Liang Yi kembali dengan hati hampa. Pertemuan bahagia yang baru saja dia rasakan, kini pupus dengan keping hati yang luka.
Liang Yi menunggangi kudanya dan pergi ke Rumah Pelangi. Melihatnya, Nyonya Yi Wei tampak terkejut. Dia lantas memanggil Liang Zia.
“Apa? Kakakku ada di sini?” tanya Liang Zia tak percaya. Gadis itu lantas berlari menuju halaman. Di sana, dia melihat seorang pemuda yang berdiri membelakanginya.
“Kak Liang Yi, apa kamu itu kakakku?”
Liang Zia tak bisa membendung air matanya saat pemuda itu berbalik dan melihat ke arahnya. Sontak, dia memeluk pemuda itu dan menangis. Liang Yi memeluk adiknya dengan tangis yang terdengar.
“Maafkan Kakak karena baru datang menemuimu. Kakak harus menyembuhkan luka Kakak agar bisa mencarimu dan Li Jia. Syukurlah karena kalian berdua baik-baik saja,” ucap Liang Yi. Pemuda itu melepaskan pelukannya dan menatap sang adik yang masih menangis. “Jangan menangis. Mulai saat ini kita tidak akan terpisah lagi.”
“Tapi, Kak, Kak Li Jia sudah …. ”
“Aku tahu.”
Liang Zia menatap kakaknya sedih. “Maafkan aku karena tidak bisa mencegahnya pergi ke istana. Kak Li Jia sudah putus asa karena kehilangan Kakak dan orang tua kita. Karena itu, Kak Li Jia pergi ke istana untuk mendekati pangeran. Dia ingin mewujudkan ramalan itu. Dan sekarang Kak Li Jia sudah …. ”
“Aku tahu karena aku sudah menemuinya. Karena itu, Kakak tahu kamu ada di sini.”
Liang Yi mencoba menutupi kesedihan di wajahnya. Namun, Liang Zia tahu kalau kakaknya itu sedang merasakan kesedihan karena kehilangan cintanya. Gadis itu kembali memeluknya. Liang Yi berusaha menahan rasa sedihnya itu.
“Untuk sementara, kamu tinggal di sini dulu. Masih ada urusan yang harus Kakak kerjakan. Jika urusan itu sudah selesai, Kakak akan datang menjemputmu. Kamu tidak keberatan, kan?” tanya Liang Yi pada adiknya itu.
“Aku tahu apa yang akan Kakak lakukan. Aku akan menunggu. Kakak, balaskan dendam ayah dan ibu. Aku akan baik-baik saja di sini,” jawab Liang Zia tenang.
Liang Yi lantas menemui Nyonya Yi Wei. Dia ingin meminta bantuan wanita itu untuk menjaga adiknya.
“Jangan khawatir. Aku akan menjaga Liang Zia. Kamu juga harus hati-hati. Liang Yi, maafkan Li Jia karena dia sudah terlanjur mengambil keputusan untuk pergi ke istana. Dia putus asa karena mengira kalau lelaki yang dia cintai telah mati karena dirinya. Jadi, dia terpaksa melakukannya. Sekarang, pasti ada pihak yang berusaha untuk mencelakainya. Karena itu, aku mohon padamu untuk selalu melindunginya. Aku mohon.” Nyonya Yi Wei menunduk di depan Liang Yi. Dia sangat berharap agar pemuda itu mau melindungi Li Jia.
“Aku akan melindunginya tanpa Nyonya minta sekalipun. Aku akan melindunginya karena aku sudah berjanji pada orang tuaku dan pada diriku sendiri untuk selalu melindunginya. Nyonya jangan khawatirkan itu.”
Nyonya Yi Wei tersenyum. Liang Yi lantas meminta undur diri. Dia harus kembali ke desa. Pemuda itu sudah bersiap dengan rencana yang telah dia siapkan.
Selama berada di desa, Liang Yi telah menggali berbagai informasi. Secara diam-diam, dia telah menghubungi beberapa mantan anak buah ayahnya. Beberapa anak buah Jenderal Liang Zhou terkenal dengan keloyalitasnya pada jenderal mereka. Karena pembunuhan Jenderal Liang Zhou dan istrinya, banyak anak buahnya yang mengundurkan diri. Namun, mereka tidak tinggal diam. Dengan kemampuan yang dimiliki, mereka telah bekerja sama untuk mencari para pembunuh itu.
Seorang lelaki datang dengan menunggangi kudanya. Dia datang bersama dua orang yang ditariknya dengan tali. Kedua lelaki itu berjalan dengan wajah tertutup dan tangan yang terikat pada tali yang ujungnya dipegang oleh lelaki itu.
