Liang Yi meninggalkan hutan dengan hati kecewa. Air matanya jatuh seiring kepergiannya. Tanpa menoleh, dia terus memacu kudanya, hingga dia berhenti di depan Rumah Pelangi. Melihatnya datang, Liang Zia berlari ke arahnya. Gadis itu lantas memeluknya.
“Kakak, apa kita akan pergi sekarang?” tanya gadis itu. Liang Yi mengangguk.
Nyonya Yi Wei mendekati mereka. “Apa Li Jia baik-baik saja?” tanya wanita itu khawatir.
“Ya, dia baik-baik saja. Semua sudah berakhir. Saat ini Li Jia dan Pangeran Wang Li sedang menuju ke istana. Dan juga para pembunuh otang tuaku dan orang tua Li Jia telah mati,” jelas Liang Yi. Mendengar penjelasannya, Liang Zia dan Nyonya Yi Wei tampak bersyukur.
“Nyonya, terima kasih atas bantuan Nyonya selama ini. Maafkan bila adikku telah merepotkan Nyonya,” ucap Liang Yi sembari menundukkan setengah badannya di depan wanita itu.
“Ah, untuk apa berterima kasih. Sudahlah, jangan menunduk seperti itu. Bagiku, Li Jia dan Liang Zia sudah seperti anakku sendiri.” Wanita itu tersenyum. Liang Zia lantas memeluknya.
“Terima kasih, Nyonya.”
Nyonya Yi Wei mengangguk sambil mengelus punggung Liang Zia. Tanpa sadar, dia menitikkan air mata.
“Kalau begitu, kami harus segera pergi,” ucap Liang Yi.
Nyonya Yi Wei mengangguk. Liang Yi dan Liang Zia menunduk memberi hormat. Setelah itu, mereka kemudian pergi.
“Kakak, kita akan pergi ke mana?” tanya Liang Zia.
“Kita akan ke desa. Tenanglah, di sana kita akan baik-baik saja.”
“Apa Kak Li Jia tahu kalau kita akan pergi? Apa Kakak tidak menyesal melepasnya?”
Liang Yi terdiam. Entah apa yang harus dia jawab. Liang Zia akhirnya paham dengan kebisuan kakaknya itu.
Perdana Menteri Liu akhirnya ditangkap. Dia telah dibawa ke penjara istana untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Mendengar ayahnya ditangkap, Putri Liu Yen semakin ketakutan. Apalagi, saat mendengar kalau ayahnya telah tewas bunuh diri di dalam penjara.
Kejahatan mereka tidak hanya terkait pembunuhan atas Lian dan penduduk di desa Li Jia. Akan tetapi, mereka telah melakukan perbuatan ilegal lainnya, yaitu penambangan yang menyebabkan kematian bagi warga di desa dekat tambang. Semua itu terbongkar karena Liang Yi dan anak buahnya yang diam-diam memeriksa tindak tanduk mereka.
Liang Yi kini dikenal di desanya sebagai pahlawan. Walau hampir mati karena anak panah yang menancap di dadanya, tidak membuat dirinya menyerah. Pembunuhan orang tuanya dan juga orang tua Li Jia, membuat dirinya bersikeras untuk mencari kebenaran. Berkat bantuan anak buah ayahnya, Liang Yi akhirnya mampu membuka tabir di balik pembunuhan orang-orang terdekatnya.
Karena kematian sang ayah, Putri Liu Yen menjadi hilang akal. Terlebih karena siksaan demi siksaan yang dialaminya di dalam penjara. Gadis itu telah kehilangan akal sehatnya dan dibiarkan mendekam di dalam penjara, hingga tewas dengan mengenaskan.
Sementara kondisi Pangeran Wang Li sudah mulai membaik. Dirinya kini telah menjadi raja yang sangat disegani. Begitu pun dengan Li Jia. Dia telah menjadi ratu yang sangat dihormati oleh seluruh penghuni di istana. Gadis itu telah menjelma menjadi seorang wanita cantik yang anggun dengan kharisma yang membuat siapa saja akan mengaguminya.
Di paviliun, Li Jia tengah duduk bersama Pangeran Wang Li. Mereka tampak bahagia. Keduanya duduk di kursi taman sambil menatap ikan-ikan yang berenang di dalam kolam. Keduanya saling menggenggam tangan erat.
“Istriku, apa kamu baik-baik saja?” tanya Pangeran Wang Li. Dia menatap wajah istrinya yang kini tersenyum ke arahnya.
“Aku baik-baik saja. Apa kamu begitu mengkhawatirkanku?”
