Pangeran wang Li memimpin upacara pemakaman ayahnya. Semua yang hadir di tempat itu mengenakan baju putih, tanda kalau mereka sedang berkabung.
Di pemakaman khusus para raja, lelaki itu dimakamkan. Pangeran Wang Li menatap jasad ayahnya yang dibaringkan di dalam liang. Di dalam sebuah peti, tubuh kaku itu disemayamkan. Setelah upacara pemakaman selesai, Pangeran Wang Li kembali ke paviliun. Dia ingin menyendiri di sana.
Semua penduduk di negeri itu kini tengah berduka. Tak terkecuali seorang pemuda yang sedang duduk sembari menatap langit senja.
“Tuan, masuklah. Hari sebentar lagi gelap. Kondisi Tuan juga belum pulih. Ayo, masuklah.” Seorang lelaki setengah baya berdiri di belakangnya. Pemuda itu melihat ke arahnya.
“Sampai kapan aku akan seperti ini. Apa lukaku separah itu?” tanya pemuda itu.
“Tuan, bersyukurlah karena dewa masih melindungimu. Untung saja tubuhmu mempunyai ketahanan yang cukup tangguh. Bisa saja saat itu Tuan akan mati. Namun, dewa masih melindungimu. Karena itu, tetaplah beristirahat sambil menyembuhkan lukamu itu. Aku yakin, Tuan pasti bisa kembali pulih seperti dulu.”
“Tapi sampai kapan? Saat ini, Pangeran Wang Li pasti sedang bersedih karena raja telah wafat. Dan aku juga ingin mencari kekasih dan juga adikku. Aku tidak tahu apa mereka masih hidup ataukah sudah mati.”
Pemuda itu adalah Liang Yi. Rupanya, semesta belum ingin mengambil nyawanya. Saat itu, dia ditolong oleh seorang nelayan. Luka parah yang dia alami membuatnya tidak sadarkan diri selama tujuh hari. Untung saja nelayan itu mengerti tentang ilmu pengobatan, hingga Liang Yi perlahan-lahan bisa disembuhkan. Namun, lukanya itu membutuhkan waktu yang lebih lama untuk bisa kembali pulih seperti dulu.
Sudah hampir tiga bulan, Liang Yi berada di desa kecil itu. Desa yang penduduknya terlihat sederhana. Mereka mencari nafkah dengan menjadi nelayan dan juga petani.
Selama di desa itu, Liang Yi belajar bagaimana cara untuk bertahan hidup. Dia juga belajar tentang pengobatan. Nelayan yang menolongnya ternyata memiliki ilmu pengetahuan yang tidak sedikit. Darinya, Liang Yi belajar tentang kehidupan. Karena itu, dia masih bersabar karena lukanya itu belum memungkinkannya untuk pergi.
Di istana, masa berkabung untuk raja telah berakhir. Empat puluh hari Pangeran Wang Li mengumumkan masa berkabung untuk ayahnya. Dan kini, suasana aula tampak ramai. Para pejabat istana sedang berkumpul. Mereka meminta Pangeran Wang Li untuk segera diangkat menjadi raja.
Pangeran Wang Li berdiri di depan mereka. Dia tampak geram karena mereka sudah memintanya untuk segera diangkat menjadi raja. Tak hanya itu, dia bahkan dipaksa untuk menikahi Putri Liu Yen yang menjadi satu-satunya kandidat ratu yang tersisa.
“Apa kalian tidak melihat kesedihan di wajahku? Tanpa kalian minta pun, aku akan tetap menjadi raja. Namun, bukan untuk saat ini!” seru Pangeran Wang Li geram.
“Kami mengerti Pangeran, tetapi tidak mungkin tahta dibiarkan kosong. Pangeran harus segera menjadi raja agar rakyat bisa tenang. Pangeran juga harus segera menikah karena seorang raja harus memiliki penerus.” Seorang pejabat istana mengemukakan pendapatnya dan diiakan oleh pejabat istana lainnya.
Pangeran Wang Li mengepalkan kedua tangannya. Dia begitu marah, tetapi dia mencoba untuk meredamnya. Tanpa berkata apa pun, Pangeran Wang Li akhirnya pergi.