Di depan Liang Yi, lelaki itu menghentikan kudanya. Dia melompat turun dari atas punggung kudanya dan berdiri di depan Liang Yi.
“Paman, siapa mereka?” tanya Liang Yi pada lelaki itu. Lelaki itu tidak menjawab. Dia berjalan ke arah dua lelaki yang masih terikat dan melepaskan kain yang menutupi mata keduanya.
Tampak, wajah keduanya babak belur. Darah kering terlihat di sudut bibir dengan luka lebam di sekitar wajah.
“Mereka adalah para pembunuh bayaran. Mereka dibayar untuk membunuh keluargamu,” ucap lelaki itu. Tanpa kasihan, dia melayangkan pukulan di perut kedua lelaki itu. Dia marah seakan ingin melampiaskan dendammya.
Kedua lelaki itu meringis menahan sakit akibat pukulan itu. Liang Yi lantas berjalan ke arah mereka. Keduanya tampak ketakutan.
“Katakan padaku, siapa yang menyuruh kalian untuk menyerang rumahku? Katakan!” Liang Yi tampak geram. Dia mengepalkan kedua tangannya.
“Kami tidak tahu. Kami hanya diperintahkan untuk membunuh siapa pun di rumah itu,” elak salah satu lelaki ketakutan.
Liang Yi tidak percaya begitu saja. Dia lantas menghunuskan pedangnya ke leher lelaki itu karena dia tahu mereka berusaha menyembunyikan sesuatu.
“Kalau tidak mengatakan yang sebenarnya padaku, maka jangan salahkan aku jika membunuh kalian. Sekarang, katakan yang sebenarnya, siapa yang menyuruh kalian?” Kembali Liang Yi bertanya, tetapi kedua lelaki itu masih bersikukuh kalau mereka hanya disuruh dan tidak mengenali orang itu.
Karena terus mengelak dan berbohong, Liang Yi tanpa ragu sedikit pun membunuh salah satu dari kedua lelaki itu. Tubuh lelaki itu tersungkur dengan luka menganga di bagian dada. Lelaki itu mati mengenaskan, hingga temannya tidak berkutik.
“Jangan bunuh aku! Baiklah, aku akan mengatakan yang sebenarnya,” ucap lelaki itu sambil berlutut di depan Liang Yi.
Dia lantas mengatakan apa yang diketahui olehnya. Sebelum malam pembunuhan itu, mereka ditemui oleh salah seorang lelaki yang menutupi wajahnya. Lelaki itu memberikan bayaran yang cukup besar untuk membunuh semua penghuni di dalam rumah yang sebelumnya sudah menjadi target.
“Apa kamu tahu siapa lelaki itu?” tanya Liang Yi.
“Aku tidak tahu karena dia menutupi setengah wajahnya. Namun, aku sempat melihat salah satu jari di tangan kirinya yang putus. Ya, aku ingat. Jari telunjuknya telah putus!” seru lelaki itu.
“Apa kamu yakin?” tanya Liang Yi.
“Aku yakin. Lelaki itu tidak memiliki jari telujuk di tangan kirinya,” jawab lelaki tersebut yakin.
Liang Yi lantas memerintahkan untuk mengurung lelaki itu. Warga desa rupanya telah mengetahui identitas Liang Yi. Mereka terkejut saat mengetahui kalau pemuda itu adalah putra dari Jenderal Liang Zhou. Jenderal yang pernah membantu desa itu dari para perampok. Karena Jenderal Liang Zhou, mereka terlepas dari para perampok yang sudah mengganggu selama beberapa tahun.
“Paman, apa Paman tahu dengan lelaki yang tidak memiliki jari telunjuk itu?” tanya Liang Yi.
Lelaki yang bernama Chow itu tampak berpikir. “Lelaki itu pasti bukan orang sembarangan. Aku belum pernah bertemu dengan orang yang memiliki ciri seperti itu. Aku akan tetap mencarinya walau dia berrsembunyi di lubang semut sekalipun. Aku akan menemukannya.” Lelaki itu tampak yakin. Dia telah bertekad untuk menemukan lelaki itu.
Sementara di istana, Li Jia tampak gusar. Sudah dua hari sejak pertemuannya dengan Liang Yi, tetapi pemuda itu belum juga kembali menemuinya. Dia masih mengharapkan agar Liang Yi datang dan membawanya pergi. Akan tetapi, pemuda itu belum juga menampakkan diri.
“Liang Yi, apa kamu telah berubah pikiran? Aku akan tetap menunggumu. Karena itu, datanglah dan bawa aku pergi dari sini,” batin Li Jia yang duduk sendirian di ruangan paviliun.