Lelaki itu mengangguk. “Bagaimana mungkin aku tidak mengkhawatirkanmu. Setiap pagi aku harus melihatmu mual dan muntah,” jawabnya khawatir.
“Suamiku, sudah seharusnya seorang wanita yang tengah hamil muda mengalami hal seperti itu. Jika kehamilanku baik-baik saja, dua bulan lagi aku tidak akan mengalami muntah-muntah lagi. Jangan khawatir karena aku akan menjaga bayi kita sebaik mungkin.” Li Jia menyentuh lembut pipi suaminya itu. Pangeran Wang Li tersenyum. Dia meraih tangan sang istri dan menggenggamnya erat.
Li Jia saat ini tengah mengandung buah cintanya dengan Pangeran Wang Li. Kebaikan, perhatian, kasih sayang, dan cinta dari pemuda itu telah meluluhkan hatinya. Kini, Li Jia begitu mencintainya. Mereka begitu saling menyayangi.
“Apa Liang Yi dan Liang Zia saat baik-baik saja? Kenapa mereka berdua tidak pernah memberi kabar pada kita?” tanya Pangeran Wang Li. Li Jia hanya tersenyum.
“Aku yakin kalau mereka baik-baik saja. Suamiku, jangan terlalu memikirkan mereka. Yakinlah, kalau mereka baik-baik saja,” jawab Li Jia. Dia berusaha untuk menenangkan suaminya walau tidak bisa dipungkiri kalau dirinya juga mengkhawatirkan mereka.
Jauh di desa, Liang Yi tengah bersiap. Saat ini, suasana desa tampak ramai karena Liang Zia telah disunting oleh salah seorang pemuda dari luar desa. Mereka baru saja melakukan upacara pernikahan di rumah Liang Yi dan akan kembali ke rumah pengantin pria.
Sebuah tandu yang dilapisi kain berwarna merah siap dibawa saat seorang gadis yang mengenakan baju pengantin menaikinya. Sesaat, dia melihat keluar jendela dan menghapus air matanya. Dia lantas turun dari tandu dan berlari ke arah Liang Yi yang menatapnya sedih.
“Kakak!” seru Liang Zia yang kini menangis dalam pelukan kakaknya itu.
Liang Yi memeluknya erat. Air matanya jatuh karena mengingat kedua orang tua mereka. “Jangan menangis lagi. Kakak bahagia karena hari ini bisa melihatmu menikah. Walau tanpa kehadiran ayah dan ibu, aku yakin di atas sana mereka sedang tersenyum karena melihatmu telah menikah,” ucap Liang Yi yang masih memeluk adiknya itu.
Liang Zia menangis dalam pelukan kakaknya. Dia menangis karena mengingat kedua orang tua yang tidak bersama mereka di hari bahagianya. Dia menangis karena kakak yang paling disayanginya harus melewati hidup dalam kesendirian. “Kak Liang Yi, setelah menikah aku akan meminta kepada suamiku untuk tetap tinggal di sini. Aku tidak ingin meninggalkan Kakak,” ucap Liang Zia sambil menangis.
“Jangan lakukan itu. Seorang wanita yang sudah menikah harus tinggal dan ikut dengan suaminya. Jangan khawatir, Kakak akan baik-baik saja. Kakak tidak akan kesepian karena masih ada warga desa yang menemani Kakak,” jawab Liang Yi.
Liang Zia menatapnya. Walau terlihat tegar, tetapi dia tahu kalau kakaknya kini tengah bersedih. Dia sangat paham dengan sikap Liang Yi yang terlihat tegar, tetapi sebenarnya rapuh.
“Kak Liang Yi, aku tahu Kakak sangat mencintai Kak Li Jia. Kakak tidak bisa hidup sendirian seperti ini. Bagaimanapun juga, Kakak harus menikah agar ada yang bisa menjaga Kakak. Aku tidak bisa meninggalkan Kakak seperti ini. Bagaimana bisa aku meninggalkan Kakak. Siapa yang akan menjaga Kakak nanti?” Liang Zia masih menangis. Dia memeluk Liang Yi seakan tidak ingin pergi meninggalkannya.
“Liang Zia, aku harap kamu mengerti perasaanku. Tidak mudah bagiku untuk menerima wanita lain karena hatiku sudah tertutup untuk itu. Apa kamu pikir, selama ini aku tidak berusaha untuk melupakannya? Kamu salah. Sekuat apa pun aku mencoba untuk melupakannya, tetapi aku tidak bisa seakan hatiku telah terpaut untuknya. Walau aku sadar tidak mungkin lagi bisa bersamanya.” Liang Yi menghapus air matanya. Sungguh, rasa yang selama ini ingin dia simpan akhirnya diungkapkan pada adiknya itu.
