Tanpa takut sedikit pun, Li Jia memperlihatkan wajahnya di depan semua orang. Sontak, mereka terkejut. Terlebih saat melihat warna mata yang dimiliki oleh gadis itu.
Putri Liu Yen tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Dia sama sekali tidak menyangka kalau gadis yang menjadi saingannya ternyata adalah gadis yang diramalkan. Gadis yang desanya telah dibantai atas perintah ayahnya, Perdana Menteri Liu.
“Kenapa? Apa kalian terkejut?” Li Jia tersenyum kecut saat tatapannya mengarah pada semua orang yang melihat ke arahnya.
“Aku satu-satunya yang selamat dari pembantaian di desaku. Pembantaian karena ramalan yang menyebutkan kalau akan muncul ratu dari desaku. Dan kini, takdir telah membawaku ke istana dan menjadi ratu. Apa kalian tahu bagaimana penderitaanku selama ini?” Li Jia mengepalkan tangannya. Air matanya coba ditahan. Pangeran Wang Li lantas menggenggam tangannya.
Melihat perlakuan Pangeran Wang Li pada Li Jia, Putri Liu Yen semakin terbakar cemburu. Dia menatap ayahnya yang tidak bisa berbuat apa-apa. Tatapan matanya memerah menahan amarah.
“Aku tahu, di antara kalian ada yang tidak suka dengan kehadiran Ratu di sampingku. Dan aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitinya,” ucap Pangeran Wang Li tegas.
Pemuda itu kembali melihat Putri Liu Yen. “Apa kamu masih ingin membantah atas percobaan pembunuhan yang kamu lakukan pada Li Jia waktu itu?”
Putri Liu Yen terdiam. Dia menatap Li Jia dengan tatapan kebencian. Senyuman sinis terukir di sudut bibirnya. “Bunuh saja aku jika itu bisa mengembalikan kekasihmu yang telah mati. Ah, kamu beruntung karena memiliki lelaki yang melindungi dan rela mati untukmu. Apa kamu pikir kehadiran Yang Mulia di sampingmu bisa melindungimu? Kamu hanya akan membuat Yang Mulia mengalami masalah. Apa kamu tidak menyadari itu?”
“Cukup! Prajurit, seret Putri Liu Yen dan masukkan dia dalam penjara! Bagaimanapun caranya, paksa dia untuk bicara!” perintah Pangeran Wang Li.
Para prajurit lantas membawa Putri Liu Yen. Wanita itu tertawa saat prajurit membawanya. Dia sempat melihat ke ayahnya. Lelaki itu tampak geram saat melihat putrinya diperlakukan dengan sangat kasar. Bahkan, wajah putrinya terluka karena siksaan yang dialaminya.
Li Jia melihat Putri Liu Yen yang dibawa paksa. Dia menitikkan air mata. “Lian, sekarang kamu bisa beristirahat dengan tenang. Orang yang telah membunuhmu kini telah dipenjara. Maafkan aku karena baru bisa membalaskan dendammu,” batin Li Jia sedih.
Pangeran Wang Li masih menggenggam tangan Li Jia. Walau dia tahu kalau pemuda itu sangat mencintainya, tetapi apa yang diucapkan Putri Liu Yen menjadi ketakutan di dalam hatinya. Dia takut jika Pangeran Wang Li akan dicelakai karena dirinya.
Setibanya di paviliun, Li Jia terduduk lemas. Dayang Lin lantas membantunya untuk bangkit. “Yang Mulia Ratu, apa Anda baik-baik saja?”
Li Jia tidak menjawab. Dia tampak menangis karena beban yang selama ini ditanggungnya. Dengan memberanikan diri dan tidak peduli pada keselamatan dirinya, dia menunjukkan wajahnya di depan semua orang. Dia sadar, kalau tindakannya itu akan membuat orang-orang yang tidak suka padanya akan mengincarnya atau bahkan membunuhnya.
“Dayang Lin, apa aku salah? Aku takut jika Yang Mulia akan mengalami kesulitam karena kecerobohanku. Aku tidak ingin siapa pun terluka karena diriku, tetapi aku tidak bisa diam saja melihat mereka yang sudah membunuh orang yang pernah aku cintai.”
Li Jia menatap Dayang Lin dengan tatapan sedih. Dia seakan berada dalam lingkaran ketakutan karena tindakannya sendiri.