Tiba-tiba, Dayang Lin memberitahukan kalau Pangeran Wang Li telah datang. Li Jia lantas bangkit dan bersiap untuk menyambut pemuda itu. Li Jia menunduk saat pemuda itu sudah berdiri di depannya.
“Istriku, jangan menunduk di depanku. Kamu tak pantas melakukannya,” ucap Pangeran Wang Li sambil mengangkat dagu istrinya itu. Dia tersenyum saat melihat wajah sang istri. “Apa kamu marah padaku?” tanya pemuda itu kembali.
“Tidak, Yang Mulia. Aku tidak marah padamu,” jawab Li Jia sambil menggelengkan kepalanya. Pangeran Wang Li tersenyum dan memeluknya.
“Maafkan aku. Aku hanya khawatir kamu tidak nyaman selama bersamaku. Apa pun yang kamu minta akan aku berikan. Asalkan, kamu tidak meminta untuk pergi dariku. Aku tidak akan mugkin mengizinkannya.”
Li Jia tidak bisa berbuat apa-apa. Ucapan Pangeran Wang Li telah melunturkan hatinya yang sudah bersiap untuk meminta meninggalkan istana. Namun, niatnya itu luluh dengan permintaan pemuda itu.
“Apa yang harus aku lakukan? Kalau saja Liang Yi datang dan membawaku, aku akan meninggalkan istana ini. Akan tetapi, jika dia tidak datang membawaku, apa aku harus tetap tinggal di sini dan menjadi ratu?” batin Li Jia gusar.
Perhatian dan cinta Pangeran Wang Li pada Li Jia membuat gadis itu semakin gelisah. Padahal, dia masih berharap untuk kembali pada Liang Yi, tetapi pemuda itu sudah tidak menampakkan diri.
Sementara Perdana Menteri Liu tidak diam saja melihat putrinya disiksa di dalam penjara. Dia telah menyusun rencana untuk membalaskan dendamnya.
“Apa semua sudah siap?” tanya Perdana Menteri Liu pada salah satu anak buahnya.
“Sudah, Tuan,” jawabnya.
“Kita harus melakukan sesegera mungkin. Jika terlambat sedikit saja, usaha kita akan gagal.”
“Baik, Tuan. Jangan khawatir, aku sudah menyiapkan segalanya.”
Lelaki itu kemudain pergi. Perdana Menteri Liu tersenyum sinis karena rencana busuknya akan segera dilaksanakan.
Malam itu, Pangeran Wang Li berada di paviliun. Dia sedang bersama Li Jia. Seorang dayang datang membawa beberapa camilan. Wanita setengah baya itu masuk sambil membawa nampan yang berisi kudapan dan minuman anggur yang dipesan oleh Pangeran Wang Li.
Setelah meletakkan nampan, dayang itu lantas pergi. Dia berjalan terburu-buru. Dayang Lin yang memerhatikannya tampak curiga dengan gelagatnya itu. “Kenapa dayang itu tampak ketakutan?” batin Dayang Lin yang belum melepaskan pandangan dari dayang itu.
“Apa kamu sudah melakukannya?” tanya seseorang yang menunggu di balik pepohonan. Wanita setengah baya itu terkejut. Dia lantas menghampiri orang itu.
“Sudah, Tuan. Tapi, …. ”
“Sudahlah, jangan takut. Bagaimanapun, mereka harus kita habisi malam ini. Sekarang, pergilah dan jangan katakan pada siapa pun kalau kamu masih ingin selamat.”
“Baik, Tuan.” Dayang itu lantas pergi. Sementara lelaki itu kembali bersembunyi di antara kegelapan malam.
Di dalam paviliun, Pangeran Wang Li tampak menikmati kudapan dan minuman anggur. Pemuda itu begitu menikmati kebersamaannya dengan Li Jia.
“Istriku, bersabarlah. Orang kepercayaanku saat ini sedang menyelidiki pembunuhan orang tuamu dan juga keluarga Jenderal Liang Zhou. Dalam waktu dekat, mereka akan kembali dan menyampaikan hasil penyelidikan padaku. Jika sudah ada bukti, para pembunuh itu akan aku tangkap dan adili,” ucap Pangeran Wang Li.
“Terima kasih, Yang Mulia. Semoga saja para pembunuh itu bisa ditangkap. Dengan begitu, aku bisa hidup dengan tenang,” jawab Li Jia seraya tersenyum tipis.
“Istriku, jika hanya kita berdua, tidak bisakah kamu memanggilku dengan sebutan yang lebih mesra? Ah, aku ingin mendengarmu memanggilku dengan sebutan suamiku daripada Yang Mulia.” Pangeran Wang Li memaksa untuk tersenyum. Dia kembali meneguk minuman anggur yang sudah membuatnya mengalami sedikit pusing.