Di paviliun, Pangeran Wang Li tampak berpikir keras. Dia sedang memikirkan rencana apa yang harus ditempuh. “Apa aku harus menikahi gadis itu? Kenapa Perdana Menteri Liu begitu terobsesi dengan pernikahan putrinya denganku?” batin Pangeran Wang Li. “Liang Yi, andai saja ada dirimu di sini, aku pasti tdak akan kesulitan seperti ini. Sekarang, apa yang harus aku lakukan?”
Desakan demi desakan membuat Pangeran Wang Li tersudut. Walau sudah menolak untuk menikahi Putri Liu Yen, tetapi para pejabat istana dan para sarjana muda terus mendesaknya. Dengan alasan kalau seorang raja harus memiliki ratu sebelum dilantik menjadi raja. Sedangkan, tahta sudah kosong sejak raja terdahulu wafat dan itu menjadi keresahan di kalangan masyarakat.
Karena tidak ingin rakyatnya resah, Pangeran Wang Li akhirnya menerima pernikahan itu. “Baiklah, aku akan menikahi Putri Liu Yen dan segera dilantik menjadi raja,” ucapnya saat pertemuan di aula. Perdana Menteri Liu tersenyum puas saat mendengar hal itu. Begitu juga dengan Putri Liu Yen. Dia tampak berbinar saat mengetahui kalau dirinya akan menjadi seorang ratu.
Suasana di istana tampak berbeda. Halaman istana sudah dihiasi lampion dan aneka bunga. Di hari itu, Pangeran Wang Li akan menikah dan diangkat menjadi raja.
Semua tamu sudah hadir. Sementara di dalam kamar, Pangeran Wang Li sudah bersiap dengan baju pengantin yang dia kenakan. Dia tampak gagah dan tampan dengan baju yang dikenakannya itu.
“Untuk mencari tahu semuanya, aku harus ikuti permaianan mereka. Aku akan menikahi gadis itu dan mencari tahu tentangnya. Ayah, aku mohon bantu aku,” batin Oangeran Wang Li saat dirinya keluar dari kamar.
Di halaman istana, tandu pengantin wanita baru saja sampai. Putri Liu Yen keluar dari tandu dengan mengenakan baju pengantin berwarna merah. Dia berjalan dan dituntun oleh dua orang wanita paruh baya menuju ke arah Pangeran Wang Li yang sudah berdiri menunggu.
Proses pernikahan pun dilaksanakan. Keduanya berlutut di depan abu para leluhur. Keduanya berdiri berdampingan dan memberi hormat pada semua tamu yang hadir.
Mereka lantas duduk di sebuah kursi yang dipersiapakan khusus untuk acara pernikahan. Di saat itulah, mereka disajikan dengan sebuah pertunjukan yang sudah disiapkan.
Para penyanyi istana dan pemain musik begitu lihai melantunkan puisi syahdu. Kata-kata cinta terurai dalam setiap syair yang didendangkan. Pangeran Wang Li hanya menatap tanpa ekspresi yang berarti. Namun, ekspresinya itu berubah saat melihat seorang penari yang kini menari di depannya. Dia menatap tak berkedip, hingga rasa cemburu menggelayut di hati Putri Liu Yen.
“Siapa penari itu? Apa mungkin dia masih hidup?” batin Putri Liu Yen sambil memerhatikannya.
Penari itu mengenakan penutup wajah sama seperti seorang penari yang pernah dikenalnya. Pangeran Wang Li tampak penasaran dan memerhatikan setiap gerakan penari itu. “Apa mungkin dia adalah Li Jia?” batinnya.
Sementara, penari itu terus menari. Dia berusaha menari sebaik mungkin agar Pangeran Wang Li tertarik padanya. Tak peduli walau dirinya akan dianggap hina. Dan dia berhasil mengambil kembali perhatian Pangeran Wang Li. Saat dia selesai menari, Pangeran Wang Li mencari-cari keberadaannya. Tatapan matanya liar mencari sosok yang baginya tak asing.
“Li Jia, kalau itu dirimu, maka kali ini aku tidak akan melepaskanmu,” batin Pangeran Wang Li.
Di luar panggung, Li Jia duduk sambil menunduk. Ada rasa sedih saat dia menari. Air matanya tak mampu ditahan. Di balik penutup wajah, dia menitikkan air mata.
“Apa kamu baik-baik saja?” Li Jia mengangkat wajahnya dan menatap Yi Wei yang berdiri di depannya.
“Aku baik-baik saja. Aku butuh istirahat,” jawabnya.
“Kalau begitu aku akan mengantarmu ke ruangan yang dikhususkan buat kita. Ayo, kita pergi!”