Tiba-tiba, Pangeran Wang Li datang. Dayang Lin kemudian pergi. Sementara Li Jia, berusaha bangkit untuk memberi hormat pada pemuda itu. Namun, Pangeran Wang Li segera mendekatinya. Li Jia kembali dibuat tak berdaya saat Pangeran Wang Li memeluknya.
“Jangan takut apa pun selama aku ada di sampingmu. Bukankah aku sudah berjanji untuk melindungimu?”
“Aku takut jika mereka menyakitimu. Apa aku harus melihatmu terluka karena diriku?”
“Tidak ada yang bisa menyakitiku. Aku mempunyai orang-orang kepercayaan yang selalu menjagaku. Karena itu, jangan salahkan dirimu, mengerti!”
Li Jia terdiam. Pangeran Wang Li selalu berhasil meyakinkannya. Pemuda itu mampu menenangkan hatinya yang gelisah.
“Mulai hari ini, kamu adalah ratuku. Kamu adalah istriku dan aku berjanji tidak akan memiliki wanita lain di dalam hidupku. Kehadiranmu di sisiku sudah cukup bagiku.”
Kembali, Li Jia tersentuh. Seorang raja sepatutnya memiliki wanita lebih dari satu. Namun, Pangeran Wang Li telah berjanji kalau dirinya merupakan satu-satunya wanita bagi pemuda itu. Entah dirinya harus bahagia ataukah tersiksa. Tersiksa karena perasaan cinta yang mulai datang menggoda.
“Istriku, aku tahu kamu belum sepenuhnya mencintaiku. Walau begitu, aku akan menunggu hingga kamu benar-benar mencintaiku. Aku tidak mengapa karena aku yakin, kita pasti akan saling mencintai,” ucap Pangeran Wang Li. Pemuda itu tersenyum sembari menggenggam tangan Li Jia dan memeluknya erat.
Kabar tentang pelengseran Putri Liu Yen dari posisi ratu tersebar begitu cepat. Berita itu akhirnya sampai di telinga Liang Yi.
“Apa? Ratu telah dilengserkan dan Yang Mulia telah menikah dan memiliki ratu yang baru?” tanya Liang Yi saat mendengar kabar dari salah satu warga di desa itu.
“Benar. Ratu ternyata telah merencanakan pembunuhan terhadap salah satu penari yang dekat dengan Yang Mulia. Ratu telah membunuh pengawal dari penari itu. Dan yang lebih membuatku terkejut, ternyata penari itu adalah wanita yang diramalkan menjadi ratu. Dan Yang Mulia kini telah menikahinya dan menjadikannya ratu yang baru.”
Liang Yi terperanjat. Dia tidak perrcaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Dia lantas bergegas menuju kandang kuda dan mengeluarkan salah satu kuda.
“Liang Yi, kamu mau ke mana?”
“Aku harus menemuinya. Dia harus tahu kalau aku masih hidup,” jawabnya dengan air mata yang membendung.
Liang Yi lantas pergi. Walau mereka sudah melarangnya, dia tetap pergi. Hatinya hancur saat mengetahui kalau kekasihnya telah menjadi ratu dan itu artinya dia telah kehilangan wanita yang dicintainya.
“Li Jia, jangan lakukan ini padaku. Aku tidak bisa membiarkanmu dimiliki lelaki lain walau dia adalah sahabatku sendiri. Aku tidak bisa!” Air matanya jatuh saat mengingat kekasihnya itu. Liang Yi menangisi kisah cintanya yang berada diambang perpisahan.
Dengan menutupi setengah wajahnya dengan syal, Liang Yi menyusuri jalanan kota. Dia memacu laju kudanya dengan cepat. Walau dia sendiri tidak tahu harus menemui Li Jia dengan cara apa.
Di depan gerbang istana, Liang Yi menghentikan laju kudanya. Dari atas kuda, dia memerhatikan gerbang yang tertutup dengan penjagaan yang ketat. Dia masih berada di tempat itu dan berharap melihat wajah sang kekasih yang sangat dia rindukan. Hingga hari menjelang senja, Liang Yi belum beranjak. Dia masih berada di sana.
“Kalau seperti ini, aku tidak akan bisa menemuinya. Bagaimanapun caranya, aku harus menemuinya,” batin Liang Yi.