“Yang Mulia, berhentilah minum.” Li Jia mengambil cangkir yang sudah berisi minuman anggur. Melihat Pangeran Wang Li yang mulai mabuk, Li Jia menyingkirkan kendi berisikan minuman anggur itu.
Pangeran Wang Li tidak bisa menolak saat melihat istrinya menyingkirkan minuman itu. Dia hanya tersenyum sembari menatap wajah sang istri.
“Apa kamu tahu dengan perasaanku?” tanya Pangeran Wang Li tiba-tiba. Pemuda itu menatap Li Jia lekat. “Aku mencintaimu. Aku ingin membuatmu bahagia. Namun, apa kamu juga merasakan hal yang sama padaku? Apa kamu juga mencintaiku?”
Li Jia terperanjat. Dia tidak menyangka kalau pemuda itu menanyakan tentang perasaan hatinya. Perasaan yang masih tersimpan pada Liang Yi.
“Yang Mulia, sebaiknya Yang Mulia tidur. Ayo, aku antar ke tempat tidur.” Li Jia meraih tangan pemuda itu, tetapi Pangeran Wang Li menariknya ke dalam pelukan.
“Istriku, apa kamu mencintaiku?” Kembali Pangeran Wang Li bertanya. Kali ini, ada air bening yang menggantung di pelupuk matanya. Air mata yang menyiksa batinnya.
Li Jia terdiam. Entah apa yang akan dijawab olehnya. Mulutnya terkunci karena dirinya berada dalam persimpangan yang membuatnya harus memilih.
Pangeran Wang Li masih berharap dengan cemas. Berharap akan jawaban yang akan membuatnya bahagia ataukah terluka.
Di antara ketidakpastian dan kegundahan keduanya, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari Dayang Lin. Gadis muda itu tampak ketakutan.
Pangeran Wang Li lantas membuka pintu dan melihat pertarungan yang terjadi antara prajurit istana dengan para penyusup.
Li Jia dan Dayang Li berdiri di belakang Pangeran Wang Li. Kedua gadis itu tampak ketakutan. Pangeran Wang Li lantas mengambil pedangnya dan bersiap untuk maju. Namun, satu per satu prajurit istana terkapar. Mereka seakan tidak berdaya melawan para penyusup yang tidak seberapa itu.
Pangeran Wang Li kini terdesak. Dia berdiri melindungi Li Jia saat dua orang lelaki bertopeng berjalan ke arah mereka.
“Siapa kalian? Apa yang kalian inginkan?” tanya Pangeran Wang Li. Pemuda itu tampak menggoyangkan kepalanya perlahan karena rasa pusing yang tiba-tiba menyerang.
Kedua lelaki itu tidak menjawab. Sementara Li Jia menatap salah satu lelaki lekat. Dia seakan mengenali lelaki yang menutupi setengah wajahnya itu.
“Kamu adalah pembunuh itu! Ya, aku ingat. Kamu yang telah memerintahkan orang-orang untuk membunuh dan menghancurkan desaku!” seru Li Jia lantang.
“Cepat, bawa dia pergi!” perintah lelaki itu pada temannya. Sontak, Pangeran Wang Li menghunuskan pedangnya ke arah lelaki itu. Seketika, lelaki itu tersungkur. Namun, Pangeran Wang Li tiba-tiba terduduk. Dia tampak kepayahan.
“Lebih baik Yang Mulia diam saja. Racun di tubuh Yang Mulia akan semakin bereaksi dengan cepat kalau terus memaksa bergerak. Aku tidak akan membunuh Yang Mulia. Aku hanya akan membawa gadis itu bersamaku.”
Lelaki itu maju dan mendekati Li Jia. Dayang Lin berusaha untuk mencegahnya, tetapi satu tamparan cukup keras di wajahnya membuat gadis itu tersungkur tidak berdaya.
Li Jia menangis saat melihat Dayang Lin dan Pangeran Wang Li sudah tidak bisa melakukan apa-apa. Walau berusaha berontak, Li Jia tidak bisa menghentikan lelaki itu. Dia kini telah dibawa dengan paksa.
Dengan sisa kekuatannya, Pangeran Wang Li berusaha untuk mengejar. “Istriku!” seru Pangeran Wang Li. Karena racun itu, Pangeran Wang Li tidak bisa melakukan apa-apa. Dia hanya bisa menatap sedih saat lelaki itu membawa istrinya. “Istriku, maafkan aku,” ucapnya. Seketika, dia tersungkur dan tidak sadarkan diri.