Liang Zia menatap wajah kakaknya yang memaksa untuk tersenyum di antara derai air mata. Sekeras apa pun dia memohon, Liang Yi tetap kukuh dengan rasa yang sudah tersimpan di dasar hatinya. Rasa yang tak mungkin bisa digantikan oleh siapa pun.
Liang Zia lantas masuk ke dalam tandu yang akan membawanya ke rumah suaminya. Dari atas tandu, dia menatap Liang Yi dengan air mata yang tak henti mengalir. Betapa dia tidak tega meninggalkan Liang Yi yang akan kesepian selepas kepergiannya. Betapa dia akan merindukan kasih sayang kakaknya yang akan jarang untuk ditemuinya.
Dengan menahan air mata, Liang Yi melepas kepergian Liang Zia sembari melayangkan senyum untuknya. Melihat Liang Yi yang makin menjauh membuat Liang Zia segera menghentikan tandu. Gadis itu berlari dan memeluk Liang Yi dengan tangisan yang membuat semua orang menjadi haru.
“Liang Zia, Kakak akan selalu berdoa agar hidupmu selalu bahagia. Jangan khawatirkan kakakmu ini. Kakak tidak ingin kamu menderita hanya karena terlalu memikirkanku. Sekarang, sudah waktunya untuk kamu bahagia dan aku akan bahagia jika adikku juga bahagia. Kini, kamu sudah harus bertanggung jawab terhadap keluarga barumu dan patuhilah perintah suamimu. Ingatlah untuk selalu menjaga nama baik keluarga kita,” nasehat Liang Yi.
Liang Zia mengangguk dalam pelukan kakaknya. Rasanya, kakinya begitu berat untuk pergi. Liang Yi akhirnya menggendong adiknya itu di atas punggungnya. Mereka mengingat kembali akan masa kecil dulu.
Di saat Liang Zia kecil menangis, maka Liang Yi akan menggendongnya dan membuatnya kembali tertawa. Masa-masa indah yang tidak mungkin bisa mereka rasakan. Liang Zia melingkarkan kedua tangannya di leher kakaknya seraya menangis sesenggukkan.
“Naiklah dan jangan menangis lagi. Wajahmu akan terlihat jelek kalau terus menangis,” ucap Liang Yi sambil membantu adiknya itu masuk ke dalam tandu.
Mendengar ucapan Liang Yi membuat Liang Zia tersenyum di antara air mata. “Kakak, jaga dirimu. Aku janji akan datang mengunjungimu. Kakak harus menjaga kesehatan Kakak. Kalau aku mendengar Kakak sakit, jangan salahkan aku kalau aku akan datang dan menginap di sini,” ucap Liang Zia yang berusaha untuk tegar. “Paman Chow, tolong jaga Kakakku. Aku mohon,” pinta Liang Zia kepada lelaki setengah baya yang menjadi tangan kanan kakaknya itu.
“Jangan khawatir, Paman akan menjaga kakakmu dengan baik,” jawab lelaki itu.
Tandu yang membawa rombongan pengantin akhirnya meninggalkan desa menuju rumah pengantin pria. Liang Yi menatap kepergian adiknya dengan air mata. Adik yang sangat disayanginya, kini tak lagi bersamanya. Mereka akhirnya benar-benar berpisah
Sementara Liang Zia masih menangis di dalam tandu. Dia tidak sanggup melihat kakaknya yang menangis karena kepergiannya. Dia tidak sanggup melihat sang kakak meneteskan air mata untuknya. “Kakak, aku janji aku akan bahagia. Semoga kakak juga akan menemukan kebahagiaan agar hatiku bisa tenang meninggalkan kakak,” batin Liang Zia sambil menghapus air matanya.
Liang Yi masih menatap tandu yang membawa sang adik, hingga menghilang di ujung jalan.
“Liang Yi, kamu tidak apa-apa?” tanya Paman Chow.
“Aku tidak apa-apa, Paman. Aku hanya ingin beristirahat sebentar,” jawab Liang Yi yang perlahan menghapus air matanya dan masuk ke dalam rumah.
Di dalam hidupnya, Liang Yi tidak pernah menangisi siapa pun, selain tiga wanita yang yang sangat disayanginya. Mereka adalah ibunya, adik dan juga Li Jia, wanita yang sangat dicintainya. Hanya mereka yang mampu membuatnya menangis. Walau kematian ayahnya pun, Liang Yi tidak sekali pun menitikkan air mata.