Keduanya lantas menuju ke ruangan itu. Li Jia memerhatikan tempat itu dan ingatannya kembali ke masa lalu. Ingatan tentang dua sosok lelaki yang rela mati untuknya.
“Masuklah, aku masih harus menunggui penari lainnya di bawah panggung. Setelah ini, aku akan kembali menjemputmu karena kamu masih harus menari. Pangeran Wang Li akan segera dinobatkan menjadi raja. Jadi, beristirahlah.”
Yi Wei kemudian pergi. Li Jia lantas masuk ke ruangan itu. Baru saja dia masuk, pingu ruangan itu diketuk. Dia pun segera membukanya.
Sontak, dia termundur ke belakang saat melihat Pangeran Wang Li berdiri di depannya. Pemuda itu lantas masuk dan mengunci pintu.
“Katakan padaku, siapa sebenarnya dirimu?” tanya Pangeran Wang Li yang masih mengenakan baju pengantin. Li Jia terdiam. Dia seakan tidak bisa berkata-kata. “Aku tidak mungkin salah mengenalimu. Li Jia, apa itu dirimu?” Kembali Pangeran Wang Li bertanya.
Li Jia lantas berlutut. “Maafkan aku, Pangeran. Maafkan aku.”
Pangeran Wang Li terkejut. Dia seakan tidak percaya kalau saat ini dia dipertemukan kembali dengan gadis yang selama ini dicintainya dalam diam. Pangeran Wang Li lantas meraih tubuh Li Jia dan memeluknya erat. Dia tampak menangis karena kerinduan yang selama ini terpendam.
“Aku tahu kalau kita pasti bertemu lagi. Aku tidak peduli dengan apa pun lagi karena aku tidak akan melepaskanmu. Sudah cukup aku mengalah waktu itu dan kini aku tidak akan mengalah lagi,” ucap Pangeran Wang Li yang membuat Li Jia terhenyak.
Li Jia lantas melepaskan pelukannya. Dari balik penutup wajah, dia bisa melihat air mata yang membasahi wajah pemuda itu.
Pangeran Wang Li kembali meraih tubuhnya ke dalam pelukan. Li Jia kembali berusaha untuk melepaskan diri, tetapi pemuda itu memeluknya semakin erat.
“Aku sadar kalau saat ini aku telah menikah, tetapi itu semua bukan mauku. Aku hanya tidak ingin melihat rakyatku resah karena tahta yang kosong tanpa pemimpin. Andai saja kamu datang lebih dulu, aku pasti akan menjadikanmu sebagai ratuku. Li Jia, aku mohon jangan pergi meninggalkanku lagi. Aku sudah kehilangan Liang Yi dan aku tidak ingin kehilanganmu lagi.”
Li Jia terdiam. Mendengar penuturan Pangeran Wang Li, dia merasa bersalah karena pemuda itu benar-benar mencintainya. Sementara dirinya mendekati pemuda itu hanya untuk mencari tahu tentang pembunuh kekasihnya.
Pangeran Wang Li melepaskan pelukannya. Dia tersenyum seakan bisa melihat wajah yang selama ini tertutup penutup wajah. Wajah yang sekali pun tidak pernah dilihat olehnya. Dia menyentuh sudut penutup wajah sembari tersenyum. “Aku tak peduli seperti apa rupa wajahmu karena aku mencintaimu bukan karena wajahmu itu. Aku merasa nyaman saat dekat denganmu. Aku merasa memiliki sesuatu yang selama ini kucari. Sesuatu yang tidak aku dapatkan dari wanita mana pun. Li Jia, tetaplah berada di sisiku. Aku mohon,” pintanya.
“Pangeran, kembalilah. Apa kata orang nanti jika melihatmu di sini bersamaku?”
“Aku tak peduli. Aku tidak akan pergi sebelum kamu menjawab pertanyaanku.”
Li Jia dibuat bingung dengan sikap Pangeran Wang Li. “Baiklah, aku tidak akan ke mana-mana. Kapan pun kamu memintaku untuk datang, aku pasti akan segera datang menemuimu. Cepat, pergilah.”
Pangeran Wang Li tersenyum. Kembali, dia memeluk Li Jia dan kemudian pergi.
Li Jia terduduk lemas saat pemuda itu telah pergi. Sementara, Pangeran Wang Li tamapk bahagia dengan pertemuan itu. Walau dia harus mencari kesempatan untuk bisa menemui gadis yang selama ini mencuri hatinya.
“Apa dia benar mencintaiku? Kenapa aku semakin merasa bersalah?” Li Jia mulai ragu dengan tujuannya untuk memasuki istana. Tanpa perlu merayu ataupun menjadi wanita penggoda, nyatanya Pangeran Wang Li telah mencintainya entah sejak kapan. Dia sendiri pun tidak tahu.
Pangeran Wang Li kini telah mengenakan jubah raja. Dia trelihat gagah dengan jubah yang dikenakannya itu. Di depan abu raja terdahulu, Pangeran Wang Li dan Putri Liu Yen menunduk memberi penghormatan. Keduanya telah dinibatkan menjadi taja dan ratu di negeri itu.
Suara musik kembali menggema. Para penari kembali menyuguhkan tarian kegembiraan. Di luar istana, rakyat tengah berbahagia. Mereka ikut merayakan penobatan raja. Begitu pun dengan Liang Yi. Dia begitu bahagia karena sahabatnya kini telah menjadi penguasa tertinggi.
“Pangeran, tunggu aku. Aku pasti akan kembali berada di sampingmu dan melindungimu dengan nyawaku,” ucap Liang Yi sambil menenggak arak sebagai tanda penghormatan.
Pangeran Wang Li kini tengah menyaksikan tarian dari seseorang yang sangat dicintainya. Dia menatap tak berkedip dengan penuh rasa kagum. Putri Liu Yen tampak tidak tenang saat melihat penari itu. Dia begitu memendam rasa cemburu.
Saat acara telah selesai, Li Jia dan semua penari akan kembali ke Rumah Pelangi. Namun, seorang dayang datang dan menahan Li Jia.
“Apa? Ratu ingin bertemu denganku?” tanya Li Jia saat mengetahui kalau Putri Liu Yen ingin menemuinya.
“Benar. Silakan ikut aku.”
Li Jia tampak ragu, tetapi dia mengempaskan keraguannya itu. Yi Wei dan rombongan akhirmya kembali tanpa dirinya.
Li Jia dibawa ke suatu ruangan. Dia mengikuti ke mana dayang itu akan membawanya. “Silakan masuk,” ucap dayang itu.
Li Jia lantas masuk. Kepalanya menunduk saat memasuki ruangan itu.
“Duduklah.”
Li Jia kemudian duduk. Tak lupa, dia berlutut memberi hormat. Tampak Putri Liu Yen duduk di depannya.
“Buka penutup wajahmu itu! Apa kamu tidak punya sopan santun saat berhadapan dengan seorang ratu?”
Li Jia terkejut.
“Dayang, masuklah!”
Tiga orang dayang lantas masuk dan menarik Li Jia. Kedua orang dayang memegang lengannya. Sementara seorang lagi sudah bersiap untuk melepaskan penutup wajahnya. Li Jia berusaha berontak, tetapi lengannya dipegang dengan erat.
Tiba-tiba saja, pintu ruangan itu terbuka. Pangeran Wang Li berjalan ke arah Li Jia. Melihat Pangeran Wang Li, ketiga dayang lantas berlutut. Pemuda itu meraih tangan Li Jia.
“Pengawal, tangkap dan penjarakan mereka!” perintahnya pada prajurit untuk menangkap ketiga dayang itu. Ketiganya meminta pengampunan, tetapi tidak digubris oleh Pangeran Wang Li.
“Aku tidak menyangka kalau kamu bisa berbuat serendah ini. Mulai malam ini, aku tidak akan pernah menginjakkan kakiku di kamarmu. Mengerti!”
Pangeran Wang Li menarik tangan Li Jia dan membawanya keluar dari ruangan itu. Putri Liu Yen tampak geram. Dia melemparkan apa saja yang ada di depannya ke arah pintu.
Sementara Li Jia, hanya bisa mengikuti Pangeran Wang Li yang masih menggenggam tangannya dan berjalan ke arah paviliun. Dia bisa melihat kemarahan di wajah pemuda itu.
“Pangeran, aku mohon jangan memperlakukanku seperti ini. Aku tidak pantas untuk dicintai. Aku mohon, jangan buat aku bersimpati padamu karena sikapmu itu padaku,” batin Li Jia yang belum mengalihkan pandangannya dari wajah Pangeran Wang Li. Setibanya di paviliun, pemuda itu lantas memeluk Li Jia yang kini terdiam.