Hari mulai malam. Temaram cahaya bulan separuh menghiasi tempat itu. Tempat di mana Liang Yi sudah bersiap-siap untuk masuk ke dalam istana. Melalui jalan rahasia, dia menyelinap dan melalui jalan yang terlihat sepi.
Liang Yi menutupi wajahnya. Keahlian dan kecakapannya rupanya tak surut. Sakit yang dia rasakan ternyata telah sembuh total. Bahkan, kekuatannya dan keahliannya dalam bertarung kian pesat.
Selama masa penyembuhan, Liang Yi selalu membayangkan pertemuannya dengan Li Jia. Pertemuan yang tidak akan lagi pernah terpisahkan. Namun, hatinya kini tengah goyah karena kekasihnya telah memilih untuk masuk ke istana. Bahkan, telah menjadi ratu dari negeri itu.
Liang Yi berjalan mengendap sambil memerhatikan prajurit yang sedang berjaga. Sangat mudah baginya untuk menyusup. Setiap sudut di istana sudah dihapalnya di luar kepala.
Di depan paviliun, Liang Yi berdiri di belakang sebuah pohon. Dia memerhatikan tempat itu. Pangeran Wang Li rupanya memerintahkan penjagaan di sekitar tempat itu. Penjagaan yang cukup ketat. Walau begitu, Liang Yi tahu caranya untuk bisa masuk ke dalam paviliun.
Dengan kekuatannya, Liang Yi terus bergerak maju. Posisinya kini berada di samping paviliun. Tepat di samping ruangan yang ditempati Li Jia.
Dari tempatnya bersembunyi, Liang Yi melihat Pangeran Wang Li menuju ke ruangan itu. Pangeran Wang Li hanya datang seorang diri. Wajahnya tampak tersenyum saat berdiri di depan pintu. Tak lama, pintu pun terbuka. Liang Yi melihat seorang gadis menyambut Pangeran Wang Li. Seketika, hatinya bergemuruh. Gadis itu adalah gadis yang ingin dijumpainya.
Temaram lilin dari dalam ruangan masih menyala saat Pangeran Wang Li masuk ke ruangan itu. Liang Yi mengalihkan pandangannya. Dia begitu cemburu saat melihat kekasihnya berdua dengan Pangeran Wang Li di dalam sana. Tangannya mengepal menahan perih di hatinya.
Tak lama, Pangeran Wang Li keluar. Pemuda itu hanya datang untuk berkunjung. Dia tahu kalau butuh waktu untuk meluluhkan hati Li Jia. Karena itu, dia tidak memperlakukan Li Jia layaknya seorang istri, mealinkan seorang teman.
Setelah kepergian Pangeran Wang Li, Li Jia kembali masuk ke dalam ruangan. Sementara Dayang Lin hanya berdiri di depan pintu dan menunggu perintah dari Li Jia.
Saat dirinya akan berbaring, Li Jia terkejut saat melihat seorang lelaki berdiri di sampingnya. Dia tersentak dan berusaha untuk berteriak. Namun, tangan lelaki itu menutupi mulutnya. Li Jia masih berontak karena lelaki itu meraih tubuhnya ke dalam pelukan. Gadis itu tetap berontak walau tak peduli dirinya yang saati ini ketakuatan.
“Tenanglah. Ini aku,” ucap lelaki itu di belakang telinga Li Jia. Gadis itu terdiam. Suara itu sangat dikenalnya.
Liang Yi lantas melepaskan pelukannya. Li Jia menatap lelaki yang menutupi setengah wajahnya itu. Seakan tak percaya, dia membuka syal yang menutupi wajah lelaki itu. Tangannya gemetar saat menyentuh syal, hingga wajah lelaki itu terlihat.
“Liang Yi! Apa benar kamu Liang Yi?” Li Jia menatapnya tak percaya. Kekasih yang dianggapnya telah tewas kini berdiri di depannya. Li Jia tidak mampu membendung air matanya. Dia terduduk lesu dengan isak tangis yang terdengar perlahan.
Liang Yi lantas duduk di depannya. Tangannya menyentuh wajah Li Jia. Dia begitu mendambakan untuk kembali bersama gadis itu. Namun, Li Jia bukan lagi miliknya. Dia telah menjadi ratu dan istri dari Pangeran Wang Li yang merupakan sababat dan juga saudara baginya.
Li Jia memejamkan matanya saat tangan Liang Yi menyentuh wajahnya. Sentuhan yang selama ini dia rindukan.
