan olehnya.

Mendengar hal itu, Yi Wei menitikkan air mata. Lian, lelaki yang dikenal baik olehnya itu ternyata telah mati. Mati demi melindungi kekasihnya. Dan kini, Liang Yi yang merupakan sahabat pangeran dan putra dari seorang jenderal juga telah mati. Semua karena untuk melindungi Li Jia.

Yi Wei menatap Liang Zia dengan tatapan sedih. Gadis itu telah kehilangan keluarganya. Dia kembali menatap Li Jia dan tampak kesedihan di raut wajahnya.

“Hanya karena ramalan, hidupmu menderita. Li Jia, lalu apa yang akan kamu lakukan?”

“Ramalan? Apa maksud Nyonya dengan ramalan?” tanya Li Jia penasaran.

“Apa kamu tidak tahu tentang rumor yang saat ini beredar? Katanya, desamu itu dibantai karena ada sebuah ramalan yang mangatakan kalau akan muncul seorang ratu dari desa itu. Ratu yang memiliki warna mata yang berbeda dan itu adalah dirimu.” Yi Wei menatap Li Jia dan dia sendiri terkejut dengan apa yang baru saja dikatakannya. “Li Jia, apa mungkin ramalan itu tentang dirimu?” tanya wanita itu kembali. Li Jia terkejut karena dia tidak pernah mendengar tentang ramalan itu.

“Itu benar,” ucap Liang Zia. “Ayah dan Kak Liang Yi yang sudah menyebarkan rumor itu. Menurut mereka, ada orang-orang yang tidak ingin posisi ratu diduduki oleh orang lain. Karena itu, mereka membunuh desa itu dan juga berusaha untuk menyingkirkan calon ratu lainnya,” jelas Liang Zia.

Li Jia tak percaya dengan apa yang didengarnya. Hanya karena sebuah ramalan, mereka tega membunuh orang tua dan semua penduduk desanya. Tak hanya itu, mereka juga membunuh orang tua angkatnya dan kekasihnya. Li Jia mengepalkan tangannya. Dia tampak marah.

Sementara di kediaman Perdana Menteri Liu, Putri Liu Yen tampak bahagia karena penghalang rencananya telah disingkirkan.

“Ayah, secepatnya Ayah harus mendesak raja agar pangeran mau menikahiku. Semua yang menjadi penghalangku telah mati dan itu berarti tidak ada yang bisa menghentikan kita,” ucap gadis itu penuh kemenangan.

“Putriku, tenanglah. Kalau kita terburu-buru mereka bisa saja curiga pada kita. Apalagi, saat ini pangeran sedang berduka karena Liang Yi baru saja mati. Kamu harus bisa bersabar. Ayah pasti akan menikahkanmu dengan pangeran.”

Putri Liu Yen lantas tersenyum. Setidaknya, tidak ada lagi yang menghalanginya. Dia akan terus maju dan menjadi ratu di negeri itu. Bagaimanapun caranya.

Empat puluh hari, Pangeran Wang Li tidak keluar dari paviliun. Selama empat puluh hari itu, dia melakukan masa berkabung untuk menghormati Liang Yi dan kedua orang tua dari sahabatnya itu.

Walau sudah memerintahkan orang kepercayaannya untuk mencari tahu tentang pembunuhan itu, tetapi mereka tidak menemukan hasil apa pun. Rencana pembunuhan itu rupanya telah terencana dengan matang, hingga tidak meninggalkan jejak dan saksi. Semua penghuni rumah itu telah mati.

Di dalam paviliun, Pangeran Wang Li sedang duduk. Dia mengingat kebersamaannya dengan Liang Yi. Kebersamaan yang membuatnya tidak bisa melupakan sahabatnya itu. Air matanya perlahan jatuh saat mengingat kebersamaan mereka.

“Liang Yi, sudah 40 hari kamu pergi. Maafkan aku karena tidak bisa melindungimu,” ucap Pangeran Wang Li sambil meneguk secangkir arak. Dia tampak mabuk.

Sejak kematian Liang Yi, Pangeran Wang Li lebih banyak menghabiskan waktu di dalam paviliun. Dia tampak sedih karena kehilangan sahabatnya itu.

“Pangeran, Yang Mulia Raja ingin bertemu.”

Salah seorang prajurit datang menemuinya dan menyampaikan pesan itu. Pangeran Wang Li bergeming. Dia masih duduk sambil meneguk arak.

“Pangeran, Yang Mulia kini sedang sekarat.”

Sontak, dia meletakkan cangkirnya dan bergegas menemui ayahnya.

Pangeran Wang Li duduk di samping ayahnya yang kini terbaring lemah. Dia terlihat menyesal karena sempat menolak panggilan ayahnya.

“Putraku, kamu harus kuat. Ayah sudah tidak mampu untuk memimpin negeri ini.” Lelaki itu terbatuk-batuk saat mengucapkan hal itu.

“Ayah, apa yang harus aku lakukan?” Pangeran Wang Li menangis di depan ayahnya. Dia merasa kalau tidak mampu untuk mencegah pembunuhan itu. Dia merasa kalau dirinya tidak layak untuk menjadi seorang raja.