Waktu terus berlalu. Sudah hampir tujuh bulan sejak pernikahan Liang Zia, tetapi mereka belum pernah bertemu. Tidak sekali pun sang adik datang mengunjunginya. Bahkan, Liang Yi ditolak saat mengunjungi adiknya dengan berbagai macam alasan.
“Aku harus mencari tahu apa yang mereka sembunyikan dariku,” batin Liang Yi sambil keluar dari kamar. Dia menemui Paman Chow yang sedang mengajar anak-anak berlatih beladiri di halaman rumahnya.
“Paman, aku ingin meminta bantuanmu,” pintanya pada lelaki itu.
“Apa yang harus Paman lakukan?” tanya lelaki itu.
“Kumpulkan orang terbaik kita dan selidiki kediaman di mana adikku tinggal. Aku merasa ada yang aneh. Sepertinya, mereka mencoba menyembunyikan sesuatu dariku.”
“Baik! Paman akan segera melakukannya.”
Lelaki itu kemudian pergi dengan dua orang pemuda. Mereka bergegas menuju kediaman di mana Liang Zia tinggal.
Di depan rumah yang mewah dan besar, tampak dua buah kereta yang membawa aneka persediaan makanan dan minuman memasuki rumah itu.
Seorang wanita setengah baya menemui mereka dan memeriksa satu per satu isi di dalam kereta. “Bagus. Letakkan semuanya di dalam gudang. Awas! Jangan sampai ada barang yang rusak atau pecah,” ucapnya angkuh.
“Cepat! Panggil gadis itu dan suruh dia menemuiku,” perintahnya pada salah satu pelayan. Gadis muda itu lantas bergegas ke sebuah kamar yang terletak di bagian belakang.
“Nyonya, mertua Anda ingin bertemu,” ucap gadis itu dari balik pintu. Pintu ruangan itu terbuka perlahan. Seorang gadis muda yang tampak lusuh dan lelah berdiri menatap pelayan itu.
“Nyonya, apa Anda baik-baik saja?” tanya pelayan itu.
“Aku baik-baik saja,” jawabnya. Dengan langkah yang dipaksakan, gadis itu pergi menemui sang nyonya rumah yang merupakan ibu mertuanya.
Di depan wanita itu, sang gadis berlutut seraya menunduk. Dia tidak mampu menatap wajah yang sudah membuatnya hidup dalam penderitaan.
“Liang Zia, malam ini kamu jangan meninggalkan kamarmu. Ah, bukankah aku sudah memberimu waktu? Malam ini, anakku akan menikah lagi. Jadi, lebih baik kamu berdiam di kamarmu!” Wanita itu menatap Liang Zia dengan jijik. Karena mengharapkan keturunan, dia memperlakukan gadis muda itu dengan kejam. Liang Zia dianggap sebagai wanita mandul karena belum juga menunjukkan tanda-tanda kehamilan.
Mendengar suaminya akan menikah lagi, Liang Zia menitikkan air mata. Dia menangis karena bahagia yang diharapkan nyatanya tak kunjung datang. Dirinya bagaikan hidup di dalam neraka. Dia lantas kembali ke kamar dengan perasaan terluka. Di kamarnya, dia menumpahkan tangisnya.
Saat dirinya tengah menangis, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Seorang pemuda yang sedang mabuk lantas mendekatinya.
“Suamiku, apa kamu mabuk lagi?” tanya Liang Zia pada suaminya itu. Pemuda itu hanya diam. Dia menatap Liang Zia dengan tatapan penuh nafsu.
“Layani aku!” seru pemuda itu. Dia menarik tangan Liang Zia dan mengempaskan tubuhnya di atas pembaringan. Liang Zia tidak berkutik saat suaminya bersikap kasar padanya.
“Suamiku, jangan perlakukan aku seperti ini. Tidak bisakah kamu memperlakukanku selayaknya istrimu?”
“Diamlah! Malam ini aku akan menikah. Karena itu, aku ingin menikmati tubuhmu untuk terakhir kali. Andai saja kamu bisa memberikanku seoarang anak, aku tidak akan memperlakukanmu sekasar ini. Mengerti!”
Dengan kasarnya, dia melepaskan semua hasrat birahinya tanpa sedikit pun merasa iba. Liang Zia tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah. Hanya tetesan air mata yang jatuh saat lelaki itu berhasil melepaskan hasratnya dan terkulai lemas di samping tubuh Liang Zia yang sudah tidak berdaya.