“Maafkan aku. Aku tidak bisa menepati janjiku untuk tidak datang ke istana. Aku putus asa karena berpikir kalau kamu …. ”
Liang Yi memeluk Li Jia erat. Dia menangis. Tangisan penyesalan karena dirinya datang terlambat.
Li Jia memeluk Liang Yi erat. Dia menangis karena pemuda itu baik-baik saja. Keduanya kini menangis. Tangisan karena penyesalan.
“Syukurlah, ternyata kamu baik-baik saja. Selama ini, aku khawatir karena tidak mendengar kabar darimu dan Liang Zia. Melihatmu di sini, aku sekarang tenang,” ucap Liang Yi belum melepaskan pelukan.
“Apa aku terlihat baik-baik saja? Liang Yi, bawa aku pergi dari sini. Aku ingin bersamamu,” ucap Li Jia. Gadis itu memeluk Liang Yi semakin erat.
“Apa kamu yakin? Kamu adalah ratu dan istri dari Pangeran Wang Li. Apa kamu akan mengkhianatinya?”
Li Jia melepaskan pelukannya dan menatap Liang Yi dengan air mata. “Aku hanya mencintaimu. Aku terpaksa melakukan semua ini agar pembunuh-pembunuh itu menampakkan diri. Aku tak peduli walau harus mati asalkan pembunuh kedua orang tua kita bisa diketahui dan diadili.”
Liang Yi tersenyum dan menyeka air mata Li Jia. Dia tidak menyangka kalau gadis itu rela mengorbankan diri untuk dijadikan umpan.
“Liang Zia ada di Rumah Pelangi. Dia baik-baik saja. Kita akan menemuinya dan pergi dari sini. Aku ingin hidup bersama kalian.”
Liang Yi mengangguk dan kembali memeluk Li Jia. Dia begitu bahagia karena kekasihnya itu masih menyimpan cinta untuknya. Di saat mereka sedang berpelukan, Dayang Lin memberitahukan dari luar kalau Pangeran Wang Li sedang menuju ke ruangan itu.
“Liang Yi, pergilah. Aku mohon, setelah ini datang dan jemput aku. Bawa aku pergi bersamamu,” pinta Li Jia dengan air mata. Liang Yi mengecup dahinya dan kemudian bersembunyi.
Li Jia menghapus air matanya. Dia lantas bangkit dan bermaksud membuka pintu, tetapi pintu tiba-tiba terbuka. Di depannya, Pangeran Wang Li berjalan ke arahnya dan dia terkejut saat pemuda itu memeluknya.
“Istriku, izinkan aku menginap di sini malam ini. Aku tidak bisa tidur karena memimpikan Liang Yi yang datang padaku. Dia …. ”
“Yang Mulia, itu hanyalah bunga tidur.”
“Tidak! Aku yakin, Liang Yi masih hidup. Andai itu benar, aku akan sangat bahagia. Dia tidak boleh meninggalkanku dengan cara seperti ini.”
Pangeran Wang Li melepaskan pelukannya. Dia meraih tangan Li Jia dan membawanya ke pembaringan. “Aku ingin tidur di pangkuanmu. Istriku, apa kamu keberatan?”
Li Jia berada dalam dilema. Tidak mungkin baginya untuk menolak walau hati kecilnya tidak ingin melakukannya. Namun, sebagai seorang istri, dia akan mewujudkannya selama Pangeran Wang Li tidak menyentuhnya selayaknya seorang istri.
Li Jia duduk di atas pembaringan. Pangeran Wang Li lantas meletakan kepalanya di atas pangkuan gadis itu. Dia menggenggam tangan Li Jia seraya menatap wajahnya. “Istriku, aku sangat mencintaimu. Jangan pernah meninggalkanku karena bagiku kamulah kehidupanku,” ucap Pangeran Wang Li sambil menyentuh wajah Li Jia dengan lembut.
Sementara Liang Yi dari tempatnya bersembunyi, dia bisa melihat dan mendengar apa yang diucapkan Pangeran Wang Li. Ucapan kata cinta yang begitu besar kepada Li Jia. Dengan berat hati, dia akhirnya pergi membawa kegelisahan yang memaksanya untuk menerima kenyataan. Kenyataan kalau dirinya tidak mungkin bisa kembali memiliki sang kekasih.