“Putraku, maafkan Ayah karena tidak bisa membantumu. Ayah hanya bisa memperingatkanmu kalau di dekatmu ada orang-orang yang ingin menguasai negeri ini. Putraku, jangan biarkan siapa pun mengekangmu. Cukup Ayah yang patuh pada permintaan mereka. Kamu harus bisa mengambil keputusan karena nasib negeri ini ada di tanganmu.”

Pangeran Wang Li menggenggam tangan ayahnya erat. Melihat kondisi ayahnya yang sekarat, Pangeran Wang Li enggan beranjak. Semua pejabat istana sudah berkumpul saat mendengar kabar tentang kondisi raja yang kritis. Tak terkecuali Perdana Menteri Liu. Lelaki itu seakan berharap kematian raja. Dengan begitu, dia bisa lebih mudah menguasai semua pejabat untuk menentang keputusan pangeran yang menolak untuk menikah.

Suara tangis menggema saat raja dikabarkan telang meninggal dunia. Pangeran Wang Li duduk di samping jenazah ayahnya. Dia telah kehilangan orang-orang yang disayanginya. Wanita yang diam-diam dicintainya, sahabat, dan juga ayahnya.

Pangeran Wang Li begitu terpukul. Di saat kesedihan melanda, tidak ada tempat baginya untuknya bersandar. Dia merasa sendirian dalam menanggung kesedihannya itu.

Kabar kematian raja tersiar hingga ke pelosok negeri. Li Jia mendengar kabar duka itu dan dia merasa kasihan pada Pangeran Wang Li.

“Pangeran pasti sangat sedih. Dia telah kehilangan orang-orang yang dia cintai,” ucap Liang Zia.

Li Jia hanya terdiam. Seakan dia sedang memikirkan sesuatu.

“Aku akan pergi ke istana,” ucap Li Jia yang membuat Liang Zia dan Yi Wei terkejut.

“Li Jia, apa yang baru saja kamu katakan? Apa kamu ingin mati?” Yi Wei tampak tidak setuju dengan ucapan gadis itu.

Li Jia menatapanya. “Aku harus mencari tahu sendiri akar dari semua masalah ini. Kalau bukan aku yang melakukannya, siapa lagi. Semua orang telah mati karena diriku. Lalu, kenapa aku harus takut untuk mati?”

Yi Wei terdiam. Begitu pun dengan Liang Zia. Walaupun ingin melarang, tetapi tekad Li Jia telah bulat. Dia akan memasuki istana.

“Lalu, apa rencanamu? Apa kamu ingin bunuh diri di sana?” tanya Yi Wei dengan wajah kesal.

“Aku akan mewujudkan ramalan itu. Bukankah, ramalan itu tentang diriku?”

“Li Jia, apa kamu yakin? Apa kamu bisa menjadi ratu? Ingat, kamu hanya …. ”

“Ya, aku hanya seorang penari atau tepatnya seorang wanita penghibur. Aku tak peduli walau harus menjadi selir karena tujuanku hanya untuk membuat siapa pun yang terancam dengan kehadiranku menampakkan diri mereka. Dengan menjadi selir pun, aku yakin mereka akan keluar dan menunjukkan wajah mereka.”

Li Jia begitu yakin. Dia tidak peduli walau dirinya harus menjadi seorang selir. Dia akan melakukan apa pun agar pangeran mencintainya. Dia akan mendekati pangeran walau dengan menahan air mata. Air mata karena dirinya kini harus merelakan diri menjadi wanita dari pemuda itu dan melupakan kisah cintanya yang lalu.

“Maafkan aku, Liang Yi. Untukmu aku rela melakukan apa pun walau aku harus merelakan cinta dan tubuhku untuk dimiliki oleh pangeran. Maafkan aku karena hanya ini caraku untuk bisa mencari pembunuh-pembunuh itu. Aku harap, kamu mengikhlaskanku. Liang Yi, aku akan selalu mencintaimu,” batin Li Jia di sela air matanya. Li Jia sudah bertekad untuk masuk ke istana. Dia harus bisa mendapatkan perhatian pangeran kembali.

Sementara jauh di sana, ada seseorang yang mengharapkan dirinya. Seseorang yang begitu merindukannya. Seseorang yang berusaha untuk kembali menemui kekasih hatinya.

“Li Jia, apa kamu baik-baik saja?”


Pendekar Cinta dan Dendam

Pendekar Cinta dan Dendam

Status: Ongoing Tipe: Author: Dirilis: 2021 Native Language: Indonesia
Kepulan asap hitam tampak mengepul di atas sebuah bukit. Bukit yang ditinggali beberapa kepala keluarga itu tampak diselimuti kepulan asap dengan kobaran api yang mulai membakar satu per satu rumah penduduk yang terbuat dari bambu. Warga desa tampak berlarian untuk berlindung, tapi rupanya penyebab dari kekacauan itu enggan membiarkan mereka meninggalkan tempat itu."Cepat bunuh mereka! Jangan biarkan satu pun yang lolos!" perintah salah satu lelaki. Lelaki yang menutupi setengah wajahnya itu menatap beringas siapa pun yang ada di depannya. Tanpa belas kasih, dia membantai setiap warga yang dijumpainya. Tak peduli anak-anak ataupun orang dewasa, dengan tega dia membantai tanpa ampun.penasaran dengan kelanjutannya? yuk segera simak cerita dibawah ini

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset